Baby, I have no story to be told. But I've heard one of you. And I'm gonna make your head burn.
+++
HUJAN sudah turun
sejak lima belas menit yang lalu. Meninggalkan beberapa pelajar yang tidak
membawa payung dalam lorong sekolah yang nampak sepi. Kebanyakan pelajar
memilih untuk diam menunggu hujan reda. Namun tidak sedikit yang memaksa untuk
menembus hujan meski seragam dan almamater mereka harus basah.
Lima belas menit kemudian berlalu. Hujan belum juga reda. Dan sekarang lorong
yang belasan menit lalu masih ramai sudah terlihat semakin sepi. Mereka tidak
ingin pulang terlalu larut karena jam pulang sekolah juga sudah berakhir pada
waktu yang bisa dikatakan terlalu sore.
Sivia Matsuda berdiri menghadap kedua orang di depannya yang berdiri beberapa
meter membelakanginya. Berulang kali dia membuang napas dalam kesendirian.
Entah sudah berapa kali ia melakukan itu namun masih saja ada yang terasa
menyumpal dadanya.
Tangan Sivia mulai terasa dingin. Entah karena udara di sekitarnya yang
membuatnya dingin atau itu disebabkan karena pikirannya yang melebur dalam
keputusasaan. Kedua temannya yang berada di depan sana memang sejak lima belas
menit sebelumnya telah mengajak Sivia untuk pulang bersama. Namun Sivia
menolak. Dia tahu apa dampak yang terjadi pada dirinya jika ia memaksa untuk
menerima ajakan teman perempuannya itu.
“Kalian berdua pulang duluan saja. Payung itu tidak akan cukup menahan air yang
terlampau banyak untuk kita bertiga.” katanya mencari alasan yang tepat. Sivia
sempat melihat tatapan laki-laki yang memegang payung di samping temannya itu
bersinar senang. Melihat tatapan yang dapat diartikan sebagai ucapan terima
kasih, Sivia membalas tersenyum padanya. Namun setelahnya, Sivia merasa beku
saat itu juga saat laki-laki itu kian memperjelas senyuman di bibirnya. Lalu
setelah itu, laki-laki itu menggenggam pergelangan tangan teman perempuannya
dan berjalan meninggalkannya. Berjalan dan tidak pernah berbalik melihatnya
lagi.
“Kau lihat apa?”
Kepala Sivia yang saat itu masih bertumpu pada pintu loker yang terbuka
langsung terbentur secara cepat setelah mendadak kata-kata itu terdengar di
sampingnya. Sivia menoleh dan menutup pintu loker. Tangannya memijat keningnya
pelan.
Laki-laki di sampingnya mengangkat bahu setelah melihat apa yang Sivia lihat
sejak tadi. Lalu menoleh dan menatap Sivia dengan datar. “Kenapa tidak pulang
bersama mereka berdua?” tanyanya. Tak memerdulikan tangan Sivia yang berada di
kening.
“Oh, astaga! Keningmu berdarah.” cetus laki-laki itu.
Mendengar laki-laki itu berseru, Sivia sontak melihat jari tangannya yang ia
gunakan untuk memijat keningnya tadi. Astaga,
benar-benar berdarah, katanya membatin. Tidak sempat Sivia
berpikir, tangannya yang menggantung bebas segera ditarik. Laki-laki itu
menyuruhnya duduk di kursi di sekitar koridor kelas.
“Harusnya kau berhati-hati.” katanya dingin. Tangannya mengaduk-aduk ransel
yang disandangnya dan mengeluarkan kapas dan obat merah.
Sivia mendengus
di sampingnya. Matanya tidak memerhatikan laki-laki di sampingnya yang sudah berhasil
menyiapkan alat medis tadi. Lalu dagunya dipaksa menoleh menghadap laki-laki
itu. Dengan pelan laki-laki itu mengolesi obat merah pada permukaan kapas dan
ditekan pada kening Sivia secara teratur.
“Kau
mengejutkanku tadi. Jadi seharusnya aku yang marah padamu,” kata Sivia tak
kalah dingin. Tangan laki-laki itu menghentikan kegiatannya dan menatap Sivia
sesaat. Hanya sesaat, karena tangan besarnya segera melakukan hal yang sama
dengan kekuatan yang lebih besar. Saat Sivia meringis di depannya, laki-laki
itu menghentikan tangannya dan membuang kapas itu ke lantai.
“Maaf.” katanya
datar. “Tadi kau terlihat seperti orang bodoh dengan wajah menempel pada pintu
loker.” tambahnya. Laki-laki itu kembali menatap Sivia setelah selesai
memasukkan alat medis itu dan menutup ranselnya.
Sivia masih
menatapnya datar sampai tangan laki-laki itu bergerak pelan ke arah wajahnya
dan berhenti di samping keningnya yang terluka. Lalu tangannya bergerak menyapu
rambut Sivia yang menutupi keningnya ke samping. Sivia merasakan wajahnya
menjadi hangat di tengah kedinginan yang ia rasakan tadi. Dan ia berharap
laki-laki di depannya tidak melihatnya karena pasti wajahnya telah berubah
merah muda. Ia berharap laki-laki di depannya mengira wajahnya memerah karena
noda dari obat merah yang ada di keningnya. Meskipun harapannya terdengar sangat
konyol, tetapi Sivia benar-benar berharap itu terjadi. Sivia tidak ingin
laki-laki di depannya ini berpikiran...
“Kau punya jepit
rambut?” tanyanya. Sivia bergerak mengambil jepit rambut yang ia letakkan di
saku almamaternya dengan perasaan bercampur aduk. Berhasil. Ia memberikan jepit
rambut itu kepada laki-laki di depannya dengan gugup.
Tidak hanya satu
tangan laki-laki itu yang berada di keningnya. Sekarang kedua tangannya ikut
menempel di keningnya. Satu tangan menahan rambutnya, satu tangan lagi menjepit
rambutnya dengan penjepit rambut tadi. Sivia tidak bisa mengalihkan
pandangannya dari mata laki-laki di depannya. Matanya terus saja bertahan di
titik yang sama. Titik hitam yang saat ini seakan menarik dan
menenggelamkannya. Menenggelamkannya pada kedamaian dan kenyamanan yang
meluap-luap.
“Selesai.” Saat
ini, Sivia tidak tahu kenapa ada bagian perasaannya yang menguap kecewa saat
tangan laki-laki itu menjauh dari keningnya. “Cantik,” gumamnya.
Mata Sivia
melebar kaget saat laki-laki itu berujar demikian. Sivia ingin membuka mulut
namun tidak jadi. Ia bingung. Mendadak jantungnya berhenti bekerja lalu
berdetak dengan cepat. Semakin cepat hingga, “Jepit rambut ini cantik. Kau
membelinya dimana? Kurasa aku akan membelikan jepit yang sama untuk pacarku.”
Sivia mengerjap
bingung. Lalu memalingkan wajah ke arah lain. Ke ujung lorong yang langsung
menembus ke jalan besar setelah melewati gerbang. Sivia mendesah samar lalu
tersenyum miris. Merasa bodoh telah mengharapkan sesuatu pada laki-laki di
depannya ini. Lagi pula, dirinya ini kenapa? Aneh, baru kali ini Sivia dengan
cepat memikirkan bahwa laki-laki di depannya ini... Ah, apa yang ia pikirkan
tadi? Entahlah. Sepertinya luka di keningnya ini memberikan efek buruk untuk
otaknya. Tetapi... benarkah laki-laki itu memiliki kekasih?
“Jadi, kenapa kau
melamun di sana sendirian?”
“Karena tidak ada
yang bisa diajak untuk melamun bersama.”
“Maksudku...”
“Aku tahu
maksudmu.” Sivia menyela. Lalu tersadar sendiri setelah beberapa detik berlalu.
Perasaannya saja atau memang ia tadi bersikap terlalu sinis? Ia menoleh dan
mendapati laki-laki itu masih duduk di tempatnya sambil merenung dengan mata
menerawang. Pandangannya memang jatuh pada titik yang sama dengan Sivia. Tapi
Sivia yakin pikirannya melayang-layang entah kemana.
“Kau sendiri
kenapa tidak pulang?”
Laki-laki itu
tidak menjawab. Dan Sivia semakin yakin kalau laki-laki ini tengah melamun.
Tangan Sivia menyentuh cepatlengan laki-laki itu. Dan efeknya langsung terasa.
Laki-laki itu menoleh kaget dan seketika itu tersenyum. Laki-laki itu tersenyum
sangat tipis. Namun Sivia merasakan getaran yang aneh saat senyum ini melebar
menjadi tawa. Tawa yang dapat membuatnya ringan dan nyaman. Lebih nyaman
daripada bola mata laki-laki itu.
“Aku melamun,
maaf, ya. Kau bilang apa tadi?” katanya setelah berhasil mengontrol diri.
Sivia menggeleng
dan kembali memalingkan muka. Ia tidak ingin kembali terlihat bodoh di depan
laki-laki ini karena wajahnya yang kembali bersemu merah. Cukup sudah dirinya
merasa aneh seharian ini. Jangan sampai laki-laki ini makin membuatnya merasa
aneh dengan dirinya sendiri.
“Sivia-chan,”
panggilnya. Di depannya, Sivia melebarkan matanya. Sivia-cham? Laki-laki ini
memanggilnya ‘Sivia-chan’? “Boleh aku menanyakan sesuatu?”
Sivia menoleh dan
mengangkat satu alisnya. “Tentu saja.”
Laki-laki di
depannya terlihat ragu untuk bicara. Keraguan itu hanya bertahan sejenak dan
digantikan tatapan tajam yang langsung menembus jantung Sivia.
“Apa kau
benar-benar menyukai Gabriel Oniisan?”
Sivia mengerjap
kaget. Dan kembali memalingkan muka setelah mendesah samar. Namun karena
dirinya tidak ingin terlihat lemah, Sivia menoleh dan tersenyum. Senyum
yang ia yakini pasti nampak menyedihkan.
“Ya. Aku
menyukainya,” katanya tenang. Ia lihat laki-laki di depannya ini mengangkat
kedua alisnya dengan mata sipitnya yang melebar. Sivia masih mempertahankan
senyumnya. “Aku bodoh, bukan? Aku menyukai laki-laki yang sama dengan laki-laki
yang menjadi kekasih sahabatku sendiri.” gumamnya. Lebih pada dirinya sendiri.
Lalu wajahnya menunduk dan senyumnya memudar.
“Kurasa tidak.”
Sivia mengangkat wajah dan melihat senyum laki-laki itu terlihat aneh. “Kau
berhak menyukai siapa pun di dunia ini termasuk laki-laki itu.” katanya pelan.
“Bukankah manusia memang memiliki perasaan dan kita tidak bisa mengaturnya?”
Setelah berujar begitu, laki-laki itu tersenyum semakin aneh dengan pandangan
menerawang. Seperti memikirkan sesuatu.
“Dia lebih baik
jika bersama sahabatku itu. Karena aku tahu bagaimana perasaannya pada GabrielOniisan.”
“Tapi kau juga
mencintainya, bukan?”
“Tidak sedalam
sahabatku.” Katanya menerawang. “Lebih baik mencintai orang yang juga mencintai
kita, bukan? Daripada aku harus mencintai orang yang tidak mencintaiku. Tapi
itu tidak masalah, selama ia bahagia, aku pun bahagia.”
“Dia pasti akan
menyesal karena tidak pernah mengetahui perasaanmu yang begitu tulus padanya.”
Kata laki-laki itu dengan yakin.
Mendengar itu,
Sivia tertawa miris dan menggelengkan kepalanya. Tidak melihat laki-laki itu.
“Dia tidak perlu tahu bagaimana perasaanku. Aku hanya ingin menyukainya dalam
diam. Tanpa perlu ada yang mengetahuinya selain aku,” lalu Sivia menoleh dengan
senyum manisnya. “Tentu saja kau itu pengecualian, karena kau sudah
mengetahuinya meski aku tidak mengatakannya.”
“Tapi tunggu
dulu. Bagaimana kau tahu aku menyukai Gabriel Oniisan?” tanya Sivia tajam
dengan mata menyipit. “Kau menguntitku?” tudingnya dengan telunjuk mengarah
langsung pada hidung laki-laki itu.
Laki-laki itu
tergagap dan buru-buru tersenyum gugup. “Aku, yah, aku tidak sengaja melihatmu
setiap kau melakukan itu,”
“Melakukan apa?”
sergah Sivia.
Laki-laki itu
mengangkat bahu dan berujar, “Melamun dengan tatapan sendu dan mata mengarah
pada Gabriel Oniisan,”
katanya dengan tenang. Kini Sivia yang nampak gugup. “Apa benar-benar kelihatan
kalau aku memerhatikannya?” tanya Sivia dengan nada berbisik. Laki-laki itu
tertawa. Tawa yang kedengarannya seperti sebuah ejekan di telinga Sivia.
“Kau benar-benar
terlihat bodoh.” Laki-laki itu tertawa lagi. Sementara Sivia mengalihkan
pandangan jauh dari matanya. “Aku tidak bodoh,” bantah Sivia. Lalu laki-laki
itu tertawa lagi. “Kau memang tidak bodoh. Hanya kurang sedikit pintar.” Sivia
bisa mendengar laki-laki itu terbahak dan telinganya mendengar suara tidak asing.
Tangan yang beradu dengan kayu. Saat menoleh, Sivia segera memajukan bibirnya
setelah menyadari laki-laki itu tertawa dengan tangan memukul-mukul kursi kayu
yang mereka duduki.
“Tidak lucu.”
gerutu Sivia. Laki-laki itu berhenti tertawa dan menyusut ujung matanya dengan
tangan. Masih dengan sisa tawanya, laki-laki itu berujar, “Kau ternyata jauh
lebih menarik dari perkiraanku,”
Alis Sivia hampir
menyatu mendengar itu. “Apa?”
“Kukira kau biasa
saja. Namun belakangan, aku menilaimu secara samar bahwa kau itu menarik. Dan
saat aku berbincangdenganmu sekarang, ternyata kau benar-benar menarik.”
Laki-laki itu
berujar dengan tenang. Tidak ada nada bercanda meskipun ia mati-matian
menghentikan tawanya tadi. Meskipun Sivia tidak melihat matanya, Sivia tahu
laki-laki ini tidak bercanda. Sungguh, hanya saja, “Aku tidak bercanda. Kau itu
benar-benar menarik.”
Dan setelah itu,
Sivia lagi-lagi merasakan wajahnya menghangat. Ia mengangkat wajah dan kembali
merasakan kehangatan pada wajahnya hingga ke sekitar rahangnya. Keduanya larut
dalam adu pandang yang tidak sengaja terjadi. Hingga senyum pada bibir
laki-laki itu menghentakkan Sivia kembali ke bumi. Tunggu, memangnya sejak tadi
Sivia sedang berada dimana? Tempat ternyaman yang pernah Sivia rasakan.
Sivia membenarkan
apa yang laki-laki itu katakan. Bukan, bukan bagian di mana laki-laki itu
mengatakan Sivia menarik.Laki-laki itu baru pertama kali ini berbicara banyak
dengannya. Ya, tepat pada bagian itu, meski laki-laki itu tidak mengatakannya
secara langsung. Dan Sivia baru menyadari mata sipit milik laki-laki ini
terlihat menawan. Astaga, apa yang ia pikirkan?
“Kukira dicintai
jauh lebih menyenangkan daripada mencintai.” Katanya setelah jeda beberapa
detik. “Namun setelah mengenalmu, pemikiran itu lenyap seketika.”
Sivia menatapnya
tidak mengerti.
“Kau tahu? Caramu
menyukainya, membuat orang lain iri pada laki-laki itu.” Sivia masih
mempertahankan pandangan aku-tidak-mengerti-apa-yang-kau-katakan.
“Astaga, kau
benar-benar bodoh,” gumamnya kesal disertai dengusan. “Maksudku, kau menyukai
orang itu dengan tulus. Dan jarang sekali orang akan melakukan hal itu pada
orang yang ia sukai. Kau tahu, maksudku, mereka mungkin saja tidak mengetahui
apa perasaan mereka pada orang itu. Perasaan yang mungkin saja hanya perasaan
kagum yang bertahan sementara.”
“Kurasa aku
mengerti maksudmu, setidaknya sedikit.”
Laki-laki itu
mendegus dan membuang napas secara berlebihan. “Kau cantik tapi bodoh.” katanya
dengan nada ditarik-tarik. “Ibumu kira-kira dulu mengidam apa, ya?”
Sivia mendengus.
Tidak berniat menjawab perkataan laki-laki di sampingnya. Matanya beralih pada
jalan di depan gerbang sekolahnya. Hujan perlahan sudah agak mereda. Sivia
tersenyum simpul dan kembali menatap laki-laki di sampingnya.
“Hujan sebentar
lagi reda. Sebenarnya, kenapa kau tidak pulang sejak tadi?”
Laki-laki itu
menatap jalan dan bertahan di sana. “Entahlah. Menemani perempuan bodoh yang
terluka karena terbentur pintu loker mungkin bisa dijadikan alasan,” lalu
setelahnya laki-laki itu meringis karena lengannya dicubit Sivia.
“Aku akan
melakukan hal yang lebih dari itu jika kau mulai melantur lagi,” katanya.
“Tapi, terima kasih. Untuk segalanya, kurasa.” tambahnya dengan tulus.
Laki-laki di
sampingnya menoleh dan menatapnya tidak mengerti. “Segalanya? Tapi aku tidak
merasa melakukan apa pun,”
Sivia mendesah
dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Apa aku harus mengatakannya?
Apa kau tidak bisa menerima ucapanku saja? Aku kira kau pintar. Tapi ternyata
tidak jauh lebih baik dariku.”
Laki-laki itu
tertawa. “Itu berarti kau mengakui bahwa kau bodoh,” guraunya. Dan pipi Sivia
menghangat karena malu. Menyadari apa yang ia katakan tadi balik
mengkhianatinya. ”Kau menyebalkan.” gerutunya dengan bibir mengerucut dan
mendengus setelah laki-laki itu malah tertawa lebar.
“Hujan sudah
reda. Kau ingin pulang atau tetap bertahan di sini sampai pagi?”
Mendengar itu,
laki-laki di sampingnya kembali menatap jalan. Lalu mendesah. Sivia sempat
mengernyit saat laki-laki itu mendesah. Dan Sivia menggeleng saat sebersit
pikirannya melantur jauh. Dia tadi mengira laki-laki ini merasa kecewa atas apa
yang ia katakan. Bukankah ini aneh?
“Omong-omong,
rumahmu dimana?”
“Sivia-chan,
boleh aku mengatakan sesuatu?” kata laki-laki itu, tidak menjawab
pertanyaannya. Sivia mengangkat bahu. “Katakan saja. Kau tidak akan membayar
meskipun aku mengharuskanmu membayar.” guraunya. Melihat laki-laki itu tidak
tersenyum, dia buru-buru menambahkan. “Aku bercanda,”
“Sivia-chan, apa
kau sungguh-sungguh menyukai Gabriel Oniisan?”
Alis Sivia
terangkat salah satu. “Bukankah kau sudah menanyakannya tadi?” Laki-laki itu
mengangkat bahu dan berujar, “Aku hanya ingin memastikan.”
Sivia, entah
kenapa, tidak berani menatap mata laki-laki itu saat berujar, ”Menurutmu, apa
aku berhak menyukainya?”
“Kau berhak
menyukai siapa pun di dunia ini.”
“Kalau begitu,
aku tidak menyukainya.”
Sivia menoleh dan
tersenyum saat melihat kerutan di dahi laki-laki di depannya. “Mendengar apa
katamu tadi, aku jadi ragu. Sebenarnya, aku benar-benar menyukainya atau hanya
kagum padanya. Aku tidak tahu pasti kenapa. Hanya saja, saat bersama denganmu
sekarang, perasaanku untuknya seketika lenyap bagai debu yang tersapu hujan.”
Sivia tersenyum sambil mengangkat bahu setelah mengakhiri perkataannya.
Laki-laki di
depannya menatapnya dengan mata melebar. “Kalau begitu, kau hanya kagum
padanya.” cetusnya tiba-tiba. “Benarkah?” tanya Sivia dengan mata
sipitnya yang dibuat lebar. “Ya.” kata laki-laki itu yakin. Senyum mengembang
di bibirnya. Dan tanpa bias dicegah, Sivia ikut tersenyum.
“Sivia-chan, apa
kau ingin tahu kenapa aku mengatakan kau terlihat bodoh saat tertangkap basah
tengah memerhatikan Gabriel Oniisan?”
tanyanya.
Sivia menggeleng
perlahan. Mendadak dadanya berdesir saat laki-laki itu tersenyum dengan mata
teduh sambil berujar, “Karena itu yang temanku katakan saat dia melihatku
tengah memerhatikanmu,”
“Apa kau juga
ingin tahu kenapa aku bertahan di sini dan tidak memilih pulang menembus hujan?”
Tanpa ditanya,
Sivia menggeleng polos. “Kurasa kau takut hujan,” jawabnya. “Tidak bisakah kau
diam danmendengarkan saja? Kau hanya merusak suasana saja,” gerutunya. “Ya,
sebenarnya aku malas kalau harus membasahi tubuhku dengan air hujan,” katanya.
“Tetapi bukan
karena itu. Aku memilih bertahan di sini karena aku peduli padamu. Aku tidak
ingin kau larut dalam kesedihan saat kuketahui ternyata kau memandangi mereka
berdua.” katanya. “Kau tahu? Aku terluka kalau kau terluka.” tambahnya.
“Dan saat aku
menggunakan pengandaian bahwa kau membuat orang lain iri karena mencintai orang
dengan begitu tulus, sebenarnya akulah laki-laki yang iri pada laki-laki itu.
Aku iri pada Gabriel Oniisan”
Laki-laki itu mendesah. “Dan aku juga setuju bahwa mencintai itu jauh lebih
menyenangkan daripada hanya dicintai. Karena dari situ kita tahu bahwa kita
memiliki perasaan yang tulus,”
“Kau menarik.
Sungguh, kau benar-benar menarik.”
Sivia menunduk
dengan segudang perasaan hangat di sekujur tubuhnya. Lalu wajahnya mendongak
saat tangan besar itu memaksanya mendongak. Pandangan mereka bertemu. Lama.
Dengan senyum pada bibir laki-laki itu. Dan tangannya tidak ingi melepas dagu
Sivia.
“Dan dari segala
alasan tersebut—mengapa aku mengatakan kau bodoh, menemanimu di sini,
menggunakan pengandaian yang tidak kau mengerti—sebenarnya hanya ada alasan
untuk semuanya. Alasan yang mungkin akan mengejutkanmu.”
Lalu tangannya
melepas dagu Sivia perlahan. Membiarkan wajah Sivia menunduk lagi. Laki-laki
itu diam. Tidak meneruskan kata-katanya. “Kau ingin tahu kenapa?” katanya
setelah diam terlalu lama.
Sivia memalingkan
wajah ke jalan rasa. Sudah agak gelap. Sivia berdiri dan menepuk rok-nya.
Padahal ia tidak duduk di kursi yang kotor atau di tanah yang berdebu.
Laki-laki di sampingnya tersenyum sekilas.
Lalu Sivia
tersentak saat tiba-tiba laki-laki itu sudah berdiri di depannya. “Kau tidak
ingin tahu kenapa?” Sivia menegang. “Aku...,” Sivia diam. Tidak bias bernapas
karena tubuhnya tiba-tiba ditarik dan dirinya baru tersadar telah berada dalam
pelukan laki-laki itu.
“Semua itu
kulakukan karena...,” lagi-lagi laki-laki itu menunda perkataannya. “Karena aku
mencintaimu.” Jantung Sivia berdetak keras. Ia takut laki-laki itu
mendengarnya. Jadi ia memutuskan menutup matanya. Membiarkan tubuhnya dipeluk
laki-laki itu. Dan perlahan, Sivia bisa mendengar embusan napas laki-laki itu
terdengar berat.
Sivia tetap
menunduk meskipun laki-laki itu sudah melepaskan pelukannya. Dia tidak berani
mendongak dan menatap laki-laki itu. Yang ia lakukan hanya terus menunduk dan
memejamkan matanya.
“Kau tidak perlu
membalas apa yang kurasakan. Karena aku juga bisa mengerti. Aku sungguh tidak
peduli jika kau tidakbisa menerimaku. Karena aku hanya ingin mencintaimu dengan
tulus. Seperti yang kaulakukan pada laki-laki lain,”
Sivia
mendengarnya. Mendengar ketulusan yang terdengar jelas di telinganya. Dengan
keberanian yang ia pompa sekuat tenaga, ia mendongak dan melihat mata laki-laki
itu. Laki-laki itu tersenyum, meskipun sudah gelap dan wajah laki-laki itu
tidak terlihat jelas, Sivia tahu laki-laki itu menatapnya dan tersenyum.
“Sudah gelap.
Akan kuantarkan kau pulang sampai rumah,” laki-laki itu berujar sambil
melangkahkan kakinya meninggalkan Sivia. Satu langkah, dua langkah, tiga
langkah hingga...
“Alvin-san...”
panggilnya. Alvin, laki-laki itu, menoleh dari bahunya. Menunggu Sivia
mengatakan sesuatu.
Sivia
melangkahkan kakinya dengan ringkih. Mendekati Alvin yang sedang menunggunya
tepat tiga langkah di depannya. Setelah di berada di samping Alvin, Sivia
mengembuskan napas pelan.
“Kita belum
terlalu mengenal. Mungkin, jika kau mau menunggu, kita...”
“Aku tahu, dan
soal tadi, pelukan itu maksudku, aku minta maaf,”
Sivia menggeleng
menatapnya. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Sivia menatap jalan dan
mengembuskan napasnya lagi. Entah sejak kapan Ia baru menyadari bahwa sejak
tadi ia menahan napas.
“Sudah gelap. Kau
belum makan, bukan? Bagaimana kalau kutraktir makan malam? Kau yang bilang
sendiri kalau kita harus saling mengenal terlebih dulu. Jadi anggap saja, ini
langkah pertamaku untuk lebih mengenalmu. Bagaimana?”
+++
sebuah cerita untuk Aurora.
@shyfanurfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar