Ini bukan
cerpen buatan aku sii, yang punyanya Kak David (penulis Sometimes)
Kenapa aku
pos ? soalnya bagus banget apalagi untuk
mereka yang tidak takut untuk bermimpi...
Oke selamat baca !
***
Kang Ji-Woo masih berdiri di sana dengan lengan yang disilangkan di depan dada. Tidak bersuara. Tidak juga mengambil tindak. Hanya memperhatikan Jin Yi-Song yang sedang menatap ke arah panggung dengan sorot menerawang.
Belum ada yang Kang Ji-Woo lewatkan. Ia mengamati semuanya, termasuk cara Jin Yi-Song mendesah, juga ketika gadis itu menempelkan tangan di depan dada. Selayaknya sampah, ia sebenarnya ingin membuangnya. Namun, ia mendapati dirinya tidak bisa. Maka, saat ini Kang Ji-Woo menunduk dan mendesah pasrah saat ia dipaksa untuk mengingat semuanya, detik-detik ketika Jin Yi-Song tidak ada bedanya dengan daun kering yang baru lepas dari rantingnya.
Kang Ji-Woo memejamkan mata sekejap sebelum mengangkat wajah. Sekuat yang ia bisa, ia menahan dirinya untuk tidak menghampiri Jin Yi-Song. Ia hanya perlu sendiri—itu yang Jin Yi-Song katakan kepadanya. Saat itu Kang Ji-Woo berjanji tidak akan menganggunya asalkan Jin Yi-Song tidak melarangnya untuk berada di sini. Akan tetapi, ketika akhirnya Jin Yi-Song jatuh ke lantai dengan lunglai, Kang Ji-Woo pun tidak peduli lagi saat ia melanggar janji dan bergegas menghampiri.
Tidak butuh waktu yang lama bagi Kang Ji-Woo untuk menghadirkan diri di depan mata Jin Yi-Song yang mulai dipenuhi kaca. Jin Yi-Song menengadah sejenak, lalu membuang muka. Di tempatnya, Kang Ji-Woo meringis tidak tahan, kemudian berjongkok di depannya.
“Kau ini...” Kang Ji-Woo menggerutu dengan nada sebal. “Aku sudah memperingatkanmu kalau ini tidak akan mudah. Kenapa kau masih saja keras kepala?”
Jin Yi-Song menoleh menatap Kang Ji-Woo, hanya sebentar sebelum ia menunduk tanpa sempat berkata apa-apa. Jari telunjuknya mengetuk lantai kayu dengan lemah dan lelah, kebiasaannya jika ia sedang putus asa.
Kang Ji-Woo mendecak, lalu mencekal lengan Jin Yi-Song sehingga tidak ada lagi suara ketukan yang sendu. “Berhenti melakukan itu,” pria itu berseru. Jin Yi-Song berusaha meronta meski ia tahu ia tidak punya cukup tenaga. “Kau ingat apa yang kaukatakan kepadaku dulu?” tanya Kang Ji-Woo.
Kang Ji-Woo berdeham singkat. Lalu dengan menirukan gaya bicara Jin Yi-Song yang ceria, ia berkata, “Hei, Kang Ji-Woo! Untuk apa kau bersedih? Ini seperti bukan dirimu. Yang sakit itu, kan aku.” Kang Ji-Woo berhenti sejenak untuk menirukan cengiran lebar Jin Yi-Song saat itu. “Kang Ji-Woo ssi, dengarkan aku. Aku tidak akan berhenti. Tidak akan karena aku punya mimpi. Di dalam sini,” Kang Ji-Woo menunjuk dadanya, “mimpi itu tidak mati. Penyakit itu bisa merenggut apa saja yang aku punya, kecuali satu. Mimpiku.”
Kang Ji-Woo mengangkat wajah Jin Yi-Song dan menyejejakan matanya dengan mata gadis itu. “Kau ingat?” tanya Kang Ji-Woo dengan nada yang sudah seperti biasa. Ketika Jin Yi-Song masih betah membungkam, Kang Ji-Woo melirik pergelangan gadis itu sekilas. “Dan... dan kau ingat ini apa?” tanyanya setelah mengangkat tangan Jin Yi-Song tinggi-tinggi. Kang Ji-Woo menyentuh gelang manik warna-warni yang melingkar di pergelangan tangan Jin Yi-Song, lalu kembali bersuara, “aku yang memberikannya dan kaubilang ini akan menjadi gelang harapan. Kaubilang sebelum gelang ini putus, kau akan terus berjuang. Kau tahu? Aku bahkan sampai pernah mencuri gelang ini darimu dan menambahkan dua utas benang tebal di dalamnya. Kau tahu untuk apa? Agar gelang ini tidak akan pernah putus. Kau tahu kenapa? Karena aku...” napas Kang Ji-Woo tersengal-sengal, “aku tidak ingin kau berhenti berjuang. Demi Tuhan, sekali pun jangan pernah!”
Jin Yi-Song terpana dan menatap Kang Ji-Woo tanpa jeda. Sekali gadis itu berkedip dan air mata pertamanya bergulir turun diiringi isak tangis yang mulai meluber keluar dari mulutnya.
Jauh di dalam hatinya, Jin Yi-Song tahu ia pernah begitu bersemangat untuk bermimpi, ia pernah begitu berusaha untuk meraihnya. Ia ingin terus seperti itu, namun ia rasa tidak lagi bisa. Ketika ia baru akan melangkah, ia tidak melihat satu pun jalan. Ketika ia melangkah, pintu yang ingin ia tuju seolah-olah tertutup rapat. Dan ketika akhirnya ia memutuskan untuk berhenti, ia rasa semuanya sudah berakhir.
“Jin Yi-Song...” Suara Kang Ji-Woo sedemikian lembut.
Jin Yi-Song menggeleng pelan-pelan. Ia terus menggeleng sampai tiba-tiba ia meronta dengan hebat. Dan di detik itu, Kang Ji-Woo sadar kalau pernyataan keputusasaan akan melemahkan seseorang itu salah besar. Tenaga Jin Yi-Song meledak dan cekalan Kang Ji-Woo atas lengannya hancur serupa remah-remah. Jin Yi-Song menarik paksa gelang manik dari pergelangan tangannya, lalu membuangnya ke sembarang arah. Gelang itu putus dan maniknya berhamburan ke mana-mana, memercikkan nada-nada putus asa.
Kang Ji-Woo yang menyaksikan itu terperangah. Emosi bergolak menghancurkan rongga dadanya. Ia mengangkat sebelah tangan yang sudah dikepal kuat-kuat. Namun saat Jin Yi-Song menangis hebat di depannya, kepalan itu terurai tanpa harus dipaksa. Isak tangis yang melumuri bibir Jin Yi-Song membuat Kang Ji-Woo menurunkan tangannya dan beralih melingkarnya di tubuh gadis itu. Pelan-pelan, Kang Ji-Woo menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan mengajak gadis itu untuk mendengarkan detakan jantungnya yang melemah.
“Aku...” desah Jin Yi-Song di sela-sela tangis yang belum juga reda. “Apakah aku masih berani untuk bermimpi?” tanyanya dengan artikulasi yang tidak jelas. “Aku rasa aku sudah terlalu lama berjalan, sudah terlalu keras berusaha. Namun... namun kenapa aku belum mendapatkan apa-apa? Yang lain sudah menemukan jalan mereka. Park Yu-Jae bahkan sudah merilis album. Kau... kau dan Sin Hae-Soon akan memulai debut bulan depan. Sedangkan aku? Aku belum menjadi siapa-siapa. Meski aku sudah lama berjalan, sudah keras berusaha, aku masih tetap ada di titik yang sama. Aku bahkan tidak bisa lagi mengikuti audisi besok, juga audisi-audisi yang lain,” tutur Jin Yi-Song susah payah sampai napasnya terengah-engah. Ia menarik diri dari pelukan Kang Ji-Woo dan menatap pria itu dalam-dalam. “Kang Ji-Woo ssi, kenapa?” ia bertanya dengan lirih. “Kenapa rasanya sulit sekali untuk meraih mimpi? Apa aku tidak ditakdirkan untuk merasakan apa yang seorang bintang rasakan? Apa aku tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan kalian?” Suara Jin Yi-Song terdengar meninggi, namun semakin putus asa. Tangisannya kian menjadi-jadi.
“Jin Yi-Song, kami tidak akan sampai di titik sekarang jika bukan karenamu. Kau ingat siapa yang berhasil meyakinkan orang tua Park Yu-Jae untuk memberi restu kepada putra mereka untuk berkarir di dunia seni? Kau ingat siapa yang mendorong Sin Hae-Soon yang pesimis untuk mengirimkan cd demo ke Oxy Entertainment? Dan apa kau ingat siapa yang setiap kali memukul kepalaku saat aku membuat ulah di atas panggung? Jin Yi-Song... Dia adalah Jin Yi-Song. Jin Yi-Song yang membuat kami tidak takut untuk bermimpi. Jin Yi-Song yang meyakinkan kami kalau kami bisa. Jin Yi-Song yang membuat kami percaya kalau mimpi itu milik siapa saja.”
Kang Ji-Woo kemudian menyentuh dagu Jin Yi-Song dan berkata dengan nada mengiba, “jadi, aku mohon, bertahanlah. Jangan seperti ini, Yi-Song.”
Kang Ji-Woo bergeak menjauhi Jin Yi-Song dan memunguti gelang serta manik-maniknya satu per satu. Dengan sabar, Kang Ji-Woo menguntai kembali manik-manik itu dengan benang. Jin Yi-Song melihat itu dan menangis dalam penyesalan yang tidak tanggung-tanggung. Ia sadar ia tidak perlu seperti itu. Ia berpikir Kang Ji-Woo pasti kecewa terhadap dirinya. Akan tetapi, ketika Kang Ji-Woo kembali ke hadapannya dan tersenyum, ia malah terpana. Di matanya, Kang Ji-Woo masihlah sama. Tidak sedikit pun berubah. Tidak ada coretan kecewa di wajahnya.
Setelah memberikan simpul terakhir di gelang itu, Kang Ji-Woo mengembalikan gelang itu ke tempat yang paling tepat. Pergelangan tangan Jin-Yi Song. Kang Ji-Woo terlihat puas dan tersenyum lebar. “Nah, seperti kataku dulu, gelang ini akan terlihat cantik hanya jika kau yang memakainya,” seru Kang Ji-Woo.
Jin Yi-Song tersenyum kecil, lalu terkejut sendiri saat menyadari ia tidak lagi menangis. Ia tidak tahu kapan ia berhenti menangis, namun ia jelas tahu alasannya.
“Jangan pernah berani membuang gelang ini lagi. Jangan pernah berani membuang harapanmu lagi. Jika kau berani, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Mengerti?” Kang Ji-Woo menepuk pipi Jin Yi-Song dua kali, lalu membetulkan lilitan syal tebal di leher gadis itu.
“Ji-Woo ssi, gomawoyo (1),” ucap Jin Yi-Song sungguh-sungguh.
Kang Ji-Woo mengangguk. “Kalau kau memang berterima kasih kepadaku, kembalilah ke atas panggung,” katanya. Melihat Jin Yi-Song ingin menyela, Kang Ji-Woo bergegas melanjutkan, “tidak harus sekarang. Aku akan menunggu sampai kau siap. Kapan pun itu, aku akan ada di kursi penonton dan memberikan tepuk tangan yang paling meriah untukmu.”
Jin Yi-Song mengurungkan niatnya untuk membantah. Alih-alih membantah, ia justru tersenyum dan mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji?” tanyanya bersemangat.
Kang Ji-Woo terkekeh dan menyambut kelingking Jin Yi-Song. “Janji.”
***
Kang Ji-Woo berdiri dengan gugup di belakang panggung. Tangannya yang menggenggam microphone terasa dingin dan berkeringat. Ia mencoba mengatur napas, namun tidak bisa. Ia mencoba berjalan mondar-mandir, namun tidak berhasil. Beberapa cara sudah ia coba, namun tidak ada satu pun yang berhasil membuat rasa gugupnya melebur
Tiba-tiba Kang Ji-Woo berseru dengan keras saat ia mengingat sesuatu. Tampaknya Kang Ji-Woo akan terus menyerukan ‘aahhh’ dengan keras untuk menunjukkan kelegaannya jika saja beberapa pasang mata tidak mengarah kepadanya. Ia membungkuk dalam-dalam dan menggumamkan kata maaf berulang kali karena sudah mengejutkan beberapa kru di belakang panggung. Saat semuanya kembali normal, Kang Ji-Woo bergegas merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan sesuatu. Ia memandangi percik-percik kemilau di atas telapak tangannya dan tersenyum. Memang hanya cara inilah yang bisa membuatnya jauh lebih tenang.
“Dari mana kaudapatkan benda seperti itu? Itu sepertinya bukan benda untuk laki-laki.”
Kang Ji-Woo menoleh dengan cepat. Begitu menyadari siapa yang baru saja berbicara kepadanya, ia langsung menyembunyikan benda yang dimaksud ke dalam saku jaket, lalu membungkuk sekejap.
“Itu... itu bukan apa-apa,” jawab Kang Ji-Woo terbata-bata.
Joon Yo-Soo tertawa pelan, lalu mengangguk-angguk. Ia berdeham, lalu, “sebentar lagi giliranmu. Siap?” tanyanya.
Kang Ji-Woo mengangguk dengan mantap. “Tidak pernah sesiap ini,” sahutnya.
Joon Yo-Soo menepuk bahu Kang Ji-Woo berulang kali dengan bangga. “Lakukan yang terbaik. Tunjukkan bahwa sekolah ini punya lulusan terbaik yang luar biasa.”
Kang Ji-Woo mengangguk lagi.
“Baiklah, saya pergi dulu,” Joon Yo-Soo pamit.
“Sonsaengnim (2),” panggil Kang Ji-Woo.
Joon Yo-Soo menghentikan langkahnya dan berbalik. “Ya?”
“Mengenai permintaan saya...”
Joon Yo-Soo menyela dengan mengangguk. “Sudah dipersiapkan. Kau hanya perlu berdiri di atas panggung dan lakukan apa pun yang kau mau.”
Kang Ji-Woo membungkuk. “Ghamsahamnida (3), Sonsaengnim.”
***
Kang Ji-Woo berjalan ke panggung tanpa rasa gentar. Kaki dan tangannya tidak sedikitpun gemetar. Kalaupun rasa gentar dan gemetar itu datang, ia tahu ia hanya perlu membayangkan satu wajah sebentar dan sungguhlah semuanya terasa akan baik-baik saja.
Di tengah panggung, Kang Ji-Woo berhenti. Di sana ia hanya berdiri. Lalu, setelah dirasa cukup lama, Kang Ji-Woo pun membuka mulut dan bersuara.
“Mimpi,” ia memulai. Ia menyapukan pandangannya ke barisan penonton pelan-pelan, lalu, “apa itu mimpi?” ia bertanya.
Kang Ji-Woo menengadah, terlihat menekuri langit-langit selama beberapa saat. Ia kemudian kembali memandang ke depan dan tersenyum. “Seseorang pernah mengatakan kepadaku kalau mimpi itu seperti akar. Dia tumbuh di balik tanah dan tidak terlihat, membuatnya tampak tidak berdaya dan membuat orang-orang ragu akan kekuatannya. Namun, pelan-pelan ia tumbuh. Menerobos tanah dan bebatuan, muncul ke permukaan dan menunjukkan kepada siapa saja kalau dia sebenarnya kuat. Dia akan terus tumbuh meski terkadang tanahnya kering, meski terkadang angin terlalu kencang. Dia akan terus tumbuh dan membawa apapun yang bertengger di dahannya ke puncak tertinggi yang ia bisa. Seseorang itu mengatakan mimpi juga seperti itu. Mimpi akan membawa siapa pun yang percaya kepadanya ke puncak tertinggi. Dan ketika saat itu tiba, saat itulah kita menjadi bintang yang bersinar di angkasa.”
Kang Ji-Woo mengambil napas dengan susah payah. “Awalnya aku kira seseorang itu hanya bisa omong kosong sampai aku menyaksikan kalau dia tidak hanya sekadar berbicara, namun juga menunjukkannya.”
Kang Ji-Woo beranjak ke tepi panggung, mencoba tidak menghalangi layar besar yang pelan-pelan diturunkan. “Video yang akan kita lihat ini diambil delapan bulan yang lalu, saat dia masih bersama kita di sini.” Dan beberapa detik setelah Kang Ji-Woo berbicara seperti itu, sebuah video dimainkan dan ditembakkan ke layar besar oleh proyektor.
Video itu mempertontonkan Jin Yi-Song yang sedang berlatih seorang diri. Kang Ji-Woo mengambil video itu diam-diam. Di dalam video itu, Jin Yi-Song bernyanyi dengan lepas meski dengan artikulasi yang tidak jelas. Ia tidak berhenti meski ia tahu nyaris semua nada yang ia nyanyikan sumbang. Di sana, Jin Yi-Song juga menari dengan bersemangat meski dengan langkah yang tertatih-tatih. Ia pantang menyerah meski berulang kali ia terjatuh.
“Jin Yi-Song. Seseorang itu adalah Jin Yi-Song,” ungkap Kang Ji-Woo dan saat itu video itu belum selesai diputar. “Jin Yi-Song yang akan terus bernyanyi sampai ia tidak bisa bernyanyi lagi. Jin Yi-Song yang akan terus menari sampai ia tidak bisa menari lagi. Jin Yi-Song yang akan terus bermimpi sampai dia mati.”
Video itu diakhiri dengan dua baris kalimat.
Jin Yi-Song, sang pemimpi tangguh yang menderita Spinocerebellar Degeneration (4). Untukmu, terima kasih karena sudah menunjukkan apa mimpi itu.
Dan ketika video itu benar-benar berakhir, semua penonton berdiri dari tempat duduknya dan memberikan tepuk tangan yang paling meriah yang pernah Kang Ji-Woo dengar. Acara perpisahan Sekolah Seni Kirin pun ditetesi tangis haru dari beberapa siswa dan guru.
Di tempatnya, Kang Ji-Woo tersenyum dan meneteskan air mata. Tampaknya, setelah malam ini berakhir, tidak akan ada lagi yang ragu untuk bermimpi. Semoga...
***
Dia pernah mengatakan kepadaku kalau yang terpenting adalah bukan betapa sakitnya saat kita terjatuh, namun bagaimana kita berdiri lagi setelah itu.
Jin Yi-Song, gomawoyo!
—Park Yu-Jae
Dia bilang aku tidak perlu terlalu berusaha untuk tampil baik di depan orang banyak karena menurutnya yang harus aku lakukan pertama-tama adalah tampil baik untuk diri sendiri.
Jin Yi-Song, gomawo!
—Sin Hae-Soon
Dia ingin menjadi seperti aku, Park Yu-Jae dan Sin Hae-Soon yang sudah debut. Dia bilang dia ingin mengejar kami. Namun, dia tidak pernah sadar sebenanrnya kamilah yang sedang mengejarnya. Karena, kami ingin menjadi seperti dia yang benar-benar menikmati rasanya memiliki mimpi.
Jin Yi-Song, mari terus bermimpi!
Saranghae (5).
—Kang Ji-Woo
***
Footnote :
1. Terima kasih
2. Guru
3. Terima kasih
4. Penyakit yang menyerang sistem saraf, membuat penderitanya sulit berjalan, berbicara bahkan menelan sesuatu.
5. Aku mencintaimu
***
Aku membuat cerpen ini setelah selesai menonton Dream High 2. Jadi, bisa dibilang kalau cerpen ini terinspirasi dari Drem High 2. Mengambil tema yang sama: mimpi. Bahkan, aku sengaja memakai nama sekolah di serial Dream High 2: Sekolah Seni Kirin.
Sadar, sih ini gak sebagus Dream High 2 itu sendiri, namun aku harap cerpen ini bisa membagi sesuatu kepada siapa pun yang membacanya.
Thank you for reading. Komentarnya ditunggu. :)
Mimpi itu bukan cuma milik mereka yang berbakat, namun milik siapa saja yang berani untuk bermimpi.
(Dream High 2)
Warmy,
David
Tidak ada komentar:
Posting Komentar