Saat itu langit masih menggigil. Tubuhnya biru kehitaman ditiupi angin
pagi, yang kini beralih membiakkan diri menembus pori-pori kaca dan kisi-kisi
jendela sebuah ruangan di lantai dasar salah satu rumah di bilangan elite
Jakarta.
Peranakan angin ini membelah lagi. Sebagian berlari melewati sela pintu dan
mulai membentuk kisahnya sendiri, yang say angnya takkan dilantunkan dalam
dalam cerita ini.
Nah, saatnya kita tengok gadis berparas cantik tadi. Ia sudah melangkah
masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu di belakangnya. Rambut ikal alaminya
bergoyang pelan seperti pegas saat ia melangkah panjang melalui karpet bulu
menuju sebuah teknologi yang membuatnya berdebar. Personal Computer.
Bukan. Bukan. Aliran darahnya berkejaran bukan karena PC-nya tampak begitu
tampan. Tapi karena benda inilah yang belakangan menjadi alat komunikasi dua
arah bagi gadis itu dan seorang penawan. Penawan sekaligus pencuri kepingan
hatinya, yang sampai sekarang belum juga dikembalikan.
Pencuri tak bertanggungjawab, batinnya sambil tersenyum kecil dan duduk di
depan PC-nya yang sedang berbenah diri.
Ia menghela nafas pelan, terkadang melirik waswas ke belakang –arah pintu-
setiap kali merasa mendengar suara gemerisik yang mencemaskan. Gadis itu
kembali memutar kepalanya ke depan lalu menggeleng sendiri. Memutuskan
suara-suara tadi mungkin hanya khayalan. Rupanya beginilah tipikal orang yang
sehabis mengendap-ngendap (karena takut ditanyai apa yang membuatnya
berkeliaran sepagi ini) dan sedang melakukan sesuatu yang ‘terlarang’. Selalu
risau dan takut akan ketahuan.
Ia mengalihkan pandangan ke arah layar yang telah siap lalu meraih mouse,
menekan tomnbol kanannya dan memilih option ‘refresh’ beberapa kali. Ia
tersenyum saat sebuah taskbar tiba-tiba menyambar dan menandak-nandak penuh
semangat.
Rio_Haling : Rise & shine ! Gmorn,
mai C; sleep well ? dreamed me lately ?
Ia tersenyum simpul lagi, menyerapi kata per kata yang terketik tadi dalam
hati. Berusaha menikmati debaran hangat yang kini menjalar disana.
Toughme : dreamed me ? lately ? mm ..
maybe ..
Ia hanya berpura-pura tentu saja, bagaimana bisa ia tak memimpikan penawan
ini setiap hari ?
Rio_Haling : Dn’t b such a hypocrite ..
i kno u do that evry night or maybe ..
Rio_Haling : u just saw my pic and
sighed about how good looking i am ?
Toughme : oh right ! u got me twice !
*sarcastic-toneplease*
Rio_Haling : ok stop ths debate .. im
getting tired .. when will u come & show me urself ? im already crazy ..
Ia merasa ingin berteriak. Tidak mengertikah pemuda ini betapa inginnya pula
ia memunculkan diri ? Berlari dengan pasti, tanpa hanya bisa memandangi dan
mengatakan bahwa dialah Mai.
Ia mendesah pelan. Tapi tentu tidak bisa dengan cara sefrontal itu. Ia
tidak ingin mengejutkan tiba-tiba dan mengacaukan segalanya. Maka ia menampilkan
dirinya dalam potongan, selapis demi selapis. Dijelmakannya menjadi teka-teki.
Toughme : hven’t solved the riddle yet ?
Rio_Haling : Gah! Dn’s start w/ that
stupid question of yours ..
Toughme : DON’T call it stupid rrrrr
Bodoh ? Enak saja. Apakah pemuda ini tidak tahu berapa malam yang harus
dihabiskannya untuk bertapa dan melahirkan teka-teki serumit itu ?
Rio_Haling : sorry then .. forgiven ?
Toughme : ......
Rio_Haling : dn’t be mad pls ..
Rio_Haling : Mai .. jangan marah sama
aku ya ? mai suka talam sujinya bi okky kan ? nih aku bagi tapi .. mai maafin
aku ya ? *puppy-eyes*
Gadis itu tersenyum pelan, menerawang dalam kenangan. Ingat dulu betapa
polos dirinya mau memaafkan kata-kata ketus Rio hanya dengan sogokan kue.
Toughme : ah .. aku jadi kangen talam
suji bi okky :C
Rio_Haling : yah. Kok kangen talam ..
aku ?
Toughme : masih perlu ditny kah ? tapi
..
Rio_Haling : C:
Toughme : bukannya kamu udah punya yg
bisa ngangenin kamu ?
Rio_haling : and that’s supposed to ..
Toughme : ur girl .. exactly
Rio_Haling : just don’t ... mentioning
her again, ok ? ths chat supposed to b about both of us .. just us ..
Sekilas saja, ia merasa perutnya agak mual. Sudah jadi penganggukah dirinya
? Tanpa sadar, mengambil bagian dalam lakon kecil berjudul ‘Cinta Terlarang’
dimana ia menjadi perusak hubungan seseorang ?
Gadis itu meletakkan siku kanannya di atas meja lalu bertopang dagu.
Memperhatikan kilasan di layar PC-nya sambil berfikir sebentar. Apa yang
dilakukannya ini salah ya ? Hingga otaknya sendiri menklasifikasikan apa yang
dilakukannya sebagai hal tak pantas. Apa karena penawan itu sudah berstatus
ganda ? Dan ia tahu jelas pula siapa pendampingnya ? Pendamping yang muncul
kelewat cepat sebelum ia mendapat momen yang tepat untuk menyatakan diri.
Ia mengetukkan jari tangannya. Lalu melirik cepat ke arah taskbar yang
berkedip sekali.
Rio_Haling : Mai ? why dn’t u type
sumthin’ ? r u day-dreaming ? about me, eh ? ;P
Masa bodohlah, putusnya sementara, jadi egois sebentar tidak apa-apa kan ?
Malah mungkin seharusnya bukan ia yang disalahkan. Karena tanpa sadar mungkin
kehadiran orang lain itulah yang kini memicunya untuk bergegas kembali.
Berharap dapat merebut penawannya lagi. Menagih kepingan hatinya agar tidak
terkontaminasi, dari zat kimia gadis lain yang bisa meracuni.
Sesungguhnya ia merasa sedikit jahat, Tapi ... Tak ada yang salah dari
orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain kan ?
*
Shilla membuka matanya suatu pagi lalu
entah kenapa menghela nafas panjang. Masih dalam posisi berbaring, gadis itu
memejamkan mata lagi. Seperti berusaha menguatkan diri. Karena ia tahu hari ini
akan terlewat seperti hari-hari kemarin.
Pasca penemuan itu, Shilla merasa hari-harinya hanya seperti
hembusan nafas saja. Tertelan tanpa rasa. Semakin lama ia mencoba berpura-pura
tak ada apa-apa, Shilla merasa ia semakin cocok masuk dalam
daftar nominasi aktris film bergengsi.
Sambil menggerakkan diri untuk bangkit dari tempat tidur,Shilla berfikir
sendiri. Kala ada frasa : Cinta tak harus memiliki, mungkin kini ia sedang
menjalani kebalikannya. Memiliki tanpa cinta. Bukan berarti ia sedemikian
pesimisnya, hingga berfikir Rio sudah tidak menyayanginya. Tapi, entahlah
mungkin Shilla begitu mengasihani dirinya
sendiri, lantas merasa Rio masih mau disisinya saja sudah anugerah. Rasa
sayangnya untuk Rio, mungkin sudah cukup banyak untuk mereka berdua.
Jangan kira Shilla tidak pernah berasumsi soal kehadiran
sosok lain yang dikonversi dalam bentuk kotak jingga dan potongan chatting yang
pernah dilihatnya itu. Bahkan berjuta pertanyaan tambahan langsung menyambar
benaknya tanpa jeda. Darimana Rio mengenal sosok lain itu ? Sejak kapan mereka
menjadi begitu dekat ? Seberapa kuatnya arti sosok itu hingga Rio berubah
sedemikian parah ? Lantas, kapan ia akan mematenkan supremasinya dan memebuat Shilla tersingkir
selamanya ?
Tapi berhubung pilihannya sendiri untuk bersikap segalanya baik-baik saja,
pertanyaan itu langsung menghilang tanpa bekas. Shilla akhirnya (dengan kadar
kepercayaan diri yang sudah menyusut sebesar biji sesawi) memutuskan untuk
menikmati apa yang disebutnya sebagai ‘Hari hari terakhir’. Ia memaksimalkan
waktunya untuk memandangi wajah Rio meski pemudanya itu kerap memalingkan muka.
Shilla hanya
tersenyum ganjil setiap Rio menampiknya seperti itu. Hatinya sudah patuh
setiap diperintah untuk mengebalkan rasa sakit dengan tiga kata klise yang
selalu diulanginya. Tidak. Apa. Apa.
Begitu desperatenya Shilla, hingga ia malah sudah repot-repot
berlatih mempersiapkan mental jika ia terdepak nanti. Menyedihkan.
*
Pemuda itu terus berlari hingga akhirnya ia berhenti saat nafanya tertatih.
Bukan karena lelah, tapi karena dua meter dari tempatnya berdiri disanalah ia.
Kepingan hati yang selama ini ia cari.
Rio terpaku sesaat, lalu entah bagaimana sel otaknya bisa bekerja dan
memerintahkan kakinya untuk berjalan maju, mendekati seorang gadis yang sedang
duduk dan terisak dalam tangkupan tangannya sendiri di depan ruang ICU. Di
tangan gadis itu, sebuah rantai berbandul tutup gabus berayun-ayun maju-mundur.
Menalu-nalu jantung Rio. Itu potongan kisah yang tersisa. Penutup botol pasir
perangkap masa kecilnya.
Teka-teki itu. A. S. U. Alysa Saufika Umari. Ify. Mai. Betapa bodohnya pemuda itu hingga
ia tak sadar bahwa selama ini ia memanggil gadis kecilnya dengan nama keluarga.
Rio terus berjalan tanpa kesadaran yang membayangi. yang ia tahu, tetap
satu, disana adalah Mai, bukan Ify. dan ia tak mau kehilangan sosok
itu lagi.
Semua terasa seperti potongan gambar yang bertumpang tindih, bergerak
terlalu cepat hingga Shilla tak mampu menangkapnya. Ia tak
tahu apa yang harus ia lakukan. tubuhnya kaku, tenggorokannya seperti dijejali
pasir. Dan saat akhirnya dimensi waktu kembali bergulir sealur porosnya, Shilla merasa bumi
melesaknya masuk ke dalam gorong-gorong tanah.
Rio berdiri tepat di depan Ify. Pemuda itu terpana saat gadis
di hadapannya mengangkat wajah dan dengan ragu, berdiri di depannya. Gadis
kecilnya. Dan karena detik tak mau lagi menunggu, Rio menarik Ify ke dalam
rengkuhannya.
Tak ada lagi omong kosong tentang matahari dan udara. Bahkan sesaat, Rio
pun lupa siapa namanya. Inderanya hanya merasakan satu hal yang nyata. Gadis
pembawa rantai kepingan hati yang kini menangis gemetar dalam kungkungan lenganya.
Saat Rio mengusap rambut lurus Ify pelan, kerinduan itu menyeruak
disana. Mengisi setiap sela kosong di udara. Membebat keduanya dengan selubung
reaksi kuat tak kasatmata. Dekapan itu seakan bercahaya. Menyorot kedua anak
manusia yang bertaut seakan hanya ada mereka. Meredupkan segala sesuatu di
sekitarnya. Termasuk gadis lain yang masih tak mengerti tak juga percaya. Shilla ternganga.
Ia tak tahu bahwa saat hati seseorang
patah, lukanya bisa tertoreh seperih ini.
*
Dua pesan singkat
siang itu. Sinyal pemberitahuan tentang akhir waktu. Yang sesungguhnya ia sudah
tahu. Yang membuatnya sedari kemarin tersenyum meyakinkan. Tersenyum
menyembunyikan (torehan dan kemunafikan). Tersenyum (sudah siap) merelakan.
From : Ify
Please .. Stay away
from him. I. Beg. You.
To : Rio
Aku mau bicara
sesuatu. Di rumah pohon. Sore ini. Hope will see you there =)
Setelah itu, Shilla mematikan ponselnya.
Detak dan detik
berkejaran, tertinggal lantas menghilang. Shilla
bergerak meluruskan satu kaki lantas menumpukan
dagu pada lutut kaki lainnya yang menekuk. Entah ini sudah pose keberapa yang
dipasangnya sedari tadi.
Gadis itu mendesah,
lalu menyandarkan diri pada rangka meja kayu di belakangnya , melongok ke arah
jendela yang terbuka, memperhatikan langit mulai bergradasi dari semburat
jingga dan nila menuju pekat hitam kebiruan.
Shilla menggigit bibir, menarik lutut yang tadi ia
luruskan lalu memeluk keduanya dan membenamkan kepala di antara sela mereka. Ia
memandangi jari kakinya, lantas membiarkan matanya menelusuri balok-balok kayu
pada lantai, terus menjelajah hingga fokusnya kini tertumbuk pada sisi dinding
di seberangnya. Pada galeri kotak kaca aurora itu. Yang dulu.
Gadis itu tersenyum
miris.
Shilla masih ingat semuanya. Format keabuan yang
tersuguhkan, perapian listrik yang terus meretih gelisah, lilin lilin pemberi
jawaban itu. Disini.
Shilla masih ingat ocehan sok tahunya soal teori Light
Pollution itu, tentang pilihan hatinya. Dendang tawa ejekan Rio saat ia terlalu
ketakutan akan di apa apakan. Disini. Di rumah pohon ini.
Dan kenapa
segalanya harus berubah begitu cepat ? Bahkan apa yang belum sempat terucap
terlalu kilat terlewat. Gadis itu merogoh kantongnya, lalu menimang ponsel yang
baru ia raih. Ada alasan kenapa ia menonaktifkan benda itu. Karena ia tak mau
mendapat balasan pesan penolakan, sebelum ia sempat berjuang. Ia tak mau
mundur, sebelum menunggu. Karena penghabisan waktu sudah mengetuk pintu, Shilla tahu itu. Dan gadis itu pun tahu, sesungguhnya ia
bukan orang yang terlalu pandai membohongi diri sendiri. Dan hanya sampai
disini kapasitasnya untuk berlagak munafik dan tak tersakiti.
Akhirnya Shilla mendesah dan menghidupkan benda elektronik dalam
genggamannya. Benar saja. Sebuah tanda pesan baru langsung menandak dalam layar
begitu ponselnya telah merampungkan proses pengaktifan.
From : Rio
Harus menemani Mai
hari ini. Maaf.
Shilla tersenyum tipis, lalu menggeleng sendiri. Tentu,
tentu. Ia akan memaafkan Rio. Ia takkan pernah menyalahkan Ify juga. Tak ada yang salah di cerita ini. Tak ada.
Selain dirinya.
Gadis itu menoleh
ke sekelilingnya, tersenyum sarkatis. Percaya atau tidak, ia menghidupkan
lilin-lilin itu lagi. Membentuk formasi setengah lingkaran tak beralas seperti
yang pernah terjadi.
Shilla menarik nafas, kali ini tersenyum berserah. Ia
berdiri dan berjingkat pelan, meniupi lilin-lilin itu hingga tinggal satu yang
tersisa menyala. Gadis itu berjalan lagi, bergerak mencongkel bukaan pintu
rumah pohon dan mulai menuruni tangga tali. Membiarkan lilin terakhir padam
terbawa angin petang, seperti harapan naifnya bahwa semua akan baik-baik saja
yang berangsur pudar.
*
Angkutan umum itu
sepi, Rio melepas tangan Shilla lalu mendorong
gadis itu untuk duduk di pojok angkutan, diikuti dirinya. Dengan fasih, Shilla mengambil tas rotan dan kresek lain yang masih
digenggam Rio lalu menaruh semua itu di dekat kakinya.
Tak ada suara
ketika angkutan mulai berjalan selain lagu dangdut sayup dan batuk parau sang
sopir. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata
Rio dan Shilla bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang
berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan kayu manis itu untuk
saling bertukar.
Shilla menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat
melihat tangan Rio menggenggam jemarinya. Sesaat, Shilla
merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Rio dan waktu yan seakan tak
pernah berlalu.
Seandainya Shilla bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang
menyelinap saat gadis itu melihat Rio memejamkan mata, sambil merengkuh
jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.
Shilla tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa
dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Rio erat-erat pula. Tahu
bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.
Mereka sedang
mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan
ada lagi mimpi-mimpi ini.
Shilla tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang
hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk
menyandarkan kepalanya di bahu Rio. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri
untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.
"Cheating MUCH
?!" (CUKUP selingkuhnya ?!)
Seruan emosional
itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Rio dan Shilla bergerak
memasuki dapur melalui lorong garasi sambil tertawa berdua karena mengingat
tingkah laku pemuda itu di pasar tadi.
Rio terkesiap,
sekejap menjatuhkan tas rotannya "Mai ?" pemuda itu tergeragap. Ia
bergegas menghampiri tubuh Ify yang bergetar penuh
kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.
"Ga usah
!" seru Ify menjauhi lengan Rio, menahan air mata yang mulai
menggelegak dari pelupuknya.
"Mai, dengerin
gue .." ujar Rio pelan, berusaha meraih gadis itu.
"Kamu
bilang," ucap Ify sambil berjalan
mundur dan menuding Rio "kamu ga mau bikin aku nangis di depan kamu lagi !
Tapi sekarang ?! Malah kamu sama dia ..." gadis itu ganti menuding Shilla yang diam mematung.
"Dan
elo," kata Ify kalap sambil
berjalan mendekati rivalnya "i said. STAY. AWAY. FROM. HIM ! Isn't CLEAR
MUCH ? Don't you know i need him ? More than you do !" gadis itu memainkan
dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini
ia mendesis.
"And this is
called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice
versa. So, let him go ! CAN'T YOU ?!" (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang
ga bisa dihindari. Gue milik dia, dan sebaliknya. Lepasin dia ! GA BISA ?!)
kecemburuan buta membuat Ify seakan akan dengan
pongah mendahului nasib.
"Mai .."
Rio merengkuh bahu Ify yang berguncang
dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak
menyangka gadis itu akan semeledak ini. Rio tak tega melihatnya.
"Mai,"
panggilnya pelan, menenangkan "Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa."
Rio menatap Shilla sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Mai-nya
menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal
baru saja terpeta tak lama ini.
"Dia bukan
siapa-siapa." ulang pemuda itu "Dia cuma .." sepah yang harus
lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Rio lagi.
Pemuda itu
memandang Shilla tajam, memuntahkan kata katanya ".. cuma masa
lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga."
*
Lalu inilah. Akhir
dari segala akhir.
Sesungguhnya, Shilla tak seberapa terganggu dengan tragedi pagi tadi.
Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar
keputusannya semakin siap dipentalkan.
Shilla sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu.
Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Rio
hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu pagi tadi
sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan
menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini,
lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi.
Terkenang di benak Shilla pelatuk yang
dilepas Rio pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu
tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.
Shilla memasuki kamar Rio tanpa mengetuk. Apapun yang
terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang
paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan
keputusannya kali ini.
Shilla memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada
Gabriel, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras sehabis ini.
Dan hati mengenal
kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti
hati Shilla hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada
di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Shilla
berdiri.
Dan disinilah Shilla, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini
takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.
Begitu banyak yang
ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum
sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu
singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.
Shilla melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan
derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa
seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya,
siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.
Beberapa menit yang
terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara
sedingin laut baltik itu terdengar "Nyari gue ?"
Pertanyaan itu
menyentak Shilla, menyadarkan Shilla
bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu
untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan
siapa-siapa lagi.
Shilla menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu
bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi
disiakannya waktu yang terus berlalu.
"Mau berdiri
di situ sampai kapan ?"
Shilla mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Rio
menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu
mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.
Shilla menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela
nafas panjang sebelum melantun balasan.
"Sebentar lagi
saja," jawab gadis itu telak, membuat Rio diam-diam tersentak.
Tiga ujaran
penghambat keputusan Shilla kala itu. Tujuh
silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun
hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan
saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Shilla,
bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.
Ini apa yang
sebenarnya ingin ia katakan di rumah pohon tempo hari.
"Kamu tahu ?
Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan.
Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa
tujuannya,"
Shilla menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini
setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam
torehan yang memeluknya hingga ke tulang.
Dengan ulu hati
tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi
melanjutkan. "Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling
tidak .. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang.
Lalu ... begitulah kita."
Shilla menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena
sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah
berlangsung di antara mereka.
Dufan. Hujan.
Kenangan.
Muara Baru.
Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.
Makan malam. Sebuah
tarian. Suatu perayaan.
Namun entah kenapa
segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan
paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa
bergaung begitu jauh dari dasar hati.
Lantas, klimaks
penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Shilla. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.
Shilla menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam.
Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan
sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata
lagi.
"Karena
bintang dalam masa lalu itu pun sudah tidak ada. Entah sudah betul-betul mati
menjadi nebula atau hanya cahayanya yang meredup berbeda. Penerima kata itu
sudah tak bisa lagi menemukan bintang yang dipilihnya dulu."
Shilla mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti
tepat di belakang punggung Rio, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih
"Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi
ingatan yang harus dikenang, terimakasih ... Karena kamu sudah pernah
ada."
Dengan segenap
keberanian yang tertinggal, Shilla menyusupkan kedua
lengannya untuk memeluk tubuh Rio dari belakang dan membenamkan wajahnya
disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.
Bahkan udara tak diizinkannya
mengisi sela kosong yang tersisa.
Shilla tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu
ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal
kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan.
Dan bahwa takkan
ada lagi alasan pembantahan.
Shilla menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu
berlari pergi.
Gadis itu menutup
pintu ruang eksekusi hatinya, lalu berusaha menarik udara dengan nafas
tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.
Shilla mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang
mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.
"Shilla ?"
Gadis itu menoleh
melihat Gabriel berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu
apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan "Sudah selesai ?"
*
Iya Bang
Gabrieel udah selesei !
Aaah
gilaaaak suka banget sama novel satu ini. Kenapa tiba-tiba kangen mba Janice
yaa :3 terimakasih mba Janice sudah pernah tulis cerita keren ini. Yang
penasaran sama kisah lengkap diatas mari beli buku nya mba Jan yang judulnnya
LOVE COMMAND *LHAA MALAH PROMOSI HAHAHA*
Pokoknya
ini keren, dari awal sampe akhir. Kata-katanya itu looo.. nyecep ampe ke ulu
hati :”D seakan nyata. ah yaa… kan aku lagi ngerasain jadi Shilla pantesan deh……