Surat untuk kabut di
bulan Agustus
Kepada tuan
penerima sebagian hatiku disana, bagaimana keadaanmu ? terlebih setelah pulang
dan beristirahat lagi disini. Apa rumah masih mengalahkan kenyamanan tempat mu
disana ? jahat sekali jika kamu masih menjawab iya. Padahal sudah ada aku,
disini.
Surat kali
ini datang karena hal yang baru ku mengerti malam ini, tentang bagaimana rindu
tidak bisa menguap begitu saja.
Ingatkah
kamu kejadian tempo hari, di tanggal ke tiga bulan Agustus. Saat pertama kali
kita bertemu kembali setelah tiga minggu bersahabat dengan jarak dan waktu. Kau
mengajakku ke suatu tempat. Lagi-lagi tempat baru yang tak ku ketahui, yang
tersembunyi di kotaku sendiri.
Barisan
pohon pinus menghiasi di setiap sudut pandang yang ada. Langit mendung
menggelayuti cakrawala, saat itu, saat-saat perjalanan dengan batas waktu.
Saat itu,
Aku tidak lagi berbicara banyak padamu, berhenti mengoceh panjang lebar, sebgai
gantinya membiarkanmu bercerita banyak hal, sesekali berkomentar dan
tertawa.
Saat itu,
aku tidak ingin beranjak menatap matamu, tidak mau melewatkan secuilpun garis
dan pahatan Tuhan yang begitu istimewa di depan mataku.
Saat itu,
aku menyadari aku hampir kehilangan diriku sendiri, setelah kamu menggenggam
tangan aku, memperjelas bagaimana rasa rindu itu mengalir hebat dari setiap
ujung jari-jemarimu. Dan aku memilih diam. Tidak mau merusak waktu yang kan
terlewat walau terkesan sunyi dan kelu.
Mengapa ?
mengapa rasanya rindu itu tak mau pergi bahkan setelah kamu ada di hadapanku ?
Mengapa ?
mengapa rasanya rindu itu malah asik berdiam diri disana ? Tak mau beranjak.
Mengapa ?
mengapa rasanya rindu itu semakin mengendap di dasar, mengerak. Seakan tidak
mau pergi, seakan-akan tidak rela habis.
Dan saat
kamu mengantarku pulang, langit masih saja kelabu, biru membisu, siap kapanpun
menumpahkan isinya sewaktu-waktu.
Diatas
sepeda motor yang kita kendarai. Aku tetap tidak bisa bicara, biar saja. Cukup
balasan genggaman tanganku saja yang berbicara menuju hatimu. Cukuplah
anak-anak angin yang mengantarkan bisikan rindu ke telingamu. Perjalanan
terkahir menuju dunia nyata yang pilu.
Tahukah
kamu ? saat itu, aku semakin tidak rela kehilangan kamu.
*
Tuan pemilik
hati, malam ini kau sukses membuatku tidak bisa terlelap. Asik memandangi bulan
yang ku yakini ada di tempatmu juga. kita
masih dalam naungan langit yang sama, kemudian aku mengirimkan sebuah pesan
singkat. kau membalasnya dengan cepat.
Lucu ya,
sampai saat ini kita melihat bulan yang sama. Padahal terbentang satuan
kilometer yang sukses membuat kita tak bisa bertemu setiap waktu. Namun dengan
menatap satelit bumi itu, dan sebuah pesan singkat darimu. Semuanya terasa
cukup. Saat itu aku merasa dekat denganmu.
Ah ya, Tuan, tidak kah kamu tahu sejahat apa kamu
saat ini ? kembali lantas meninggalkanku lagi. Memaksaku dengan angkuh
menerjang jarak dan waktu. Namun aku bersedia. Tentu saja jika itu kita lakukan
berdua.
Aku tahu
ini tidak akan mudah. Tidak seperti tidur terlelap lalu bangun di pagi hari, tapi bukankah jarak dan
waktu bukan lagi hal yang bisa menghancurkan segalanya, jarak tidak lah
lebih kuat dari apa yang kita punya. benar kan ?
Tuan, jika
suatu saat kamu harus kembali ke sana, ke negerimu, untuk meraih cita-citamu.
aku ingin mengingatkan mu satu hal, aku akan tetap disini. Untuk kamu. Kita
akan sama-sama menjemput mimpi kita meskipun di tempat berbeda. Jika kamu
lelah, kamu bisa kemari. Beristirahat lantas pergi lagi. Tidak apa.
Aku percaya,
kita tidak akan saling menghancurkan. Selama masing-masing masih memiliki
kepercayaan, saling menguatkan, meyakinkan, dan masih dalam lindungan Tuhan. Benarkan
?
Surat kali
ini ku akhiri dengan ucapan terimakasih untuk kamu Tuan, bahkan sampai saat ini
kamu masih mau menjaga hati, masih mau direpotkan dengan memilih aku lantas
kembali.
Biarlah
sekarang kamu disana, meraih mimpi, menemui takdir. Lalu menjemput aku.
*
Surat ini
di tujukan untuk kabut.
Seseorang
yang mampu mencuri seluruh pazel hati, lantas merombaknya menjadi sesuatu yang
tidak bisa di duga lagi.
Dari aku.
Seseorang
yang begitu mencintai kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar