Hujan Kala itu (sebuah cerita yang
di kalahkan)
Hujan
selalu menyisakan percikan kenangan, yang tetap tak tersamar pelangi
setelahnya. Sheila mendesah lalu meraih notes kecilnya, berniat mengalirkan
barisan kata yang berkejaran di benaknya lewat ujung pena, tak peduli dengan
guncangan kendaraan yang sedang dinaikinya.
“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar
sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan
aku bisa mengenyahkannya, ya tentang kamu dan hujan kala itu ..”
*
Hujan kala itu, mengawali kisah tentangnya.
‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan.
Yang menjadikannya tiada.’
Pagi itu ditemani dendang rintik hujan, dikawani kesendirian dan di dalam ruang
mading yang sarat kesunyian, Sheila sedang duduk sambil menekuri sehelai kertas
puisi saduran tak bertuan yang tiba-tiba tergeletak pasrah di meja panjang
ruangan. “Keren,” ucapnya pelan.
“Sapardi Djoko Damono.”
Sheila hampir mencelat dari kursinya karena kaget. Ia mengangkat wajah dan
terkejut mendapati siapa yang barusan bersuara.
Pemuda itu berdiri di belakang Sheila, ikut mengamati kertas puisi yang sama.
Tetesan air bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Seragam yang sedikit basah
menyurukkan wangi hujan dan harum maskulin alaminya, sejenak membuat Sheila
terpana. Dia Aryo Junio, kapten tim basket putra SMA mereka yang kata
teman-temannya amat berbakat dan tampan. Kadang Sheila memandangi Ryo (sapaan
akrab Aryo) dari kejauhan, kemudian selalu bertanya tak mengerti kenapa pemuda
‘biasa saja’ ini begitu dielu-elukan.
Ryo menyunggingkan senyum miring “Itu Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono kan ?
larik itu termasuk dalam buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni.
Keren banget tuh.” Celotehnya lancar lalu menarik bangku di ujung lain meja dan
duduk disana.
Sheila cuma melongo, dia bahkan belum pernah mendengar nama penyair tadi kalau
Ryo tidak menyebutnya, karena di kertas puisi itu pun tak tertulis siapa
pembuatnya. Sheila juga tidak menyangka, Ryo yang selalu mengundang jeritan
histeris gadis-gadis saat beraksi di lapangan itu ternyata ‘geek at heart’
juga.
“Be-te-we. Gue numpang tidur disini, boleh kan ? Ekskul basket juga ga bakal
ada nih kalau hujan begini..” Ucapan ini toh hanya basa-basi. Tanpa menunggu
jawaban si penunggu ruang, Ryo langsung melipat kedua tangannya di atas meja
lalu membenamkan wajah disana.
Sheila sedikit bingung, namun tanpa sadar ia tidak bisa mengalihkan pandangan
dari pemuda rupawan yang saat itu mulai terlelap dalam nafas teratur.
*
Hujan kala itu, meniupkan perubahan.
Kunjungan singkat itu terhelat tiap kali hujan membisiki pagi. Saat petir
menyambar kencang dan alam mulai menumpahkan tangisnya, Sheila tahu pemuda itu
akan kembali.
Tak lama, ceklikan di engsel pintu membuktikan hipotesisnya.
“Kenapa ya hujan terus ?” Ryo melontarkan pertanyaan retoris yang dijawab
Sheila dengan bahu terangkat. Tanya saja Tuhan, batinnya sarkatis.
Sheila sudah mulai hafal rutinitas Ryo setelah ini. Sementara dirinya menyortir
artikel-artikel untuk mading mingguan, pemuda itu akan merutuk sebentar soal
kenapa pelatihnya tidak memindahkan jadwal ekskul basket menjelang turnamen
dari jam ke nol (sebelum upacara dan ma-pel dimulai) ke jam pulang sekolah
(mengingat hujan selalu merusak waktu latihan pagi), lalu ia akan menduduki
bangku yang itu-itu saja, melipat kedua tangan di atas meja, membenamkan wajah
dan mendengkur.
Tapi pagi itu, Ryo tergelitik untuk menanyakan sesuatu setelah menarik bangku
“Udah baca kumpulan puisi yang waktu itu gue bilang, belom ?”
Sheila menaikkan sebelah alis, mengira seharusnya Ryo sudah melayang di alam
mimpi. Ia menggeleng.
“Sayang banget,” Ryo berdecak “Besok gue pinjemin deh. Itung-itung balesan buat
akomodasi gratis tiap pagi nih. Oke ? Gue tidur dulu ya.” Tukasnya lalu
melanjutkan prosedur tidur paginya yang tertunda.
Sheila mengerutkan kening. Dasar aneh.
*
Hujan kala itu, menadakan seuntai harapan.
“Lo suka nulis puisi ?” Ryo mengangkat tinggi-tinggi kertas yang terisi penuh
oleh tulisan tangan Sheila, sementara si empunya sedang berusaha merebut
kembali kertasnya.
“Ini buat konsumsi pribadi,” Rutuk Sheila pelan. Sikapnya memang cenderung
introvert, tapi bukan itu sesungguhnya alas an kenapa ia tidak menunjukkan
hobinya. Ia hanya merasa buah karyanya belum pantas dipublikasikan. Dan pemuda
rese ini malah mengerjainya. Serius deh, dilihat dari sisi mananya sih Ryo ini
dibilang keren ? Di mata Sheila, Ryo hanyalah pemuda pengantuk tukang tidur
yang diam-diam mencintai puisi setengah mati.
“Ini keren banget !” kata Ryo “Yah emang belum sekeren Sapardi sih hehe ..” Ryo
terkekeh, lalu tiba-tiba menatap Sheila serius.
“Tapi lo kan punya sarana ini .. Maksud gue, mading ini loh.. Kenapa ga
dipajang ? Perasaan kerjaan lo cuma nyortir doang kayak tukang pos ?”
Sheila mendesah “Job-desc gue kan cuma editor, editor yang harus selalu dateng
paling pagi buat milihin bahan,” katanya, lalu mencuri kembali kertas itu dan
memasukkannya ke dalam tas. “Gue ga pede lagian.”
Ryo berdecak, lalu berjalan mendekati Sheila. Ia mengangkat dagu Sheila dengan
telunjuknya, tanpa tahu bahwa sebuah rasa asing baru saja menyalip hati gadis
yang sedang dipandanginya.
Ryo lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Sheila, melesakkan tiap inci
harapan dalam tuturnya “Lo bakal jadi penyair terkenal suatu saat nanti dan gue
akan ada disana, nonton lo di baris pertama Teater Salihara. Don’t give up,
Sheila !”
*
Hujan kala itu, menebalkan angan.
“Tumben ga tidur ?” Sambil merapikan tumpukan artikel issue mnggu lalu. Sheila
berpura-pura tak acuh, seakan hanya bertanya sepintas, saat melihat Ryo
bertopang dagu dan mengetukkan jarinya dengan gelisah.
Sheila sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ryo yang selalu diiringi
orchestra rintikan air di ruang madingnya, dan terlalu menikmati ketukan tak
beraturan yang membuncah di hatinya saat melihat pemuda itu.
Ryo masih sibuk berfikir hingga tak mendengar ucapan Sheila, lalu menggumam
agak keras.
“Emang sekarang beneran jaman emansipasi wanita ya ?”
Sheila mengangkat bahu. Lama-lama terlatih mendengar celetukan Ryo yang tidak
biasa.
“Gue ditembak,” kata Ryo lagi.
Mau tak mau Sheila melongo “Hah ?”
Ryo menggaruk kepalanya salah tingkah “Gimana dong ya ?”
“Kalau suka, terima lah. Ga suka, ya tolak.” Jawab Sheila kalem, walau hatinya
ketar-ketir setegah mati. Harusnya dia sadar, Ryo itu memang sasaran empuk
gadis-gadis cantik.
“Gue ga suka sih,”
Sheila menghela nafas lega diam-diam “Kenapa ?”
“Bukan tipe gue aja..”
Sheila mengangkat alis, lalu baru ingat Ryo pernah bercerita bahwa ia belum
pernah punya hubungan khusus dengan perempuan walau banyak yang mengejarnya.
“Emang tipe lo kayak gimana ?”
“Yang kalem, ga kebanyakan dandan, ga kebanyakan cekikikan sama jejeritan.” Ryo
menatapnya “Kayak lo gitu deh,” lanjtunya lalu tertawa pelan.
Sheila terdiam, baru menyadari pemuda di hadapannya memiliki lesung pipi yang
menawan.
*
Hujan kala itu, membawa seutas pesan dan segenggam goresan.
Meski kebenaran itu hanya terkungkung sampai batas pintu ruang mading, Sheila
tahu tak pernah ada salahnya untuk berharap. Entah bagaimana, harapan itu
muncul dan mengembang tak terkendali. Harapan agar Ryo selalu menyemangati
mimpinya, harapan agar Ryo terus mencekokinya dengan biografi lengkap Sapardi
Djoko Damono walau sebenarnya Sheila sudah bosan, harapan agar Ryo selalu
menertawakan kepolosannya. Praktisnya, harapan agar Ryo (Ryo dengan sosok berbeda
yang hanya ditunjukkannya pada Sheila) bisa terus disampingnya.
Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu soal rutinitas itu, rutinitas ‘privat’
–dalam pandangan Sheila- pagi mereka. Mungkin karena Sheila memang jarang
berkeliaran di sekolah, ia tak pernah bertemu Ryo di samping jam rutin itu dan
gadis itu pun tak pernah tahu ada prahara yang mengintipnya di luar sana.
Sheila mengenal Jelita sepintas lalu. Jelita adalah gadis sederhana, dua bulan
lalu pindah dari Jepara, dengan kepintarannya melanglang mimpi jauh-jauh untuk
mendapat beasiswa di Jakarta. Di SMA mereka.
Dan kini Sheila mendapat tambahan satu fakta, fakta yang didengarnya di pagi
yang mendung itu, dari seorang pemuda yang menghampirinya dengan wajah kalut.
“Ya ampun, gue ga pernah ngerasin debar kayak gini, Sheil.” Ryo mondar-mandir.
“Rasanya serba salah kalo dia lewat. Kayak ‘Sajak Kecil Tentang Cinta’nya eyang
Sapardi. Mencintai angin harus menjadi suit, Mencintai air harus menjadi
ricik, Mencintai gunung harus menjadi terjal, Mencintai …”
Sheila merasa ucapan Ryo berdenging di telinganya lantas menghilang tak
terdengar. Ada perasaan tertusuk yang merayapi hatinya. Cakrawalanya seperti
runtuh. Cakrawala yang terbentuk dari tiap rinai hujan yang selalu menemani
pertemuan diam-diam mereka.
“…tapi, ujungnya bagus banget, Sheil. MencintaiMu (mu) harus menjadi
aku. Ya ampun, gue kedengeran cewek banget ga sih ? Masalahnya, gue bisa
diketawain kalo cerita begini sama anak-anak basket. Lo kan cewek, bantu gue
deketin dia dong ..”
Sheila mendesah tak kentara. Menyesal kenapa dia harus menyukai pemuda tak peka
begini sih. Sheila perlahan memasang plester luka di ujung ujung bibirnya yang
kini tertarik ke atas. “Gue ga bisa bantu apa-apa. Tapiii kenapa lo ga coba
mulai dengan puisi aja ?”
*
Hujan kala itu, dia tidak datang.
Sheila menatapi jarum jam besar di dinding ruang mading untuk kesekian kali,
dan merasa dadanya sesak. Sudah lewat lima belas menit. Ia menunduk pelan, tak
bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Pemuda itu takkan datang lagi, untuk kelima
kalinya di pagi berhujan yang telah terlewat seperti ini. Ia pun tak pernah
kembali, di hari-hari mendatang yang segera hilang lalu teronggok mati.
*
Hujan kala itu, setelah tiga bulan tanpa alasan untuk bertahan.
Sorak-sorai dan semprotan pylox mewarnai kemeriahan pengumuman kelulusan.
Disertai berkah tak terhingga yang dihadiahkan Tuhan bagi perjuangan semua
orang, Hujan. Semua melepaskan atribut gengsi dan mulai menari di bawah
rintikan yang kian membesar.
Sheila tidak berniat untuk ikut dalam pertunjukan missal itu. Ia harus cepat
pulang karena sejak tadi Bunda menerornya untuk segera sampai rumah. Tak ada
jalan lain kalau ia tidak menerobos hujan.
Sheila berlari kecil, guyuran air mengaburkan pandangan hingga tak sengaja
menabrak seseorang yang tengah melintas.
“Sheila !” suara baritone dan wangi hujan yang khas itu.
“Hei, Yo !” Sheila mengangguk sejenak pada sosok kabur Ryo, berusaha menahan
mulut untuk tidak bertanya kenapa Ryo tak pernah menemuinya lagi. “So .. sorry
gue duluan ..” Sheila berusaha menghindar dan melewati Ryo, tepat saat tangan
kokoh pemuda itu menyambarnya.
Sheila membalikan badannya dan terperanjat saat Ryo memeluknya kuat-kuat. Tak
lama, Ryo melepasnya, lalu meletakkan tangan di kedua bahunya dan menyambar
mata gadis itu.
Sheila tak bisa lagi menghardik getaran yang menjalar di jantungnya. Diam-diam
ia masih bertahan untuk Ryo. Sekadar berharap dalam gelap.
“Sheil, gue tahu gue gila. Tapi gue … gue .. gue baru sadar sesuatu .. ternyata
..”
Sheila mengangguk pelan, menunggu kelanjutan ucapan Ryo, pemuda itu terlihat
berseri.
“Ternyata gue sudah jatuh terlalu dalam buat Ita. Gue mau nembak Ita, Sheil.
Tiga bulan pendekatan ini udah ngeyakinin gue. Lo tahu, tiap pagi gue selalu
datengin dia di kelasnya. Dia selalu dateng paling pagi. Hehe. Gue baru nemuin
orang yang ga bosen sama ocehan gue soal Sapardi selain lo.”
Sheila menyunggingkan senyum lebar saat perasaan sakit menyesahnya lalu
menyesak dada dan perutnya, matanya memanas. Sebutir air mata menari di
wajahnya, terkamuflase tetesan air hujan yang sudah terlebih dulu disana.
“Dan lo tahu, puisi apa yang bakal gue bacain pas nembak dia ? Aku Ingin-nya
Sapardi, Sheil ..” Ryo mengguncang bahunya “Kayak waktu kita pertama ketemu
itu, lo inget kan ?”
Sheila tersenyum makin lebar saat air matanya dan air mata alam berlomba utnuk
menjadi yang paling deras. “Bagus banget, Yo ! Bagus banget !”
“Lo emang temen terbaik gue, Sheil ! sumpah. Meski kita cuma ketemu beberapa
puluh menit sehari, gue ngerasa nyambung sama lo. Lebih nyambung dari
temen-temen cowok gue, thanks buat semuanya.”
Ryo mendekap Sheila lagi “Anyway, gue masih tetep mau nonton lo di Salihara.
Duduk di baris depan sama Ita. Hehehe”
Sheila
menganggukan kepalanya di bahu Ryo dan membiarkan dirinya terbawa dalam hujan
kala itu, hujan terakhirnya bersama Ryo. Hujan yang menampar dirinya, bahwa ia
masih dan hanyalah seorang gadis pemimpi sederhana yang ditemukan secara tak
sengaja di ruang mading yang sepi, yang mencintai lelaki perutuk hujan itu
dalam diam.
*
Hujan kali ini, tak ada lagi dia.
Sheila merogoh daypack-nya, mengeluarkan ponsel dan membaca pesan singkat dari
Ryo yang berisi undangan perayaan peresmian hubungannya dengan Jelita. Hari ini
dan dia takkan ada disana. Takdir membawanya untuk meraih beasiswa dari sebuah
institute sastra ternama di kota Bandung. Inilah warta gembira yang diberitakan
menggebu oleh Bundanya di hari kelulusannya waktu itu.
Sheila sengaja memilih jalur darat dengan bus antarkota, untuk meminjam waktu
dan mengutangi masa. Waktu yang diharapnya dapat dikembalikan dengan kenangan
yang sudah terlupa. Ia kembali menekuri notes kecilnya, mengahpus delapan kata
terakhir dan mulai menulis lagi.
“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar
sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan
aku bisa mengenyahkannya. Aku hanya berharap kisah ini akan terlupa, dan cerita
ini akan menghilang. Seiring dengan gugus mentari yang tertelan cahaya bintang,
tersesat di sela padang, tersamabar ilalang. Tertinggal jauh .. jauh di
belakang.”
**
Doushite kimi wo suki ni natte shimattan darou?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar