karya ka David ng
Musim semi merekah. Disambut kicauan burung-burung yang ceria. Beragam kembang memekarkan diri, siap menyambut dunia yang tak lagi dingin
Musim semi merekah. Disambut kicauan burung-burung yang ceria. Beragam kembang memekarkan diri, siap menyambut dunia yang tak lagi dingin
Aku berdiri membelakangi
seseorang. Kutilik siluetnya dari belakang. Tinggi dan tegap. Aku melangkah
mendekatinya perlahan. Baru satu langkah, ia berbalik, menatapku dengan teduh
lantas tersenyum hangat. Detik itu juga, aku terperangah.
"Kau sudah sebesar ini
rupanya," ujarnya tenang.
Ragu-ragu, aku lalu bertanya,
"Ayah?"
Pria itu berderap menghampiriku
dengan langkah yang lambat-lambat. Semakin ia mendekat, aku merasa semakin
hangat. Hangat yang sepertinya dulu pernah kurasakan. Dulu sekali.
Ia meraih puncak kepalaku, lalu
mengacak rambutku kecil-kecil.
"Ya, ini aku," balasnya.
Ia lalu tersenyum penuh arti. "Kau tahu, dulu kau bahkan belum setinggi
ini," katanya sembari menepuk pinggangnya. Ia tertawa. Aku pun.
"Bagaimana bisa? Aku tengah
ada di mana?" tanyaku ketika aku berhenti tertawa.
Ayah menarik tangannya dari atas
kepalaku. "Kau tengah berada di dunia di mana hanya ada kau dan semua
imajinasimu,” jawabnya, tak memberi tahuku secara langsung.
"Mimpi?" Aku tak begitu
yakin.
Ayah mengangguk lantas tersenyum
tipis. "Ayah tak pernah menghampirimu dalam mimpimu kan?"
Aku mengangguk satu—dua kali.
"Tidak pernah. Selama hampir 16 tahun."
"Itu sebabnya Ayah menemuimu
sekarang,” balasnya. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian. Ayah
terus menatapku. Tatapan yang masih sama sedari tadi. Teduh—menenangkan.
Aku tak menjawab pertanyaannya.
Aku malah berujar, "aku merindukanmu. Sangat. Tahukah, Ayah?"
"Selalu, Anakku. Aku tahu apa
yang kau rasakan. Tiap menit, bahkan tiap detik."
"Lantas kenapa baru menemuiku
sekarang?" tanyaku, sedikit tak terima.
"Maaf." Aku kira hanya
itu, namun ia menambahkan, "Ayah juga merindukanmu."
***
Musim panas menghujani hari. Penuh
akan hangat yang mendekap. Matahari bersinar dengan pongah, menyentuh bumi
dengan sinarnya.
Aku tengah duduk berdua dengan
Ayah. Di atas bangku taman dengan ukiran sederhana. Sejauh yang bisa kulihat,
hanya ada hamparan rumput yang tampak begitu terurus. Selain itu, tak ada lagi.
Begitu lapang, dan aku merasa begitu bebas.
"Maafkan Ayah karena telah
meninggalkanmu begitu cepat." Ia berkata tanpa menoleh ke arahku. Ada
sejumput kegetiran di sana, di suaranya. Jelas terasa.
"Bukan salah Ayah. Aku tak
apa-apa. Istri Ayah adalah wanita yang tangguh," sahutku. Bukan untuk
menenangkannya, tetapi memang itulah yang ingin dan semestinya aku katakan.
"Aku tahu," sahutnya.
Barulah ia menoleh dan tersenyum kepadaku untuk kesekian kalinya. "Apa
yang kau rasakan ketika pertama kali mendapati perubahan biologis pada
tubuhmu?" Ayah bertanya.
"Sedikit bingung. Tapi, Ayah
tahu kan, aku cepat belajar," aku bersuara dan tersipu.
Ayah membuang napas berat.
"Ayah menyesal tidak bisa mendampingimu kala itu. Ketika Ayah tak bisa
menjelaskan ini-itu kepadamu, Ayah merasa telah gagal menjadi seorang ayah
untukmu." Dan ketika Ayah mengatakannya, aku tahu, ia benar-benar
menyesal.
Tahu ini yang harus kulakukan, aku
lalu menyentuh jemarinya dan menggenggamnya di antara jemariku.
"Tidak apa-apa,” kataku
tulus. “Dari dulu, detik ini, dan sampai kapanpun, Ayah tetaplah ayahku. Ayah
terbaik dan tidak gagal." Aku tidak berbohong. Sedikit pun tidak.
"Kau anak yang baik."
Ayah menepuk tanganku dengan tangannya yang bebas.
"Itu karena aku punya Ayah
yang baik," aku menggodanya. Ayah tertawa, memaksaku untuk ikut tertawa.
Rasanya menyenangkan sekali. Lebih menyenangkan daripada bermain di pantai kala
musim panas.
***
Musim gugur mengalun. Merinaikan
helaian-helaian daun yang menyapa bumi. Pepohonan tergambar begitu suram,
seperti tengah menangisi sesuatu yang pergi, namun tak terlihat.
Aku duduk mengapit ke Ayah. Bahuku
dan bahunya bersentuhan. Aku merasa dekat dengannya, tak hanya fisik, tapi hati
dan segalanya.
"Apa cita-citamu? Bolehkah
Ayah tahu?" Ayah bertanya lalu memungut salah satu daun yang jatuh ke
pangkuannya. Ia memutar daun itu sementara menanti jawabanku.
"Aku ingin menjadi penulis. Ayah
setuju?" tanyaku antusias. Aku merasakan jantungku berdentam-dentum.
Seperti ini ternyata rasanya bisa mengutarakan mimpiku kepada ayahku secara
langsung. Mendebarkan sekaligus membuai.
"Apa pun itu, Ayah yakin kau
akan menjadi seseorang yg hebat," ia mengatakannya selayaknya seorang Ayah
yang selalu membangga-banggakan putranya. Aku melayang mendengarnya.
"Melihatmu sekarang, Ayah merasa tugas Ayah sudah selesai. Sekarang, Ayah
hanya bisa seperti daun ini. Jatuh ke tanah lantas menyuburkannya untuk pohon
yg pernah ia lindungi dari terik matahari."
Aku tak begitu mengerti, namun ada
rasa hangat yang berkeliaran di hatiku. Aku merasa gigitan-gigitan yang
membuatku mengambang di tengah udara. Aku merasa begitu ringan.
Aku termangu-mangu sejenak,
menikmati udara musim gugur yang mengantukkan. Di suatu detik, aku pun
bertanya, "Apa yang Ayah lakukan di sana selama ini?"
"Memerhatikan kalian. Semua
yang Ayah sayangi."
"Seberapa besar sayang Ayah
untukku?" Aku tahu ini pertanyaan konyol, tapi aku tetap ingin
menanyakannya. Aku ingin mendengar ayahku sendiri menyampaikan rasa sayangnya
kepadaku. Mungkin Ayah pernah menyampaikannya, namun aku sudah lupa. Itu sudah
dulu sekali.
"Sebesar rasa sayangmu untuk
anakmu nanti," jawabnya. "Jadilah ayah yang baik suatu saat
nanti," nasihatnya.
"Kelak, saat aku diberi tugas
oleh Tuhan untuk menjadi seorang ayah, Ayahlah yang akan kujadikan
panutan," kataku tegas.
"Ambil yang baik, abaikan
yang buruk. Jangan mencontoh kesalahan Ayah. Mengerti?"
"Ayah tak ada salah-salahnya
di mataku," sahutku yakin.
Ayah menyentil keningku dengan
pelan. "Bodoh," serunya. "Tidak ada manusia yang tak memiliki
salah,” beritahunya. "Itu gunanya ada kata maaf. Agar kita bisa memutihkan
kesalahan kita. Ya, meski tak selalu cukup hanya dengan itu," Ayah
mengimbuhkan.
"Boleh aku tahu salah satu
dari kesalahan yang pernah Ayah lakukan?" tanyaku penasaran.
"Meninggalkan Ibumu
sendirian, membiarkannya membesarkan kau dan Kakak-Kakakmu seorang diri."
Dan detik itulah aku tahu seberapa
besar Ayah mencintai Ibu.
'Cinta itu ada,' aku membatin
***
Musim dingin terjaga dari
lelapnya. Melantunkan butir-butir salju dengan sendu. Butiran itu tak jatuh
lurus. Terombang-ambing di antara udara, seperti tengah mengalunkan sebuah
harmoni alam yang tak tertangkap telinga.
Ayah merengkuhku dari samping. Aku
merasakannya. Ada hangat yang menjalari tubuhku dan berakhir di hatiku.
Dinginnya salju bukan apa-apa lagi.
"Boleh Ayah meminta
sesuatu?"
Aku mengangguk tanpa ragu.
"Apa?"
"Kau ingin jadi penulis kan?
Kalau begitu, buatlah sebuah buku untuk Ayah. Kau mau?" Ayah memererat
rengkuhannya.
"Tentu saja," seruku.
"Aku akan memersembahkan buku pertamaku untuk Ayah," lanjutku.
"Ini janjiku."
Ayah mengulas senyum. "Kau
tahu apa yang harus seorang pria lakukan ketika ia sudah berjanji?"
"Ia harus menepatinya. Itu
baru seorang pria.," aku menjawab.
Ayah mengangguk. Lalu, diam.
Hening. Suasana begitu syahdu. Tak terusik oleh suara lain—apa pun.
"Ayah harus pergi
sekarang," katanya sambil melonggarkan rengkuhannya.
Tak bisa kucegah, mataku mulai
berkaca-kaca. Sekali lagi, aku harus menghadapi detik-detik di mana aku harus
merelakan Ayah untuk pergi. Dulu, aku masih sangat kecil untuk dapat mengerti.
Tapi, sekarang aku mengerti. Rasanya sesak dan berat. Hatiku berkedut-kedut tak
rela.
"Berjanjilah untuk menemuiku
lagi," aku meminta, berusaha untuk tidak menangis.
"Menangislah kalau kau mau.
Air mata bukan hanya milik wanita," kata Ayah kalem.
Dan yang terjadi berikutnya adalah
aku menangis, tanpa suara. Aku melinangkan air mataku di bawah jutaan butir
salju yang masih terinai turun.
"Jangan mengejekku cengeng.
Ayah yang memintaku untuk menangis," ujarku pelan.
Ayah menarikku ke dalam pelukannya.
Tangannya mengelus-elus kepalaku. "Tidak akan pernah. Kau putra Ayah yang
kuat, dan akan selalu begitu." Setelahnya, Ayah melepaskan pelukannya.
Aku mengangkat wajahku dan
mendapati diri Ayah mengabur. Semakin lama semakin kabur. Ada senyum lebar di
wajahnya.
Kuseka air mataku dengan punggung tanganku.
Segera, aku coba meraih jemarinya. Namun, nihil. Aku tak bisa menyentuhnya.
Ayah menjadi tak tersentuh, dan begitu kosong.
Aku sempat mendengar Ayah
menyuarakan sesuatu sebelum ia benar-benar menghilang.
"Kejarlah dia. Dia, gadis
yang kaucintai. Ayah selalu mendoakanmu."
Aku lantas tersenyum. Ayah tahu
putranya tengah jatuh cinta. Ia tahu semuanya.
Dan di suatu detakan detik, aku
merasa tubuhku tertarik ke suatu arah. Aku tak melawan. Aku membiarkannya.
Segala sesuatu memiliki masanya, bukan?
***
Aku terjaga dari tidurku. Mataku
mengerjapkan diri berulang kali. Setelah sadar sepenuhnya, aku mengulum senyum.
Kutatap langit-langit kamarku, dan ada bayangan Ayah di sana. Ia tengah
tersenyum lebar dan lepas. Dengan gontai, aku kemudian melangkah ke balkon
kamarku. Mataku menilik langit, sementara hatiku bertanya,
'Ayah melihatku dari atas sana
kan?'
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar