Apa yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang
lain ? – Raditya Dika, Misteri Surat Cinta Ketua OSIS, p. 40, Marmut Merah
Jambu.
*
Revan ~ objek penarik mata hati.
Kembali lagi aku melirik jam tangan yang melingkar di
pergelangan tanganku, pukul 10.28 aku mendesah, melihat betapa lengangnya jalan
raya yang sedang ku lalui, balutan salju putih nan lembut hampir terdapat di
mana-mana, sebagian mulai
menutupi indahnya kota dan bangunan-bangunan yang menjulang. Beberapa lampu di
ujung jalan masih Nampak menyala, memperlihatkan sendunya suasana kota.
Sambil terus memacu kecepatan mobil, aku merogoh plastic yang
ada di samping kemudi mencari masih ada kah sisa makanan kecil yang sempat aku
beli tadi di mini market, berhubung ini masih terlampau pagi untuk ukuran kota
Paris jadi aku belum menyempatkan diri untuk sarapan, setelah menyumpal mulutku
dengan sepotong roti aku kembali berkonsentrasi pada jalanan bersalju dan licin
ini.
Mataku tiba-tiba saja tertarik sesuatu, lalu dengan reflex kaki
kiriku menginjak pedal roda-roda mobil bergesek dengan jalanan sehingga
menimbulkan suara decitan cukup keras. Dengan tergesa-gesa aku keluar dari
mobil lalu sedikit berlari kea rah objek yang telah menarik mataku.
Dan Byuuur !! ah sial lagi-lagi dalam saat seperti ini aku
melakukan kecerobohan, dengan tergesa-gesa aku mengeluarkan sapu tangan yang
ada di saku mantelku lalu mengelapkannya pada bagian yang tersiram air
–minuman- sambil terus meminta maaf, tanpa sengaja ku menatap mata sang korban,
tunggu aku mengenalnya ! sejenak aku menghentikan kegiatanku lalu tersenyum
lega.
“andira ?” ucapku sedikit tergagap, kulihat gadis itu juga
tercengang, matanya yang coklat bulat Nampak melebar, kulihat di bibir
mungilnya ia sempat membuat senyum namun sedetik kemudian terhapus , dengan
bahasa tubuh yang suliut terbaca ia menyusupkan rambut hitam ikalnya ke
belakang telinga lalu balas menyapaku hangat “hai Van..”
“aku minta maaf, aku tidak sengaja sungguh !” ucapku
tergesa-gesa, kulihat ia tersenyum –lagi-yang-ini- lebih lama.
“tidak apa-apa, kau pasti sedang terburu-buru” jawabnya,
tiba-tiba setelah mendengar kata itu seperti tersengat listrik aku baru sadar
tujuanku kemari untuk apa, setelah berpamitan dengan gadis Indonesia itu aku
kembali mencari objek yang telah menarik mataku.
Belum hampir sepuluh menit aku menghampiri objek penarik mataku,
lalu menghampirinya dengan hati yang membuncah, gadis itu –objek-penarik-mata-
sedang duduk manis dengan secangkir kopi mengepul di depan wajahnya ia duduk di
salah satu etalase café, tubuhnya yang mungil untuk ukuran orang paris di balut
oleh mantel krem coklat, rambut pirangnya yang tergerai membuat sebagian
titik-titik salju menempel disana, tiba-tiba saja seluruh tubuhku menghangat
saat dua danau biru miliknya melirik ke arahku.
“analise..” ucapku setenang mungkin, sebisa mungkin menetralkan
detak jantung yang ku tahu sedari tadi memiliki volume 3x lebih keras dair
biasanya. Ia menatapku hangat lalu tersenyum sangat manis.
“bonjour Revan..” suaranya yang merdu menyentuh kedua telingaku
geli, gadis ini.. sudah sajak satu bulan lalu membuatku gila, gila karena
setiap malam harus memimpikannya, gila karena setiap saat harus merindukannya,
semua ini terlalu tidak normal, ia membuatku benar-benar membutuhkannya.
“ada apa ?” tanyanya lagi, otakku yang sedari tadi kosong kini
harus di paksa berfikir keras, ia benar, sebenarnya apa yang aku lakukan
pagi-pagi mencarinya ?
“mmmm.. tidak ada, aku hanya ingin menikmati udara pagi..”
ucapku berbohong, kulihat alisnya berkerut samar, lalu tertawa kecil.
“oh ya ? baiklah, ayo kemari duduk, kau harus merasakan kopi
café ini” ujarnya lalu beranjak menarik diriku untuk duduk disampingnya,
hitungan sepersekon kemudian ia mengangkat tangannya writers yang tak berada
jauh di dekat kamipun segera mendekat, setelah Analise menyebutkan pesanan sang
pramuniaga menggangguk lalu masuk ke dalam café.
Mataku masih asik menatap Analise yang kini sedang asik berkutat
dengan handphone nya, tanpa disadari sang pramuniaga kembali dengan membawa
sebuah baki, ia menyodorkan secangkir cairan hitam dengan kepulan asap yang
mulai mengudara, Analise menaruh handphonenya lalu tersenyum berterimakasih.
Selepas sang pramuniaga pergi, Analise kembali menekuni
handphonenya dan aku kembali menekuni menggilai gadis di hadapanku ini, kulihat
mata-mata indahnya itu terus bergerak Jari-jarinya mulai menari di atas layar
gadget mahal itu.
“eh, kau harus mencoba kopi ini Revan !” ujarnya agak terkejut
saat mendapatiku tengah melihatnya –yang-sepertinya-telah-mengganggunya- aku
mengerejap, sekali-dua kali lalu tersenyum.
“baiklaah” ucapku akhirnya sambil menyesap cairan hitam itu yang
kini mengaliri seluruh tubuhku hangat.
“bagaimana ?” tanyanya ? ia menempelkan kedua siku dimeja untuk
menopang wajah eropa miliknya.
Aku memutar bola mata. “hmmmm.. ini enak” ucapku sebenarnya rasa
kopi ini seperti kopi-kopi biasanya, hanya saja terasa lebih nikmat saat ada
ia. Ah aku terdengar sangat berlebihan ya ?
“haha.. baiklah berhubung kau sudah ada disini, bagaimana kalau
kita jalan-jalan sebentar ?” tanyanya sambil memasukan gadget mahal itu pada
tas coklat tua disampingnya.
Aku hampir saja tersendak, lalu setelah memastikan kopi ini
masuk ke tubuh seluruhnya, aku berseru hampir tidak bisa menyembunyikan rasa
gembiraku “ah ! tentu saja”
*
Andira ~ ini bukan pagi ku ini pagi mereka.
Setelah insiden tabrak menabrak tadi, aku hampir tidak bisa
mengendalikan diriku sendiri dan kini, aku telah berdiri di sebrang jalan,
bersembunyi di balik kota bersalju yang mulai ramai, aku beru saja menyaksikan
semuanya, senyum laki-laki itu dan wanita yang ada di sampingnya.
Semunya tergambar jelas, bagaimana kebahagiaan menyelimuti
binary mata laki-laki itu, harus ku akui aku mulai tak masuk akal, harusnya aku
tak berada disini harusnya aku menyelamatkan hatiku dan tak menyaksikan semua
ini, namun bagian hatiku yang lain menolak, aku ingin melihatnya aku ingin
melihat bagaimana kegilaan laki-laki itu terhadap belahan jiwanya yang baru.
Akuu.. tidak tahu harus bagaimana lagi, dengan rasa frustasi aku
menegadahkan wajahku yang mulai memanas ke langit, kurasakan sebutir salju
turun menyentuh pipiku, dingin. Sama seperti hatiku.
*
Pagi ini bukan milikku
Meski kepada mentari aku merayu
Kudekap teduh sedaya upaya
Namun hampa melahap serakah
Kepadaku, tak satu pun berbalik arah
Pagi ini bukan milikku
Saat rumput basah membisikkan sesuatu
Di savana luas berselimut embun
Ada mereka tengah melepas rindu
Aku pun meluruh dirajam cemburu
Pagi ini bukan milikku
Semenjak mereka terikat satu
Sudah dari dulu pagiku dirampas waktu
Sisa yang kupunya hanya sejilid buku
Dengan halaman penuh debu dan sendu
Ini bukan pagiku
Ini pagi mereka....
***
Meski kepada mentari aku merayu
Kudekap teduh sedaya upaya
Namun hampa melahap serakah
Kepadaku, tak satu pun berbalik arah
Pagi ini bukan milikku
Saat rumput basah membisikkan sesuatu
Di savana luas berselimut embun
Ada mereka tengah melepas rindu
Aku pun meluruh dirajam cemburu
Pagi ini bukan milikku
Semenjak mereka terikat satu
Sudah dari dulu pagiku dirampas waktu
Sisa yang kupunya hanya sejilid buku
Dengan halaman penuh debu dan sendu
Ini bukan pagiku
Ini pagi mereka....
***
Haahahahaaaa well ini lah part ke II nya kawan-kawan, maaf kalau
tidak memuaskan, dan ngaret banget, mau baca part I ?? lihat FB Silviana
Octavia Siringo-ringo atau di contact et- OctaviaSilviana mau tau
kelanjutannya ? follow aja et-pukaaaw and et- AlfiantiN
Selamat berjuang buat
pukaaaw semoga lancar melanjutkan part III nyaa kami tunggu yaaaa XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar