*
Sebelum sekarang, dua tahun yang lalu.
Awal musim hujan.
Saat itu seingat ku rintik hujan mewarnai awal pagi, membuat segalanya menggigil, tanpa kicau
burung,tanpa embun pagi, tanpa sinar emas hangat yang biasanya menembus kaca jendela. Benda
bulat kuning itu sepertinya lebih memilih bersembunyi di balik gumpalan kapas
diangkasa. Membuat segalanya kelabu.
Aku merapatkan jaket coklat yang tengah ku pakai, angin
diawal musim hujan memang selalu menusuk tulang, bahkan suhu di pagi hari pun
tidak berbeda dengan siang nanti, sore nanti, atau malam nanti.
Aku menguap, sebelum akhirnya menatap jam tangan, masih
tiga puluh menit lagi untuk membuat sekolah ini ramai, ah sial aku datang
terlalu pagi.
Aku berhenti melangkah, menatap dua sosok yang ku kenal tengah
bergandeng tangan sambil terus tertawa berjalan kearahku. Aku melempar senyum
pada mereka. Ah sepertinya hari ini tidak begitu kelabu untuk beberapa orang.
“Hay Ed !!” sapa Jasmine riang, yang entah mengapa setiap
mendengar suaranya aku selalu merasa lebih bersemangat. Sementara di sebelahnya
Akasia tengah tersenyum juga.
Aku lagi-lagi membalas sapaan mereka dengan tersenyum.
“tidak biasanya kau datang sepagi ini” ujar suara baritone
milik Akasia. Aku terkekeh, pemuda tegap ini memang selalu terlihat tenang,
berbeda dengan gadis di sebelahnya.
Mereka memang pasangan yang serasi, Jasmine gadis cantik
dan cerdas dengan keramahannya yang luar biasa, bersanding bersama Akasia
pemuda dengan predikat paling giat memberikan piala terhadap sekolah, tampan
dan mempesona, ah belum lagi sederet gelar kabangsawanan yang mereka miliki,
membuat mereka dinobatkan sebagai pasangan paling serasi oleh seantero sekolah.
Aku membuka mulut “entahlah aku ha.. ”
“kami ingin pergi ke kantin, membeli beberapa roti kau mau
ikut ?” ucap Jasmine memotong ucapanku, satu hal yang aku kenal dari gadis ini
sejak dulu, ia selalu memotong ucapanku.
Aku menggeleng. Lebih baik berada di kelas sendirian, dari
pada harus bersama mereka. Yaah kalian tahu apa yang akan di katakana
orang-orang saat sepasang kekasih dengan satu orang diantara mereka ? aku tidak
ingin dianggap sebagai pengganggu.
“baiklah, ayoo” tanpa menunggu lagi, Akasia mendorong kedua
bahu Jasmine pelan, sesaat sebelum nya Jasmine melambaikan tangan padaku.
**
Satu tahun kemudian, akhir musim hujan.
Bau tanah dan udara yang basah memenuhi koridor panjang
sekolah, baru lima belas menit yang lalu hujan berhenti.
Saat itu setelah menghadiri rapat kegitan pencita alam, aku
tengah berjalan di koridor sekolah yang sudah nampak sepi, aku melirik jam,
memastikan pukul berapa sekarang. Lima sore. Ah itu artinya semua siswa sekolah
sudah pulang sejak dua jam yang lalu.
Mataku menatap sosok mungil di ujung koridor, ia tengah
duduk disalah satu bangku disana sambil mengibas-ngibaskan kakinya, mataku
menyipit. Ah sedang apa gadis itu sore-sore begini.
Akhirnya aku menghampirinya, berniat menggagetkannya, namun
siapa sangka sosok indah itu malah memergokiku duluan, ia tersenyum, sambil
menyapaku dengan susunan nada riangnya seperti biasa.
“Hay ed ! kau belum pulang ?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Mengacungkan map yang sedari tadi aku genggam.
“proposal kegiatan..”
“kegiatan pecinta alam ya ?” potongnya lagi.
Aku seperti robot yang lagi-lagi hanya mengangguk.
“kamu sedang apa ?” tanyaku tidak bisa menahan rasa ingin
tahu, sempat tertangkap olehku bola matanya yang coklat dan besar seperti
sedang menerawang.
“menunggu, Aka..” jawabnya sambil memalingkan padangan
kearah depan, aku menyirit, lalu akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelahnya juga.
“sejak tadi ?” aku bertanya lagi. Gadis itu mengangguk.
Aku menatap gadis di sebelahku , kerudung yang menutupi
kepalanya dengan bebas di mainkan anak-anak angin yang juga menyentuh pori-pori
kulitku, udara sudah terasa lebih hangat karena seingatku saat itu sudah
memasuki pergantian musim. Sebenarnya ada yang aneh dengannya, tidak biasanya
ia diam, biasanya apapun akan keluar dari mulut mungilnya itu, namun sekarang ?
Aku tersentak sesaat dua bola mata bening itu menohokku.
“kenapa ed? ada yang salah dengan wajahku ?” tanyanya
dengan suara riang seperti biasa, namun entah mengapa malah terdengar
mengambang di udara.
Dengan ragu aku membuka mulut.
“kamu baik-baik saja ?”
“aku ?! tentu saja..” ia menjawab dengan tawa renyah. Namun
itu tidak membuatku merasa puas dengan jawabannya.
“maksudku…” aku meneguk ludah sebelum melanjutkan
“..kalian”
Aku menangkap
ekspresi sedikit terkejut, ia menunduk, menatap ujung sepatunya.
“kami.. tidak apa-apa” ia menatapku lalu tersenyum lebar.
Sesaat setelah itu ia merogoh saku. mengeluarkan gadget
mahal masa kini. Menyentuh layar benda itu. kemudian berdiri. Aku mendongkak.
“Yah, sepertinya Aka tidak bisa pulang bersama” ia
mengeluh, mengencangkan tali ransel berwarna peach miliknya.
Aku menatap gadis itu, bagaimana bisa dua jam ia menunggu
dan saat seseorang yang menunggunya tidak datang, ia tidak marah ?!
“kau mau pulang sekarang tidak ed ?” tanyanya di imbuhi
nada mengajak.
aku kemudian berdiri. “baiklah..”
Ia berjalan di depanku sambil mengayun-ayunkan tangannya.
Aku tetap tidak habis fikir, gosip yang beredar di sekolah
tentang rengganggnya hubungan dua bintang ini cepat menyebar bak jamur di musim hujan, jujur saja banyak
pertanyaan yang muncul di kepalaku dan
pertanyaan-pertanyaan itu memaksa keluar. Namun, setelah melihat rekasi
gadis itu tadi. Aku dapat menyimpulkan sesuatu. Sudah jelas ada yang salah
dengan mereka.
**
Pertengahan musim panas.
Aku menatap sekeliling , ini jam olah raga namun entah
mengapa sejak tadi tidak ada yang berniat melakukan kegiatan tersebut, lagi
lagi aku menyapu pandangan ada beberapa dari teman sekelasku tengah berkerumun
di pinggir lapangan baset, beberapa dari anak perempuan bahkan sudah lenyap
bergegas pergi ke kantin. Aku mengerut ,melemparkan bola basket itu
sembarangan. Ah hari ini panas sekali benda bulat kuning itu sepertinya
benar-benar berniat membakar kulit ku sampai ke sel-selnya.
Aku menyeka keringat dengan ujung lengan baju olahragaku,
lalu berniat membasahi kerongkonganku dengan sebotol minuman juga.
Setelah mendapatkan apa yang aku cari, aku duduk di salah
satu bangku tepi taman sekolah, menselonjorkan kakiku di bawah pohon ek yang
rindang.
Tepat saat itu aku menangkap pemandangan yang seharusnya
biasa saja, namun tetap tidak bisa. Terlebih ada beberapa pasang mata lain yang
tengah menatap mereka juga.
Aku semakin melekatkan pandanganku pada dua sosok itu,
seorang gadis pemuda tegap di depannya, dari jarak pandangku sekrang terlihat
gadis itu seperti menyeret langkahnya, berusaha mensejajarkan dengan pemuda di
hadapannya. Siapa lagi mereka jika bukan Jasmine dan Akasia.
“HEY !” seseorang menepuk pundak ku dari belakang, dan
sontak membuatku terlonjak. Aku menoleh berusaha membunuhnya dengan tatapan
bengisku dan sukese membuatnya meringis.
“apa yang sedang kau lakukan disini ?” Tanya Krisan teman
sekelasku.
“istirahat..”
Krisan mengangkat bahu, lalu ikut duduk di sampingku, ia
merebut kaleng minuman yang baru sekali ku teguk itu.
Setelah cukup puas meneguk isinya, krisan menaruh kaleng
itu kembali di tangannku. Ia mengikuti pandanganku yang masih terkunci pada dua
sosok itu. lalu berujar setengah berbisik.
“tahu tidak, katanya mereka sudah berpisah..”
Aku menoleh menatap Krisan.
“mereka ?”
Krisan menunjuk objek yang aku tanyakan dengan ujung dagu
nya.
“sepertinya Akasia berpindah hati, katanya dia sedang
mencoba mendekati Lily..”
Alisku berkerut, sedikit kesulitan saat Krisan menyebut
nama Lily. Lily.. oh ya aku ingat.
“si murid baru yang seperti Barbie itu..” seperti menduga
isi fikiranku, ia menjelaskan.
“katanya orang tua Akasia dan Lily itu bersahabat, kabarnya
juga mereka akan mengadakan liburan ke pulau Lombok minggu depan. Pantas saja
Akasia begitu tergila-gila pada Lily siapa juga yang tidak tertarik dengan
gadis sesempurna dia..” lanjut krisan panjang lebar.
Tanpa sadar aku membuang nafas, entah mengapa merasa begitu
kesal terhadap Akasia.
“bagaimana dengan Jasmine ?” aku tidak bisa membendung
pertanyaan yang sedari tadi mencuat di kepalaku.
Kulihat krisan mengangkat bahu.
“kau kan sahabat kecilnya, seharusnya kau yang lebih
tahu..” ujarnya ringan, lalu beranjak karena tepat saat itu bel tanda
berakhirnya istirahat berdering nyaring.
*
Suatu sore saat aku tidak sengaja bertemu dengan Ibu
Jasmine di taman kompleks.
Udara terasa lebih dingin dari biasanya, aku menatap wanita
berusia akhir 30 itu yang tengah duduk disampingku ini.
“kamu apa kabar ed ?” Tanya wanita itu, membuka percakapan.
Aku tersenyum.
“saya baik tante, bagaimana Tante sendiri ?”
“kamu bisa lihat
saya sekarang..” jawabnya ,walaupun kerutan sudah terlihat di ujung senyumnya
namun tidak sedikitpun mengurangi kencantikannya dan keanggunan wanita ini.
aku mengangguk. Tanda mengerti.
“namun beberapa hari ini ada yang berbeda dengan Jasmine. ”
ujarnya suaranya terasa mengecil di bagian akhir.
Aku membulatkan mataku. Merasa begitu juga, Jasmine
akhir-akhir ini memang lebih pendiam, ia tidak pernah pulang bersama lagi, ia
tidak pernah mengunjungiku ke kelas pada jam istirahat –sekalipun sudah bersama
Akasia- hanya sekedar untuk mengoceh hal-hal tidak penting. Atau berkeliling
menggunakan sepeda pada saat minggu pagi. Kebiasaan itu hilang saat ia bersama
Akasia.
Awalnya aku merasa kehilangan. Tentu saja, tapi
bagaimanapun juga sahabat kecilku sudah beranjak dewasa, lagipula kulihat,
Jasmine sepertinya begitu mencintai Akasia, begitu juga sebaliknya.
Aku mengerejap saat Ibu Jasmine menyentuh punggung
tangannku, berusaha menyadarkanku dari lamunan.
“berbeda bagaimana tante ?”, bertanya pada wanita ini, Ia
terdiam sejenak.
“Jasmin jadi anak yang tidak banyak biacara, lebih sering
mengurung diri di kamar. Mungkin kamu tahu sesuatu yang terjadi antara Jasmine
dan teman lelakinya ?”
“Akasia maksud tante ?” kulihat ia mengangguk.
“saya khawatir, Jasmine tidak ingin bercerita pada saya.
Mungkin ia bercerita pada kamu ed ?”
Aku menggeleng.
“kamu ingat permainan putri dan pengawal ?”
Aku mengangguk. Mengerti apa yang di maksud oleh Ibu
Jasmine. Itu adalah permainan yang sering kami –aku dan Jasmine- mainkan dulu.
“mainkan lagi sekarang ya ? jaga Jasmine untuk saya..”
ucapnya.
Aku tertegun, menangkap tatapan memohon dari sorot mata
wanita yang super baik ini. Dan tanpa ragu aku mengangguk.
**
Masa sekarang.
Akhir musim panas, awal musim hujan.
Langit tidak sedang memiliki mood yang baik sepertinya,
tadi siang surya sepertinya sangat bersemangat namun sekarang benda itu kemana
? bersembunyi di awan hitam yang kini malah bergelayut di langit ? ah membuat
cakrawala kelabu saja.
Atap bumi itu semakin galap saja, sepertinya akan ada
badai, kalau begitu aku harus cepat pulang, atau terjebak di sini sampai nanti
malam.
Benar saja aku baru seperempat melangkah, Guntur sudah
bersahut-sahutan kilat sudah mulai berkeliaran, dan seperdetik kemudian air
langit itu turun ke bumi berjatuhan dengan cepat, semakin sering, dan dalam
sekejap bumi benar-benar basah.
Aku menghela nafas, merogoh saku ku, meraih ponsel dan
mengetik beberapa kata, sebelum akhirnya layar benda itu hitam. Bagus, ponselku
mati.
Dengan segala kekesalan aku melangkah,menembus gerombolan
siswa lain yang juga tengah memadati koridor sekolah, yang sepertinya sedang
asik menonton sesuatu di lapangan. Ah aku tidak peduli, tidur di perpustakaan
sepertinya menjanjikan hal yang lebih menyenangkan untukku.
Tapi tunggu ! aku menghentikan langkahku, mundur beberapa
langkah, kemudian tersentak saat melihat apa yang terjadi di lapangan.
Seorang gadis yang tengah menembus hujan, berjalan dengan
tempo yang amat lambat, ia benar-benar menyeret kakinya, membuat seluruh
tubuhnya di guyur air, menuju satu titik
yang sedari tadi sedang di jadikan ajang tontonan gratis oleh seluruh siswa.
Jasmine apa yang sedang di lakukannya ?!
Aku lalu melempar pandangan, mencari sosok yang kemungkinan
bertanggung jawab besar terhadap sahabat kecilku ini.
Dan terkutuklah dia ! itu Akasia, berada di sebrangku saat
ini. Tubuh tegapnya dengan jelas merangkul seorang gadis berketurunan Astralia.
Lily.
Tanpa fikir panjang aku berusaha menyalip beberapa orang
yang berjubel memenuhi koridor. Memanggil satu nama yang benar-benar memenuhi
otakku. Dan kemungkinan yang terjadi apabila ia tetap seperti itu tidak luput
dari fikiran ku.
“Jasmine !”
“Jasmine !!” gadis itu tetap tidak bergeming, tetap
melanjutkan langkahnya. Suara Guntur terdengar lagi. Aku mencoba memanggilnya
lebih keras.
“Jasmine !! Jasmine !!” dan aku berhasil, dengan sedikit
terpaksa menarik lengannya.
Tiba-tiba seluruh sekolah bergemuruh, beberapa menyoraki.
“apa yang sedang kau lakukan ?!” tanyaku di sela-sela suara
hujan. Ia tidak menatapku, namun berusaha keluar dari genggamanku.
Aku terkesiap menyadari genggamanku terlalu kuat kemudian
melonggarkannya, dan berhasil membuat Jasmine terbebas, kemudian ia melangkah
lagi namun dengan kecepatan yang lebih meningkat.
“Aka.. ayo pulang bersama..” ujarnya dengan nada bergetar,
sukses membuat siapapun yang mendengarnya merinding, tidak terkecuali aku.
Aku menatap Akasia seakan ingin membunuhnya saat itu juga.
Kemudian suara Jasmine terdengar lagi. Lebih bergetar dan menyayat dari
sebelumnya
“Aka.. bisakah.. kitaa kembali sekarang.. aku..” gadis itu
menggangtungkan ucapannya di udara membiarkannya menguap bersama hujan.
Kulihat akasia merekatkan rangkulannya terhadap gadis
Barbie itu, menatap Jasmine tidak peduli.
“aku.. tidak lagi mencintaimu, pergilah !”
Dan lima silabel itu sukses membuat bahu Jasmine berguncang,
sukes membuat kakinya meleleh hingga jatuh terduduk, sukses membuat seluruh
sekolah bergemuruh, membuat beberapa siswa sudah mulai membubarkan diri,
mengganggap pertunjukan ini selesai karena Akasia dengan angkuhnya berjalan,
meninggalkan koridor, dengan terus menggenggam tangan Lily.
Aku secepat kilat menghampiri Jasmine yang saat itu sudah
terduduk dengan bahu bergetar. Menarik lengannya halus, sedikit memaksanya
untuk berdiri. Kemudian ia menurut.
Dan saat itu aku merasakan bahu gadis ini begitu rapuh
sehingga aku harus menuntunnya ke tempat teduh, dan saat itu aku juga merasa
setiap tetes air hujan yang jatuh pada tubuhku adalah tikaman pedang
paling tajam. Sama-sama menyakitkan.
Jasmine masih tersiak saat aku menyelimutinya dengan jaket
yang tengah ku pakai.
“ini memang sedikit basah, tapi kau tidak akan
kedinginan..” ujarku sambil merogoh
saku, mencoba sekali lagi menghidupkan ponselku. Namun hasilnya nihil.
Aku menghela nafas, lalu duduk di samping Jasmien, gadis
manis ini masih menunduk, menyembunyikan wajahnya. Lalu entah karena dorongan
apa aku menyentuh ujung dagu Jasmine mengangkatnya perlahan takut wajah cantik
itu akan benar-benar hancur. Dan detik berikutnya aku lah yang merasa hancur,
melihat kedua bola matanya yang tidak lagi terlihat bercahaya, digantikan
dengan tatapan terlampau putus asa.
Ia menatapku, berusaha menarik ujung-ujung bibirnya untuk
tersenyum, namun itu membuatku merasa semakin tersakiti.
Dan entah karena dorongan apa lagi, aku menarik lengannya,
mendekapnya dalam pelukanku. Tubuhnya serasa menegang.
“edelweiss..” ia bergeming dengan suaranya yang masih
bergetar.
“menangislah..” ucapku, aku merasakan lengannya menyusup ke
punggungku, kemudian ia menanis sejadi-jadinya.
Aku mengeratkan pelukanku pada Jasmine yang kian tersedu. Ada
sebuah rasa menyakitkan
seakan mengoyak lapis demi lapis hati seiring isakan yang keluar dari mulut Jasmine.
Jasmine
gadis yang periang, ia pintar dan cerdas, ia menangis karena laki-laki tidak
tahu diri itu.
Sudahlah .. aku mengelus kepala gadis dalam dekapanku.
Tampaknya, aku tahu mengapa setiap
mendegar kata yang keluar dari mulutnya aku selalu merasa lebih semangat,
mengapa setiap melihatnya aku merasa lebih berarti, mengapa saat ia jatuh
seperti ini aku merasa benar-benar hancur.
Dengar, Jasmine .. tolong dengar detak jantung yang
berbunyi menyalahi aturan ini. aku tidak dapat menahan perasaanku. ia berteriak pada hujan yang menderu.
Tampaknya
aku tahu, ini kesalahanku. Membuatmu jatuh ke tangan yang salah.
Jangan lagi buat hati
masing masing kita sakit .. kataku pelan, masih dalam nurani.
Tampaknya
aku tahu, aku telah jatuh cinta
pada gadis
ini yang masih dalam pelukanku.
Aku
mencintaimu sejak dulu…
Dari
edelweiss. Untuk Jasmine.
warmy
shyfanurfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar