Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Rabu, 14 November 2012

Finaly, I can see you (cerpen)



Baby, I have no story to be told. But I've heard one of you. And I'm gonna make your head burn.

 +++
HUJAN sudah turun sejak lima belas menit yang lalu. Meninggalkan beberapa pelajar yang tidak membawa payung dalam lorong sekolah yang nampak sepi. Kebanyakan pelajar memilih untuk diam menunggu hujan reda. Namun tidak sedikit yang memaksa untuk menembus hujan meski seragam dan almamater mereka harus basah.

          Lima belas menit kemudian berlalu. Hujan belum juga reda. Dan sekarang lorong yang belasan menit lalu masih ramai sudah terlihat semakin sepi. Mereka tidak ingin pulang terlalu larut karena jam pulang sekolah juga sudah berakhir pada waktu yang bisa dikatakan terlalu sore.

          Sivia Matsuda berdiri menghadap kedua orang di depannya yang berdiri beberapa meter membelakanginya. Berulang kali dia membuang napas dalam kesendirian. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu namun masih saja ada yang terasa menyumpal dadanya.

          Tangan Sivia mulai terasa dingin. Entah karena udara di sekitarnya yang membuatnya dingin atau itu disebabkan karena pikirannya yang melebur dalam keputusasaan. Kedua temannya yang berada di depan sana memang sejak lima belas menit sebelumnya telah mengajak Sivia untuk pulang bersama. Namun Sivia menolak. Dia tahu apa dampak yang terjadi pada dirinya jika ia memaksa untuk menerima ajakan teman perempuannya itu.

          “Kalian berdua pulang duluan saja. Payung itu tidak akan cukup menahan air yang terlampau banyak untuk kita bertiga.” katanya mencari alasan yang tepat. Sivia sempat melihat tatapan laki-laki yang memegang payung di samping temannya itu bersinar senang. Melihat tatapan yang dapat diartikan sebagai ucapan terima kasih, Sivia membalas tersenyum padanya. Namun setelahnya, Sivia merasa beku saat itu juga saat laki-laki itu kian memperjelas senyuman di bibirnya. Lalu setelah itu, laki-laki itu menggenggam pergelangan tangan teman perempuannya dan berjalan meninggalkannya. Berjalan dan tidak pernah berbalik melihatnya lagi.

          “Kau lihat apa?”

          Kepala Sivia yang saat itu masih bertumpu pada pintu loker yang terbuka langsung terbentur secara cepat setelah mendadak kata-kata itu terdengar di sampingnya. Sivia menoleh dan menutup pintu loker. Tangannya memijat keningnya pelan.

          Laki-laki di sampingnya mengangkat bahu setelah melihat apa yang Sivia lihat sejak tadi. Lalu menoleh dan menatap Sivia dengan datar. “Kenapa tidak pulang bersama mereka berdua?” tanyanya. Tak memerdulikan tangan Sivia yang berada di kening.

          “Oh, astaga! Keningmu berdarah.” cetus laki-laki itu.

          Mendengar laki-laki itu berseru, Sivia sontak melihat jari tangannya yang ia gunakan untuk memijat keningnya tadi. Astaga, benar-benar berdarah, katanya membatin. Tidak sempat Sivia berpikir, tangannya yang menggantung bebas segera ditarik. Laki-laki itu menyuruhnya duduk di kursi di sekitar koridor kelas.

          “Harusnya kau berhati-hati.” katanya dingin. Tangannya mengaduk-aduk ransel yang disandangnya dan mengeluarkan kapas dan obat merah.

Sivia mendengus di sampingnya. Matanya tidak memerhatikan laki-laki di sampingnya yang sudah berhasil menyiapkan alat medis tadi. Lalu dagunya dipaksa menoleh menghadap laki-laki itu. Dengan pelan laki-laki itu mengolesi obat merah pada permukaan kapas dan ditekan pada kening Sivia secara teratur.

“Kau mengejutkanku tadi. Jadi seharusnya aku yang marah padamu,” kata Sivia tak kalah dingin. Tangan laki-laki itu menghentikan kegiatannya dan menatap Sivia sesaat. Hanya sesaat, karena tangan besarnya segera melakukan hal yang sama dengan kekuatan yang lebih besar. Saat Sivia meringis di depannya, laki-laki itu menghentikan tangannya dan membuang kapas itu ke lantai.

“Maaf.” katanya datar. “Tadi kau terlihat seperti orang bodoh dengan wajah menempel pada pintu loker.” tambahnya. Laki-laki itu kembali menatap Sivia setelah selesai memasukkan alat medis itu dan menutup ranselnya.

Sivia masih menatapnya datar sampai tangan laki-laki itu bergerak pelan ke arah wajahnya dan berhenti di samping keningnya yang terluka. Lalu tangannya bergerak menyapu rambut Sivia yang menutupi keningnya ke samping. Sivia merasakan wajahnya menjadi hangat di tengah kedinginan yang ia rasakan tadi. Dan ia berharap laki-laki di depannya tidak melihatnya karena pasti wajahnya telah berubah merah muda. Ia berharap laki-laki di depannya mengira wajahnya memerah karena noda dari obat merah yang ada di keningnya. Meskipun harapannya terdengar sangat konyol, tetapi Sivia benar-benar berharap itu terjadi. Sivia tidak ingin laki-laki di depannya ini berpikiran...

“Kau punya jepit rambut?” tanyanya. Sivia bergerak mengambil jepit rambut yang ia letakkan di saku almamaternya dengan perasaan bercampur aduk. Berhasil. Ia memberikan jepit rambut itu kepada laki-laki di depannya dengan gugup.

Tidak hanya satu tangan laki-laki itu yang berada di keningnya. Sekarang kedua tangannya ikut menempel di keningnya. Satu tangan menahan rambutnya, satu tangan lagi menjepit rambutnya dengan penjepit rambut tadi. Sivia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata laki-laki di depannya. Matanya terus saja bertahan di titik yang sama. Titik hitam yang saat ini seakan menarik dan menenggelamkannya. Menenggelamkannya pada kedamaian dan kenyamanan yang meluap-luap.

“Selesai.” Saat ini, Sivia tidak tahu kenapa ada bagian perasaannya yang menguap kecewa saat tangan laki-laki itu menjauh dari keningnya. “Cantik,” gumamnya.

Mata Sivia melebar kaget saat laki-laki itu berujar demikian. Sivia ingin membuka mulut namun tidak jadi. Ia bingung. Mendadak jantungnya berhenti bekerja lalu berdetak dengan cepat. Semakin cepat hingga, “Jepit rambut ini cantik. Kau membelinya dimana? Kurasa aku akan membelikan jepit yang sama untuk pacarku.”

Sivia mengerjap bingung. Lalu memalingkan wajah ke arah lain. Ke ujung lorong yang langsung menembus ke jalan besar setelah melewati gerbang. Sivia mendesah samar lalu tersenyum miris. Merasa bodoh telah mengharapkan sesuatu pada laki-laki di depannya ini. Lagi pula, dirinya ini kenapa? Aneh, baru kali ini Sivia dengan cepat memikirkan bahwa laki-laki di depannya ini... Ah, apa yang ia pikirkan tadi? Entahlah. Sepertinya luka di keningnya ini memberikan efek buruk untuk otaknya. Tetapi... benarkah laki-laki itu memiliki kekasih?

“Jadi, kenapa kau melamun di sana sendirian?”

“Karena tidak ada yang bisa diajak untuk melamun bersama.”

“Maksudku...”

“Aku tahu maksudmu.” Sivia menyela. Lalu tersadar sendiri setelah beberapa detik berlalu. Perasaannya saja atau memang ia tadi bersikap terlalu sinis? Ia menoleh dan mendapati laki-laki itu masih duduk di tempatnya sambil merenung dengan mata menerawang. Pandangannya memang jatuh pada titik yang sama dengan Sivia. Tapi Sivia yakin pikirannya melayang-layang entah kemana.

“Kau sendiri kenapa tidak pulang?”

Laki-laki itu tidak menjawab. Dan Sivia semakin yakin kalau laki-laki ini tengah melamun. Tangan Sivia menyentuh cepatlengan laki-laki itu. Dan efeknya langsung terasa. Laki-laki itu menoleh kaget dan seketika itu tersenyum. Laki-laki itu tersenyum sangat tipis. Namun Sivia merasakan getaran yang aneh saat senyum ini melebar menjadi tawa. Tawa yang dapat membuatnya ringan dan nyaman. Lebih nyaman daripada bola mata laki-laki itu.

“Aku melamun, maaf, ya. Kau bilang apa tadi?” katanya setelah berhasil mengontrol diri.

Sivia menggeleng dan kembali memalingkan muka. Ia tidak ingin kembali terlihat bodoh di depan laki-laki ini karena wajahnya yang kembali bersemu merah. Cukup sudah dirinya merasa aneh seharian ini. Jangan sampai laki-laki ini makin membuatnya merasa aneh dengan dirinya sendiri.

“Sivia-chan,” panggilnya. Di depannya, Sivia melebarkan matanya. Sivia-cham? Laki-laki ini memanggilnya ‘Sivia-chan’? “Boleh aku menanyakan sesuatu?”

Sivia menoleh dan mengangkat satu alisnya. “Tentu saja.”

Laki-laki di depannya terlihat ragu untuk bicara. Keraguan itu hanya bertahan sejenak dan digantikan tatapan tajam yang langsung menembus jantung Sivia.

“Apa kau benar-benar menyukai Gabriel Oniisan?”

Sivia mengerjap kaget. Dan kembali memalingkan muka setelah mendesah samar. Namun karena dirinya tidak ingin terlihat lemah, Sivia menoleh dan  tersenyum. Senyum yang ia yakini pasti nampak menyedihkan.

“Ya. Aku menyukainya,” katanya tenang. Ia lihat laki-laki di depannya ini mengangkat kedua alisnya dengan mata sipitnya yang melebar. Sivia masih mempertahankan senyumnya. “Aku bodoh, bukan? Aku menyukai laki-laki yang sama dengan laki-laki yang menjadi kekasih sahabatku sendiri.” gumamnya. Lebih pada dirinya sendiri. Lalu wajahnya menunduk dan senyumnya memudar.

“Kurasa tidak.” Sivia mengangkat wajah dan melihat senyum laki-laki itu terlihat aneh. “Kau berhak menyukai siapa pun di dunia ini termasuk laki-laki itu.” katanya pelan. “Bukankah manusia memang memiliki perasaan dan kita tidak bisa mengaturnya?” Setelah berujar begitu, laki-laki itu tersenyum semakin aneh dengan pandangan menerawang. Seperti memikirkan sesuatu.

“Dia lebih baik jika bersama sahabatku itu. Karena aku tahu bagaimana perasaannya pada GabrielOniisan.”

“Tapi kau juga mencintainya, bukan?”

“Tidak sedalam sahabatku.” Katanya menerawang. “Lebih baik mencintai orang yang juga mencintai kita, bukan? Daripada aku harus mencintai orang yang tidak mencintaiku. Tapi itu tidak masalah, selama ia bahagia, aku pun bahagia.”

“Dia pasti akan menyesal karena tidak pernah mengetahui perasaanmu yang begitu tulus padanya.” Kata laki-laki itu dengan yakin.

Mendengar itu, Sivia tertawa miris dan menggelengkan kepalanya. Tidak melihat laki-laki itu. “Dia tidak perlu tahu bagaimana perasaanku. Aku hanya ingin menyukainya dalam diam. Tanpa perlu ada yang mengetahuinya selain aku,” lalu Sivia menoleh dengan senyum manisnya. “Tentu saja kau itu pengecualian, karena kau sudah mengetahuinya meski aku tidak mengatakannya.”

“Tapi tunggu dulu. Bagaimana kau tahu aku menyukai Gabriel Oniisan?” tanya Sivia tajam dengan mata menyipit. “Kau menguntitku?” tudingnya dengan telunjuk mengarah langsung pada hidung laki-laki itu.

Laki-laki itu tergagap dan buru-buru tersenyum gugup. “Aku, yah, aku tidak sengaja melihatmu setiap kau melakukan itu,”

“Melakukan apa?” sergah Sivia.

Laki-laki itu mengangkat bahu dan berujar, “Melamun dengan tatapan sendu dan mata mengarah pada Gabriel Oniisan,” katanya dengan tenang. Kini Sivia yang nampak gugup. “Apa benar-benar kelihatan kalau aku memerhatikannya?” tanya Sivia dengan nada berbisik. Laki-laki itu tertawa. Tawa yang kedengarannya seperti sebuah ejekan di telinga Sivia.

“Kau benar-benar terlihat bodoh.” Laki-laki itu tertawa lagi. Sementara Sivia mengalihkan pandangan jauh dari matanya. “Aku tidak bodoh,” bantah Sivia. Lalu laki-laki itu tertawa lagi. “Kau memang tidak bodoh. Hanya kurang sedikit pintar.” Sivia bisa mendengar laki-laki itu terbahak dan telinganya mendengar suara tidak asing. Tangan yang beradu dengan kayu. Saat menoleh, Sivia segera memajukan bibirnya setelah menyadari laki-laki itu tertawa dengan tangan memukul-mukul kursi kayu yang mereka duduki.

“Tidak lucu.” gerutu Sivia. Laki-laki itu berhenti tertawa dan menyusut ujung matanya dengan tangan. Masih dengan sisa tawanya, laki-laki itu berujar, “Kau ternyata jauh lebih menarik dari perkiraanku,”

Alis Sivia hampir menyatu mendengar itu. “Apa?”

“Kukira kau biasa saja. Namun belakangan, aku menilaimu secara samar bahwa kau itu menarik. Dan saat aku berbincangdenganmu sekarang, ternyata kau benar-benar menarik.”

Laki-laki itu berujar dengan tenang. Tidak ada nada bercanda meskipun ia mati-matian menghentikan tawanya tadi. Meskipun Sivia tidak melihat matanya, Sivia tahu laki-laki ini tidak bercanda. Sungguh, hanya saja, “Aku tidak bercanda. Kau itu benar-benar menarik.”

Dan setelah itu, Sivia lagi-lagi merasakan wajahnya menghangat. Ia mengangkat wajah dan kembali merasakan kehangatan pada wajahnya hingga ke sekitar rahangnya. Keduanya larut dalam adu pandang yang tidak sengaja terjadi. Hingga senyum pada bibir laki-laki itu menghentakkan Sivia kembali ke bumi. Tunggu, memangnya sejak tadi Sivia sedang berada dimana? Tempat ternyaman yang pernah Sivia rasakan.

Sivia membenarkan apa yang laki-laki itu katakan. Bukan, bukan bagian di mana laki-laki itu mengatakan Sivia menarik.Laki-laki itu baru pertama kali ini berbicara banyak dengannya. Ya, tepat pada bagian itu, meski laki-laki itu tidak mengatakannya secara langsung. Dan Sivia baru menyadari mata sipit milik laki-laki ini terlihat menawan. Astaga, apa yang ia pikirkan?

“Kukira dicintai jauh lebih menyenangkan daripada mencintai.” Katanya setelah jeda beberapa detik. “Namun setelah mengenalmu, pemikiran itu lenyap seketika.”

Sivia menatapnya tidak mengerti.

“Kau tahu? Caramu menyukainya, membuat orang lain iri pada laki-laki itu.” Sivia masih mempertahankan pandangan aku-tidak-mengerti-apa-yang-kau-katakan.

“Astaga, kau benar-benar bodoh,” gumamnya kesal disertai dengusan. “Maksudku, kau menyukai orang itu dengan tulus. Dan jarang sekali orang akan melakukan hal itu pada orang yang ia sukai. Kau tahu, maksudku, mereka mungkin saja tidak mengetahui apa perasaan mereka pada orang itu. Perasaan yang mungkin saja hanya perasaan kagum yang bertahan sementara.”

“Kurasa aku mengerti maksudmu, setidaknya sedikit.”

Laki-laki itu mendegus dan membuang napas secara berlebihan. “Kau cantik tapi bodoh.” katanya dengan nada ditarik-tarik. “Ibumu kira-kira dulu mengidam apa, ya?”

Sivia mendengus. Tidak berniat menjawab perkataan laki-laki di sampingnya. Matanya beralih pada jalan di depan gerbang sekolahnya. Hujan perlahan sudah agak mereda. Sivia tersenyum simpul dan kembali menatap laki-laki di sampingnya.

“Hujan sebentar lagi reda. Sebenarnya, kenapa kau tidak pulang sejak tadi?”

Laki-laki itu menatap jalan dan bertahan di sana. “Entahlah. Menemani perempuan bodoh yang terluka karena terbentur pintu loker mungkin bisa dijadikan alasan,” lalu setelahnya laki-laki itu meringis karena lengannya dicubit Sivia.

“Aku akan melakukan hal yang lebih dari itu jika kau mulai melantur lagi,” katanya. “Tapi, terima kasih. Untuk segalanya, kurasa.” tambahnya dengan tulus.

Laki-laki di sampingnya menoleh dan menatapnya tidak mengerti. “Segalanya? Tapi aku tidak merasa melakukan apa pun,”

Sivia mendesah dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Apa aku harus mengatakannya? Apa kau tidak bisa menerima ucapanku saja? Aku kira kau pintar. Tapi ternyata tidak jauh lebih baik dariku.”

Laki-laki itu tertawa. “Itu berarti kau mengakui bahwa kau bodoh,” guraunya. Dan pipi Sivia menghangat karena malu. Menyadari apa yang ia katakan tadi balik mengkhianatinya. ”Kau menyebalkan.” gerutunya dengan bibir mengerucut dan mendengus setelah laki-laki itu malah tertawa lebar.

“Hujan sudah reda. Kau ingin pulang atau tetap bertahan di sini sampai pagi?”

Mendengar itu, laki-laki di sampingnya kembali menatap jalan. Lalu mendesah. Sivia sempat mengernyit saat laki-laki itu mendesah. Dan Sivia menggeleng saat sebersit pikirannya melantur jauh. Dia tadi mengira laki-laki ini merasa kecewa atas apa yang ia katakan. Bukankah ini aneh?

“Omong-omong, rumahmu dimana?”

“Sivia-chan, boleh aku mengatakan sesuatu?” kata laki-laki itu, tidak menjawab pertanyaannya. Sivia mengangkat bahu. “Katakan saja. Kau tidak akan membayar meskipun aku mengharuskanmu membayar.” guraunya. Melihat laki-laki itu tidak tersenyum, dia buru-buru menambahkan. “Aku bercanda,”

“Sivia-chan, apa kau sungguh-sungguh menyukai Gabriel Oniisan?”

Alis Sivia terangkat salah satu. “Bukankah kau sudah menanyakannya tadi?” Laki-laki itu mengangkat bahu dan berujar, “Aku hanya ingin memastikan.”

Sivia, entah kenapa, tidak berani menatap mata laki-laki itu saat berujar, ”Menurutmu, apa aku berhak menyukainya?”

“Kau berhak menyukai siapa pun di dunia ini.”

“Kalau begitu, aku tidak menyukainya.”

Sivia menoleh dan tersenyum saat melihat kerutan di dahi laki-laki di depannya. “Mendengar apa katamu tadi, aku jadi ragu. Sebenarnya, aku benar-benar menyukainya atau hanya kagum padanya. Aku tidak tahu pasti kenapa. Hanya saja, saat bersama denganmu sekarang, perasaanku untuknya seketika lenyap bagai debu yang tersapu hujan.” Sivia tersenyum sambil mengangkat bahu setelah mengakhiri perkataannya.

Laki-laki di depannya menatapnya dengan mata melebar. “Kalau begitu, kau hanya kagum padanya.” cetusnya tiba-tiba.  “Benarkah?” tanya Sivia dengan mata sipitnya yang dibuat lebar. “Ya.” kata laki-laki itu yakin. Senyum mengembang di bibirnya. Dan tanpa bias dicegah, Sivia ikut tersenyum.

“Sivia-chan, apa kau ingin tahu kenapa aku mengatakan kau terlihat bodoh saat tertangkap basah tengah memerhatikan Gabriel Oniisan?” tanyanya.

Sivia menggeleng perlahan. Mendadak dadanya berdesir saat laki-laki itu tersenyum dengan mata teduh sambil berujar, “Karena itu yang temanku katakan saat dia melihatku tengah memerhatikanmu,”

“Apa kau juga ingin tahu kenapa aku bertahan di sini dan tidak memilih pulang menembus hujan?”

Tanpa ditanya, Sivia menggeleng polos. “Kurasa kau takut hujan,” jawabnya. “Tidak bisakah kau diam danmendengarkan saja? Kau hanya merusak suasana saja,” gerutunya. “Ya, sebenarnya aku malas kalau harus membasahi tubuhku dengan air hujan,” katanya.

“Tetapi bukan karena itu. Aku memilih bertahan di sini karena aku peduli padamu. Aku tidak ingin kau larut dalam kesedihan saat kuketahui ternyata kau memandangi mereka berdua.” katanya. “Kau tahu? Aku terluka kalau kau terluka.” tambahnya.

“Dan saat aku menggunakan pengandaian bahwa kau membuat orang lain iri karena mencintai orang dengan begitu tulus, sebenarnya akulah laki-laki yang iri pada laki-laki itu. Aku iri pada Gabriel Oniisan” Laki-laki itu mendesah. “Dan aku juga setuju bahwa mencintai itu jauh lebih menyenangkan daripada hanya dicintai. Karena dari situ kita tahu bahwa kita memiliki perasaan yang tulus,”

“Kau menarik. Sungguh, kau benar-benar menarik.”

Sivia menunduk dengan segudang perasaan hangat di sekujur tubuhnya. Lalu wajahnya mendongak saat tangan besar itu memaksanya mendongak. Pandangan mereka bertemu. Lama. Dengan senyum pada bibir laki-laki itu. Dan tangannya tidak ingi melepas dagu Sivia.

“Dan dari segala alasan tersebut—mengapa aku mengatakan kau bodoh, menemanimu di sini, menggunakan pengandaian yang tidak kau mengerti—sebenarnya hanya ada alasan untuk semuanya. Alasan yang mungkin akan mengejutkanmu.”

Lalu tangannya melepas dagu Sivia perlahan. Membiarkan wajah Sivia menunduk lagi. Laki-laki itu diam. Tidak meneruskan kata-katanya. “Kau ingin tahu kenapa?” katanya setelah diam terlalu lama.

Sivia memalingkan wajah ke jalan rasa. Sudah agak gelap. Sivia berdiri dan menepuk rok-nya. Padahal ia tidak duduk di kursi yang kotor atau di tanah yang berdebu. Laki-laki di sampingnya tersenyum sekilas.

Lalu Sivia tersentak saat tiba-tiba laki-laki itu sudah berdiri di depannya. “Kau tidak ingin tahu kenapa?” Sivia menegang. “Aku...,” Sivia diam. Tidak bias bernapas karena tubuhnya tiba-tiba ditarik dan dirinya baru tersadar telah berada dalam pelukan laki-laki itu.

“Semua itu kulakukan karena...,” lagi-lagi laki-laki itu menunda perkataannya. “Karena aku mencintaimu.” Jantung Sivia berdetak keras. Ia takut laki-laki itu mendengarnya. Jadi ia memutuskan menutup matanya. Membiarkan tubuhnya dipeluk laki-laki itu. Dan perlahan, Sivia bisa mendengar embusan napas laki-laki itu terdengar berat.

Sivia tetap menunduk meskipun laki-laki itu sudah melepaskan pelukannya. Dia tidak berani mendongak dan menatap laki-laki itu. Yang ia lakukan hanya terus menunduk dan memejamkan matanya.

“Kau tidak perlu membalas apa yang kurasakan. Karena aku juga bisa mengerti. Aku sungguh tidak peduli jika kau tidakbisa menerimaku. Karena aku hanya ingin mencintaimu dengan tulus. Seperti yang kaulakukan pada laki-laki lain,”

Sivia mendengarnya. Mendengar ketulusan yang terdengar jelas di telinganya. Dengan keberanian yang ia pompa sekuat tenaga, ia mendongak dan melihat mata laki-laki itu. Laki-laki itu tersenyum, meskipun sudah gelap dan wajah laki-laki itu tidak terlihat jelas, Sivia tahu laki-laki itu menatapnya dan tersenyum.

“Sudah gelap. Akan kuantarkan kau pulang sampai rumah,” laki-laki itu berujar sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Sivia. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah hingga...

“Alvin-san...” panggilnya. Alvin, laki-laki itu, menoleh dari bahunya. Menunggu Sivia mengatakan sesuatu.

Sivia melangkahkan kakinya dengan ringkih. Mendekati Alvin yang sedang menunggunya tepat tiga langkah di depannya. Setelah di berada di samping Alvin, Sivia mengembuskan napas pelan.

“Kita belum terlalu mengenal. Mungkin, jika kau mau menunggu, kita...”

“Aku tahu, dan soal tadi, pelukan itu maksudku, aku minta maaf,”

Sivia menggeleng menatapnya. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Sivia menatap jalan dan mengembuskan napasnya lagi. Entah sejak kapan Ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia menahan napas.

“Sudah gelap. Kau belum makan, bukan? Bagaimana kalau kutraktir makan malam? Kau yang bilang sendiri kalau kita harus saling mengenal terlebih dulu. Jadi anggap saja, ini langkah pertamaku untuk lebih mengenalmu. Bagaimana?”
+++

sebuah cerita untuk Aurora.
@shyfanurfa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar