Remember (A
Short Story)
Dan aku akan
mengatakan kepadanya
Saat aku percaya senja
itu indah
***
Aku menekan pelipis dan mendesah dengan berat. Kunang-kunang masih berkeliaran
di mata saat aku putuskan untuk menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Menarik
napas, lalu membuangnya—aku melakukannya berulang-ulang sampai segalanya
kembali tenang. Langit-langit ruanganku menjadi pelabuhan untuk pelayaran
mataku yang tiba-tiba terasa lelah. Memejamkannya sejenak sebelum kubawa untuk
kembali menyusuri rangkuman aksara di atas sebuah lembaran yang usang.
Tidak banyak aksara yang berdiri di sana. Hanya sebuah puisi pendek, tertulis
dengan goresan pensil yang telah samar-samar. Aku tidak lagi memikirkan untuk
menghitung sudah berapa kali aku membaca puisi itu, juga puisi-puisi yang lain.
Semuanya digubah dengan rangkaian kata yang berbeda, namun tetap saja ada yang
sama, yang seumpama benang merah. Ada dua. Pertama, semuanya bernapaskan kata
cinta. Kedua, semuanya tertulis untuk satu nama. Arangga Ferdinand, begitu nama
itu selalu tertulis di sudut kanan bawah, dengan gaya penulisan yang nyaris
selalu sama. Miring dan indah, seolah-olah memiliki nyawa. Dan nama itu menjadi
alasan untuk rasa pusing yang mendera kepalaku, juga kerumunan kunang-kunang
yang mengacaukan penglihatanku beberapa waktu yang lalu.
Setelah menembus udara, tanganku pun menutup buku di atas meja kerjaku. Aku
mendorongnya menjauh dan berniat meneruskan pekerjaanku. Namun setelahnya, aku
justru menggeleng. Tidak. Sesuatu yang aku yakini adalah hati mengatakan
kepadaku kalau tidak seharusnya begini. Karena kata mereka hati tidak pernah
mengingkari, maka aku pun menarik buku itu kembali. Akan tetapi, alasan
terbesarnya adalah karena aku rasa aku harus menemukan kepingan ingatan itu
kembali.
Aku menggerakkan jemari untuk menyingkap lembar demi lembar. Aku mengayunkan
mata untuk membaca kata demi kata.
Dan rasa pusing itu datang menyapa...
Arangga Ferdinand... dia itu siapa?
***
Tadi dia mengajakku ke atap rumahnya. Dia memperlihatkan kepadaku
bagaimana senja yang selama ini aku benci. Aku mengerti caranya mengagumi
semburat-semburat merah yang serupa warna mawar baginya, namun warna darah
bagiku. Aku memahami kesukaannya pada kicauan burung-burung yang melintas di
atas kami, namun dia buta akan kekecewaanku pada kicauan mereka yang terdengar
serupa pengantar kematian.
Katanya senja itu indah, namun aku tidak sanggup berkata sebaliknya meski
aku mau. Aku tidak ingin merusak senyumannya sekalipun dengan begitu aku harus
memalsukan seulas senyum untuk senja kala itu.
Andai saja dia tahu ibuku dijemput saat senja, akankah dia tetap
mengatakan senja itu indah?
***
Aku menemukan buku ini
satu tahun yang lalu, beberapa bulan setelah aku mengalami kecelakaan yang
merenggut seluruh ingatanku. Dari semula dan bahkan sampai detik ini, buku ini
selalu tampak menarik. Tidak semata-mata karena warna-warni yang menyetubuhi
sampul depannya, namun juga semua yang terangkum di dalamnya.
Ini tidak hanya tentang kumpulan puisi. Ini juga tentang hari-hari yang dulunya
aku ingat. Tertulis dengan singkat, namun anehnya selalu berkesan. Dipenuhi
dengan detil-detil yang menghidupkan jantung dalam detakan yang cepat, atau
sesekali menarik kedua sudut bibir untuk membuat sebuah lengkungan. Akan
tetapi, tidak jarang malah menjamu rasa pusing dan mual dalam satu waktu.
Aku memang masih belum mengerti, namun aku mendapati diriku tidak bisa
mengabaikannya begitu saja. Walau setiap lembarnya sudah menguning dan berbau
debu, jemari masih ingin menyentuhnya, mata masih sudi memandangnya. Lagi dan
lagi. Lama aku memikirkannya sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.
Arangga Ferdinand... siapa pun dia, dia adalah kepingan yang penting.
***
Aku menanggalkan seragam putih abu-abuku untuk selamanya hari ini. Rasanya
berat dan melegakan dalam satu waktu. Aku mengucapkan salam perpisahan kepada
semua teman-teman yang aku temui, juga kepada para guru. Berterima kasih dan
meminta maaf, lalu mengucapkan selamat tinggal dengan keyakinan akan bertemu
lagi, entah kapan, dimana dan bagaimana. Mereka bilang rasanya sungguh tidak
rela, namun aku mengatakan kepada mereka kalau ini adalah satu masa yang memang
harus dilalui. Seseorang pernah mengatakan kepadaku kalau ini adalah akhir
untuk masa sekolah, namun awal untuk masa depan setiap orang. Dan aku percaya.
Kepadanya, aku pun begitu. Tersenyum dan memeluknya sebentar sebelum
mengucapkan salam perpisahan. Sepanjang sore itu aku merasa berat saat
melayangkan kalimat selamat tinggal, dan yang terberat adalah saat aku harus
melayangkan kalimat itu kepadanya. Dia sempat hanya tersenyum geli dan
mengatakan aku sedikit berlebihan. Namun ketika aku memberitahukan aku akan
berkuliah di Melbourne, senyumannya langsung tergelincir.
Dengan nada yang membuat hati ngilu, dia bertanya kenapa. Dia ingin
menatap mataku, namun aku malah tidak menatap miliknya saat aku mendesah dan
menjelaskan kalau papaku sudah mengatur semuanya. Dia berusaha menahanku,
tetapi aku katakan kepadanya kalau aku tidak bisa menentang Papa. Akhirnya, dia
menyerah meski matanya jelas-jelas masih mengiba.
Hari itu, sebelum kami berpisah, aku memberitahunya kalau ada sesuatu yang
ingin aku sampaikan kepadanya. Saat dia bertanya, aku berjanji akan
menyampaikannya ketika satu masa baru telah tiba. Masa di mana aku percaya
kalau senja itu indah.
Dia mengangguk, lalu mencium keningku dan melepas kepergianku.
***
Aku melangkah keluar
dari ruang kerjaku. Semula aku berniat langsung menuju pintu keluar untuk
mendapatkan sedikit udara segar, namun yang terjadi aku justru berhenti di
tengah-tengah langkah kaki.
Dan aku memperhatikannya lagi. Belakangan sering seperti ini sampai-sampai aku
mulai mengenali salah satu kebiasaannya. Di jam-jam sore seperti ini, dia akan
berada di dekat jendela kaca besar dan memandang ke luar. Jika kedai sedang
ramai, dia akan sering-sering berjalan dengan lambat di dekat jendela sambil
sesekali membuang pandangan keluar. Namun, jika kedai sedang sepi, dia akan
betah berlama-lama berdiri dan memandang ke luar jendela, seperti yang dia
lakukan sekarang.
Hari ini aku tidak akan mengabaikannya seperti yang aku biasa aku lakukan.
Tanpa memegang satu alasan yang kuat, aku sadar saat aku mulai melangkah, lalu
duduk di kursi yang berjarak tidak sampai satu meter darinya. Sejenak aku
mengamati penampilannya dalam seragam yang dipakai oleh semua pelayan di kedai
es milikku. Seragam itu tampak biasa di tubuh pelayan yang lain, namun di tubuh
yang satu ini, seragam itu tampak lebih dari biasa. Sebelum aku lepas kendali
dan menilainya dengan poin yang macam-macam, aku putuskan untuk memanggilnya.
Dia menoleh ke arahku dan gelalapan sesaat sebelum menyahut panggilanku dengan
gugup. “Ya, Nona.”
“Satu scoop es krim...”
Dia mengangguk dan berlalu dengan cepat padahal aku belum menyebutkan pesananku
dengan lengkap. Aku memperhatikan punggungnya sambil bertanya-tanya apakah dia
akan berbalik untuk menanyakan rasa apa yang aku mau untuk es krimku. Anehnya,
jawaban yang aku dapatkan adalah tidak. Satu-dua menit kemudian, dia kembali
dengan satu scoop es krim di dalam sebuah gelas. Dan entah bagaimana bisa, dia
benar tentang rasa yang aku mau. Teh hijau.
Aku ucapkan, “terima kasih,” dan dia hanya mengangguk. Aku yakin terasa aneh
saat aku menahannya ketika dia ingin berlalu, tetapi dia hanya menatapku tanpa
ada sinar persetujuan kalau apa yang aku lakukan itu aneh.
“Ada lagi yang ingin Nona pesan?” tanyanya.
Aku menggeleng, lalu tersenyum. “Duduklah,” kataku.
Tipis memang, namun kali ini aku melihatnya mengangkat sebelah alisnya.
“Duduk?”
Aku mengangguk. Melihatnya bergeming dan sedikit kebingungan, aku tertawa
kecil, lalu memberitahunya, “ah, karena kamu karyawan baru, tentu saja kamu
tidak tahu. Aku sudah biasa mengobrol dengan karyawan di sini.”
“Apa tidak masalah?” ia tedengar ragu dan tampak salah tingkah.
Aku memandang berkeliling dengan cepat dan mengangkat bahu. Jika yang dia permasalahkan
adalah tentang perkerjaannya, maka jawabannya sudah pasti, “aku rasa tidak,”
karena kedai memang sedang sepi pengunjung.
Entah senyum yang aku sunggingkan berpengaruh atau tidak, namun yang pasti dia
akhirnya menurut dan duduk berhadapan denganku.
“Apa yang ingin Nona obrolkan,” ia bertanya dengan nada yang kaku.
Aku memukul tepian gelas dengan sendok kecil yang aku pegang hingga
dentingan-dentingan tinggi berlompatan keluar. “Jangan pakai panggilan
itu—Nona, maksudku. Untuk beberapa saat ke depan, anggap saja kita ini
pelanggan. Tidak ada atasan, tidak ada bawahan. Oke?”
***
Aku menanyakan
kepadanya apa yang dia perhatikan saat ia berdiri di dekat jendela tadi. Akan
tetapi, bukannya menjawab, dia justru menghela napas dan memandang ke luar
jendela. Pandangannya menggantung dengan lelah. Beberapa detik ke depan pun dia
habiskan dengan membungkam. Jika setiap orang memiliki beberapa hal yang tidak
ingin mereka bagi kepada orang lain, bagi dia, sudah pasti ini salah satunya.
Maka, ketika aku sadar dia tidak ingin menjawab, aku pun melemparkan pertanyaan
lain dengan hati-hati.
“Berhubungan dengan masa lalu?”
Dan meskipun dia tidak menjawab, dari desahan napasnya yang tiba-tiba berubah,
aku tahu jawabannya adalah iya. Aku menarik napas panjang, lalu, “mereka bilang
tidak ada gunanya mengingat masa lalu,” kataku tanpa ada maksud untuk
menyerangnya.
Pelan-pelan, dia beralih menatapku. Dengan cara yang aku suka, dia membetulkan
letak kacamatanya sebelum menimpali perkataanku. “Ada yang sependapat, ada yang
tidak.”
“Kamu sependapat?” tanyaku.
Dia hanya mengangkat bahu dan malah balik bertanya, “Non—maksudku, kamu?”
“Relatif,” kataku. Saat aku melihatnya mengangkat sebelah alis, aku pun
mengimbuhkan, “semuanya tergantung pada bagian mana yang ingin kita ingat. Aku
hanya berpikir kalau kita tidak harus melupakan seluruh masa lalu kita, tidak
juga perlu mengingat semuanya. Ya, sederhananya sama seperti menyortir buah,
misalnya. Buah yang busuk, ya dibuang. Buah yang bagus, ya disimpan.”
Aku mengambil sedikit es krim dengan ujung sendok, lalu membiarkannya meleleh
di atas lidah. “Namun, untuk saat ini, aku sedang berada di sisi yang tidak
sependapat.”
“Kamu sedang mengingat-ingat masa lalumu?” begitu dia bertanya tanpa menatapku
lagi.
Aku mengangguk, entah dia melihatnya atau tidak. “Sedang berusaha mengingat,
tepatnya.”
Dia kembali menatapku, hanya untuk sejenak sebelum melabuhkan matanya untuk
menekuri tepian piring kecil di atas meja. Dia sedang mengelus permukaan piring
kecil itu dengan canggung saat dia bertanya dengan suara yang mengambang,
“berusaha mengingat?”
“Aku amnesia setelah mengalami kecelakaan di Melbourne tahun lalu,” aku
memperjelas.
Dan kali ini dia mengangkat wajahnya dengan cepat dan matanya terlihat
membeliak. Lantas, setelah tersenyum untuk pertama kalinya di hadapanku, ia pun
memberitahuku sesuatu. “Kamu tahu, kita tidak terlalu jauh berbeda.” Saat aku
melipat kening dengan bingung, dia melanjutkan, “aku juga amnesia.”
***
Mengetahui kalau dia
juga amnesia adalah sebuah kejutan bagiku. Aku tidak pernah menyangka akan
bertemu dengan seseorang yang bernasib sama. Mendadak aku merasa lebih ringan
dan lega. Ini mungkin karena aku baru saja menemukan seseorang yang lebih bisa
mengerti perasaanku dibanding orang lain. Maksudku, aku yakin dia akan mengerti
betapa aku merasa bodoh saat harus berkenalan lagi dengan orang-orang yang
dulunya aku kenal. Aku juga yakin dia akan mengerti betapa aku ingin menemukan
kembali ingatanku, juga betapa sulitnya saat aku berusaha untuk itu. Ya,
seperti yang baru dia katakan tadi, ini karena kita berdua sama.
“Kenapa kamu ingin sekali mendapatkan ingatanmu kembali?” tanyanya.
“Memangnya kamu tidak?” aku balas bertanya.
Dia mengendikkan bahunya dan tidak menjawab pertanyaanku. “Kamu tidak takut?”
Aku menatapnya dengan kening yang berkerut-kerut tidak mengerti. Melihat itu,
dia pun tersenyum kecil, lalu melapisi pertanyaannya barusan dengan sebuah penjelasan
yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. “Pernahkah kamu berpikir kalau ada
beberapa orang di luar sana yang ingin berada di posisi kita sekarang?
Melupakan masa lalu mereka dan berharap tidak akan pernah mengingatnya lagi.
Karena, mengingatnya hanya akan membenamkan luka yang dalam. Atau, karena
mengingatnya hanya akan meninggalkan trauma. Masa lalu yang sangat buruk
menciptakan keinginan yang kuat bagi mereka untuk melupakannya. Jadi, bagaimana
jika apa yang ingin kamu ingat sekarang adalah semua yang dulunya tidak ingin
kamu ingat? Kamu tidak takut?”
Untuk sesaat aku terperangah karena mendengar pemaparannya. Sangat masuk akal
dan menohok. Sempat aku diombang-ambing oleh rasa ragu, namun saat aku teringat
akan sesuatu, aku tahu kalau mengingat masa laluku adalah apa yang aku mau.
“Aku ingin mengingat semuanya,” begitu kataku, dan dia sedikit terkejut.
“Sekalipun masa laluku ternyata buruk, aku tidak akan menyesal. Kamu tahu
kenapa? Karena aku yakin seburuk apa pun masa laluku, pasti ada satu bagian
yang baik, yang memberiku alasan untuk bertahan.”
“Kenapa kamu sangat ingin mengingat masa lalumu?”
Aku memandangi es krimku yang sudah mencair, lalu setengah menerawang. “Ada
seseorang yang ingin aku ingat.”
“Seseorang?”
Aku mengangguk dalam gerakan yang lambat.
“Kenapa?”
“Aku hanya merasa kalau aku harus mengingatnya,” desahku. Aku kemudian
memalingkan wajah dan menyadari kalau di luar sana telah lama senja. “Mungkin
dengan begitu, aku bisa melihat senja dengan cara yang berbeda, dengan cara
yang dia punya.”
***
Aku menceritakan
kepadanya tentang buku itu. Untuk pertama kalinya sepanjang ingatanku, aku bisa
bercerita dengan begitu lepas. Aku menceritakan apa saja tentang isi buku itu,
kecuali satu. Aku tidak memberitahunya tentang nama yang nyaris selalu muncul
di setiap halaman.
“Jadi, menurut buku itu, kamu membenci senja?” tanyanya beberapa saat setelah
aku selesai bercerita.
Aku mengangkat bahu dan memiringkan kepala. “Begitulah...”
Hening sebentar, pecah kemudian oleh suaranya yang tiba-tiba terdengar. “Aku
sedang melihat senja.”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sempat bertanya-tanya sebelum akhirnya sadar
kalau dia baru saja menjawab pertanyaanku di awal obrolan ini. “Kau menyukai
senja?”
Pertanyaan itu membuatnya tersenyum ragu. “Kata mereka aku menyukai senja dan
mencintai senja yang berbeda,” paparnya. Aku baru akan menanyakan tentang apa
yang maksudnya senja yang berbeda itu saat dia menunjuk ke arah pintu masuk dan
berseru, “ada pelanggan. Aku rasa aku harus pergi.”
Dia kemudian bangkit dari kursi, tersenyum dan berkata, “senang mengobrol
dengan Nona,” sebelum benar-benar pergi.
Aku memandangi punggungnya dan tersenyum juga. Aku kemudian menanyakan sesuatu
kepada pelayan lain yang datang untuk membereskan meja di depanku.
“Kamu tahu siapa namanya?” Aku menunjuk dia dalam gerakan yang kecil.
Pelayan itu mengikuti arah yang aku tunjuk, dan, “maksud Nona, yang melayani
pelanggan yang baru datang itu?”
Aku mengangguk. “Ya, dia. Kamu tahu siapa namanya?”
Pelayan itu tersenyum sopan dan mengucapkan sebuah nama. Lalu, aku bisa
mendengarkan jantungku mendebarkan kata rindu.
“Arangga Ferdinand.”
***
Jika di kemudian hari
aku mendapatinya menanyakan namaku, aku akan menjawab namaku Alana Senja. Lalu,
jika di kemudian hari dia mengingat semuanya kembali, aku akan mengatakan
kepadanya kalau aku mencintainya.
***
Aku mulai merasakannya
Saat dia memanggilku
dengan Senja
Aku sedang
merasakannya
Saat dia melukis
cantiknya Senja dengan aksara
Aku akan tetap
merasakannya
Saat dia menyentuh
Senja dengan bibirnya
Aku sadar telah lama
aku mencintainya
Dan aku akan
mengatakan kepadanya
Saat aku percaya senja
itu indah
Arangga Ferdinand
***