Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Selasa, 17 Juni 2014

Bagian Favorit dari Love Command

Saat itu langit masih menggigil. Tubuhnya biru kehitaman ditiupi angin pagi, yang kini beralih membiakkan diri menembus pori-pori kaca dan kisi-kisi jendela sebuah ruangan di lantai dasar salah satu rumah di bilangan elite Jakarta.
Peranakan angin ini membelah lagi. Sebagian berlari melewati sela pintu dan mulai membentuk kisahnya sendiri, yang say angnya takkan dilantunkan dalam dalam cerita ini.
Nah, saatnya kita tengok gadis berparas cantik tadi. Ia sudah melangkah masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu di belakangnya. Rambut ikal alaminya bergoyang pelan seperti pegas saat ia melangkah panjang melalui karpet bulu menuju sebuah teknologi yang membuatnya berdebar. Personal Computer.
Bukan. Bukan. Aliran darahnya berkejaran bukan karena PC-nya tampak begitu tampan. Tapi karena benda inilah yang belakangan menjadi alat komunikasi dua arah bagi gadis itu dan seorang penawan. Penawan sekaligus pencuri kepingan hatinya, yang sampai sekarang belum juga dikembalikan.
Pencuri tak bertanggungjawab, batinnya sambil tersenyum kecil dan duduk di depan PC-nya yang sedang berbenah diri.
Ia menghela nafas pelan, terkadang melirik waswas ke belakang –arah pintu- setiap kali merasa mendengar suara gemerisik yang mencemaskan. Gadis itu kembali memutar kepalanya ke depan lalu menggeleng sendiri. Memutuskan suara-suara tadi mungkin hanya khayalan. Rupanya beginilah tipikal orang yang sehabis mengendap-ngendap (karena takut ditanyai apa yang membuatnya berkeliaran sepagi ini) dan sedang melakukan sesuatu yang ‘terlarang’. Selalu risau dan takut akan ketahuan.
Ia mengalihkan pandangan ke arah layar yang telah siap lalu meraih mouse, menekan tomnbol kanannya dan memilih option ‘refresh’ beberapa kali. Ia tersenyum saat sebuah taskbar tiba-tiba menyambar dan menandak-nandak penuh semangat.
Rio_Haling : Rise & shine ! Gmorn, mai C; sleep well ? dreamed me lately ?
Ia tersenyum simpul lagi, menyerapi kata per kata yang terketik tadi dalam hati. Berusaha menikmati debaran hangat yang kini menjalar disana.
Toughme : dreamed me ? lately ? mm .. maybe ..
Ia hanya berpura-pura tentu saja, bagaimana bisa ia tak memimpikan penawan ini setiap hari ?
Rio_Haling : Dn’t b such a hypocrite .. i kno u do that evry night or maybe ..
Rio_Haling : u just saw my pic and sighed about how good looking i am ?
Toughme : oh right ! u got me twice ! *sarcastic-toneplease*
Rio_Haling : ok stop ths debate .. im getting tired .. when will u come & show me urself ? im already crazy ..
Ia merasa ingin berteriak. Tidak mengertikah pemuda ini betapa inginnya pula ia memunculkan diri ? Berlari dengan pasti, tanpa hanya bisa memandangi dan mengatakan bahwa dialah Mai.
Ia mendesah pelan. Tapi tentu tidak bisa dengan cara sefrontal itu. Ia tidak ingin mengejutkan tiba-tiba dan mengacaukan segalanya. Maka ia menampilkan dirinya dalam potongan, selapis demi selapis. Dijelmakannya menjadi teka-teki.
Toughme : hven’t solved the riddle yet ?
Rio_Haling : Gah! Dn’s start w/ that stupid question of yours ..
Toughme : DON’T call it stupid rrrrr
Bodoh ? Enak saja. Apakah pemuda ini tidak tahu berapa malam yang harus dihabiskannya untuk bertapa dan melahirkan teka-teki serumit itu ?
Rio_Haling : sorry then .. forgiven ?
Toughme : ......
Rio_Haling : dn’t be mad pls ..
Rio_Haling : Mai .. jangan marah sama aku ya ? mai suka talam sujinya bi okky kan ? nih aku bagi tapi .. mai maafin aku ya ? *puppy-eyes*
Gadis itu tersenyum pelan, menerawang dalam kenangan. Ingat dulu betapa polos dirinya mau memaafkan kata-kata ketus Rio hanya dengan sogokan kue.
Toughme : ah .. aku jadi kangen talam suji bi okky :C
Rio_Haling : yah. Kok kangen talam .. aku ?
Toughme : masih perlu ditny kah ? tapi ..
Rio_Haling : C:
Toughme : bukannya kamu udah punya yg bisa ngangenin kamu ?
Rio_haling : and that’s supposed to ..
Toughme : ur girl .. exactly
Rio_Haling : just don’t ... mentioning her again, ok ? ths chat supposed to b about both of us .. just us ..
Sekilas saja, ia merasa perutnya agak mual. Sudah jadi penganggukah dirinya ? Tanpa sadar, mengambil bagian dalam lakon kecil berjudul ‘Cinta Terlarang’ dimana ia menjadi perusak hubungan seseorang ?
Gadis itu meletakkan siku kanannya di atas meja lalu bertopang dagu. Memperhatikan kilasan di layar PC-nya sambil berfikir sebentar. Apa yang dilakukannya ini salah ya ? Hingga otaknya sendiri menklasifikasikan apa yang dilakukannya sebagai hal tak pantas. Apa karena penawan itu sudah berstatus ganda ? Dan ia tahu jelas pula siapa pendampingnya ? Pendamping yang muncul kelewat cepat sebelum ia mendapat momen yang tepat untuk menyatakan diri.
Ia mengetukkan jari tangannya. Lalu melirik cepat ke arah taskbar yang berkedip sekali.
Rio_Haling : Mai ? why dn’t u type sumthin’ ? r u day-dreaming ? about me, eh ? ;P
Masa bodohlah, putusnya sementara, jadi egois sebentar tidak apa-apa kan ? Malah mungkin seharusnya bukan ia yang disalahkan. Karena tanpa sadar mungkin kehadiran orang lain itulah yang kini memicunya untuk bergegas kembali. Berharap dapat merebut penawannya lagi. Menagih kepingan hatinya agar tidak terkontaminasi, dari zat kimia gadis lain yang bisa meracuni.
Sesungguhnya ia merasa sedikit jahat, Tapi ... Tak ada yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain kan ?
*
Shilla membuka matanya suatu pagi lalu entah kenapa menghela nafas panjang. Masih dalam posisi berbaring, gadis itu memejamkan mata lagi. Seperti berusaha menguatkan diri. Karena ia tahu hari ini akan terlewat seperti hari-hari kemarin.
Pasca penemuan itu, Shilla merasa hari-harinya hanya seperti hembusan nafas saja. Tertelan tanpa rasa. Semakin lama ia mencoba berpura-pura tak ada apa-apa, Shilla merasa ia semakin cocok masuk dalam daftar nominasi aktris film bergengsi.
Sambil menggerakkan diri untuk bangkit dari tempat tidur,Shilla berfikir sendiri. Kala ada frasa : Cinta tak harus memiliki, mungkin kini ia sedang menjalani kebalikannya. Memiliki tanpa cinta. Bukan berarti ia sedemikian pesimisnya, hingga berfikir Rio sudah tidak menyayanginya. Tapi, entahlah mungkin  Shilla begitu mengasihani dirinya sendiri, lantas merasa Rio masih mau disisinya saja sudah anugerah. Rasa sayangnya untuk Rio, mungkin sudah cukup banyak untuk mereka berdua.
Jangan kira Shilla tidak pernah berasumsi soal kehadiran sosok lain yang dikonversi dalam bentuk kotak jingga dan potongan chatting yang pernah dilihatnya itu. Bahkan berjuta pertanyaan tambahan langsung menyambar benaknya tanpa jeda. Darimana Rio mengenal sosok lain itu ? Sejak kapan mereka menjadi begitu dekat ? Seberapa kuatnya arti sosok itu hingga Rio berubah sedemikian parah ? Lantas, kapan ia akan mematenkan supremasinya dan memebuat Shilla tersingkir selamanya ?
Tapi berhubung pilihannya sendiri untuk bersikap segalanya baik-baik saja, pertanyaan itu langsung menghilang tanpa bekas. Shilla akhirnya (dengan kadar kepercayaan diri yang sudah menyusut sebesar biji sesawi) memutuskan untuk menikmati apa yang disebutnya sebagai ‘Hari hari terakhir’. Ia memaksimalkan waktunya untuk memandangi wajah Rio meski pemudanya itu kerap memalingkan muka. Shilla hanya tersenyum ganjil setiap Rio menampiknya seperti itu. Hatinya sudah patuh setiap diperintah untuk mengebalkan rasa sakit dengan tiga kata klise yang selalu diulanginya. Tidak. Apa. Apa.
Begitu desperatenya Shilla, hingga ia malah sudah repot-repot berlatih mempersiapkan mental jika ia terdepak nanti. Menyedihkan.
*
Pemuda itu terus berlari hingga akhirnya ia berhenti saat nafanya tertatih. Bukan karena lelah, tapi karena dua meter dari tempatnya berdiri disanalah ia. Kepingan hati yang selama ini ia cari.
Rio terpaku sesaat, lalu entah bagaimana sel otaknya bisa bekerja dan memerintahkan kakinya untuk berjalan maju, mendekati seorang gadis yang sedang duduk dan terisak dalam tangkupan tangannya sendiri di depan ruang ICU. Di tangan gadis itu, sebuah rantai berbandul tutup gabus berayun-ayun maju-mundur. Menalu-nalu jantung Rio. Itu potongan kisah yang tersisa. Penutup botol pasir perangkap masa kecilnya.
Teka-teki itu. A. S. U. Alysa Saufika Umari. Ify. Mai. Betapa bodohnya pemuda itu hingga ia tak sadar bahwa selama ini ia memanggil gadis kecilnya dengan nama keluarga.
Rio terus berjalan tanpa kesadaran yang membayangi. yang ia tahu, tetap satu, disana adalah Mai, bukan Ify. dan ia tak mau kehilangan sosok itu lagi.
Semua terasa seperti potongan gambar yang bertumpang tindih, bergerak terlalu cepat hingga Shilla tak mampu menangkapnya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. tubuhnya kaku, tenggorokannya seperti dijejali pasir. Dan saat akhirnya dimensi waktu kembali bergulir sealur porosnya, Shilla merasa bumi melesaknya masuk ke dalam gorong-gorong tanah.
Rio berdiri tepat di depan Ify. Pemuda itu terpana saat gadis di hadapannya mengangkat wajah dan dengan ragu, berdiri di depannya. Gadis kecilnya. Dan karena detik tak mau lagi menunggu, Rio menarik Ify ke dalam rengkuhannya.
Tak ada lagi omong kosong tentang matahari dan udara. Bahkan sesaat, Rio pun lupa siapa namanya. Inderanya hanya merasakan satu hal yang nyata. Gadis pembawa rantai kepingan hati yang kini menangis gemetar dalam kungkungan lenganya.
Saat Rio mengusap rambut lurus Ify pelan, kerinduan itu menyeruak disana. Mengisi setiap sela kosong di udara. Membebat keduanya dengan selubung reaksi kuat tak kasatmata. Dekapan itu seakan bercahaya. Menyorot kedua anak manusia yang bertaut seakan hanya ada mereka. Meredupkan segala sesuatu di sekitarnya. Termasuk gadis lain yang masih tak mengerti tak juga percaya. Shilla ternganga.
Ia tak tahu bahwa saat hati seseorang patah, lukanya bisa tertoreh seperih ini.
*
Dua pesan singkat siang itu. Sinyal pemberitahuan tentang akhir waktu. Yang sesungguhnya ia sudah tahu. Yang membuatnya sedari kemarin tersenyum meyakinkan. Tersenyum menyembunyikan (torehan dan kemunafikan). Tersenyum (sudah siap) merelakan.

From : Ify
Please .. Stay away from him. I. Beg. You.

To : Rio
Aku mau bicara sesuatu. Di rumah pohon. Sore ini. Hope will see you there =)

Setelah itu, Shilla mematikan ponselnya.

Detak dan detik berkejaran, tertinggal lantas menghilang. Shilla bergerak meluruskan satu kaki lantas menumpukan dagu pada lutut kaki lainnya yang menekuk. Entah ini sudah pose keberapa yang dipasangnya sedari tadi.

Gadis itu mendesah, lalu menyandarkan diri pada rangka meja kayu di belakangnya , melongok ke arah jendela yang terbuka, memperhatikan langit mulai bergradasi dari semburat jingga dan nila menuju pekat hitam kebiruan.

Shilla menggigit bibir, menarik lutut yang tadi ia luruskan lalu memeluk keduanya dan membenamkan kepala di antara sela mereka. Ia memandangi jari kakinya, lantas membiarkan matanya menelusuri balok-balok kayu pada lantai, terus menjelajah hingga fokusnya kini tertumbuk pada sisi dinding di seberangnya. Pada galeri kotak kaca aurora itu. Yang dulu.

Gadis itu tersenyum miris.

Shilla masih ingat semuanya. Format keabuan yang tersuguhkan, perapian listrik yang terus meretih gelisah, lilin lilin pemberi jawaban itu. Disini.

Shilla masih ingat ocehan sok tahunya soal teori Light Pollution itu, tentang pilihan hatinya. Dendang tawa ejekan Rio saat ia terlalu ketakutan akan di apa apakan. Disini. Di rumah pohon ini.

Dan kenapa segalanya harus berubah begitu cepat ? Bahkan apa yang belum sempat terucap terlalu kilat terlewat. Gadis itu merogoh kantongnya, lalu menimang ponsel yang baru ia raih. Ada alasan kenapa ia menonaktifkan benda itu. Karena ia tak mau mendapat balasan pesan penolakan, sebelum ia sempat berjuang. Ia tak mau mundur, sebelum menunggu. Karena penghabisan waktu sudah mengetuk pintu, Shilla tahu itu. Dan gadis itu pun tahu, sesungguhnya ia bukan orang yang terlalu pandai membohongi diri sendiri. Dan hanya sampai disini kapasitasnya untuk berlagak munafik dan tak tersakiti.

Akhirnya Shilla mendesah dan menghidupkan benda elektronik dalam genggamannya. Benar saja. Sebuah tanda pesan baru langsung menandak dalam layar begitu ponselnya telah merampungkan proses pengaktifan.

From : Rio
Harus menemani Mai hari ini. Maaf.

Shilla tersenyum tipis, lalu menggeleng sendiri. Tentu, tentu. Ia akan memaafkan Rio. Ia takkan pernah menyalahkan Ify juga. Tak ada yang salah di cerita ini. Tak ada. Selain dirinya.

Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tersenyum sarkatis. Percaya atau tidak, ia menghidupkan lilin-lilin itu lagi. Membentuk formasi setengah lingkaran tak beralas seperti yang pernah terjadi.

Shilla menarik nafas, kali ini tersenyum berserah. Ia berdiri dan berjingkat pelan, meniupi lilin-lilin itu hingga tinggal satu yang tersisa menyala. Gadis itu berjalan lagi, bergerak mencongkel bukaan pintu rumah pohon dan mulai menuruni tangga tali. Membiarkan lilin terakhir padam terbawa angin petang, seperti harapan naifnya bahwa semua akan baik-baik saja yang berangsur pudar.

*
Angkutan umum itu sepi, Rio melepas tangan Shilla lalu mendorong gadis itu untuk duduk di pojok angkutan, diikuti dirinya. Dengan fasih, Shilla mengambil tas rotan dan kresek lain yang masih digenggam Rio lalu menaruh semua itu di dekat kakinya.

Tak ada suara ketika angkutan mulai berjalan selain lagu dangdut sayup dan batuk parau sang sopir. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Rio dan Shilla bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan kayu manis itu untuk saling bertukar.

Shilla menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan Rio menggenggam jemarinya. Sesaat, Shilla merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Rio dan waktu yan seakan tak pernah berlalu.

Seandainya Shilla bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang menyelinap saat gadis itu melihat Rio memejamkan mata, sambil merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.

Shilla tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Rio erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.
Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.

Shilla tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Rio. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.

"Cheating MUCH ?!" (CUKUP selingkuhnya ?!)

Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Rio dan Shilla bergerak memasuki dapur melalui lorong garasi sambil tertawa berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di pasar tadi.

Rio terkesiap, sekejap menjatuhkan tas rotannya "Mai ?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Ify yang bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.

"Ga usah !" seru Ify menjauhi lengan Rio, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.

"Mai, dengerin gue .." ujar Rio pelan, berusaha meraih gadis itu.

"Kamu bilang," ucap Ify sambil berjalan mundur dan menuding Rio "kamu ga mau bikin aku nangis di depan kamu lagi ! Tapi sekarang ?! Malah kamu sama dia ..." gadis itu ganti menuding Shilla yang diam mematung.

"Dan elo," kata Ify kalap sambil berjalan mendekati rivalnya "i said. STAY. AWAY. FROM. HIM ! Isn't CLEAR MUCH ? Don't you know i need him ? More than you do !" gadis itu memainkan dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia mendesis.

"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice versa. So, let him go ! CAN'T YOU ?!" (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang ga bisa dihindari. Gue milik dia, dan sebaliknya. Lepasin dia ! GA BISA ?!) kecemburuan buta membuat Ify seakan akan dengan pongah mendahului nasib.

"Mai .." Rio merengkuh bahu Ify yang berguncang dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak menyangka gadis itu akan semeledak ini. Rio tak tega melihatnya.

"Mai," panggilnya pelan, menenangkan "Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa." Rio menatap Shilla sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Mai-nya menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja terpeta tak lama ini.

"Dia bukan siapa-siapa." ulang pemuda itu "Dia cuma .." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Rio lagi.

Pemuda itu memandang Shilla tajam, memuntahkan kata katanya ".. cuma masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga."

*

Lalu inilah. Akhir dari segala akhir.

Sesungguhnya, Shilla tak seberapa terganggu dengan tragedi pagi tadi. Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar keputusannya semakin siap dipentalkan.

Shilla sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Rio hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu pagi tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.

Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Shilla pelatuk yang dilepas Rio pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.

Shilla memasuki kamar Rio tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan keputusannya kali ini.

Shilla memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Gabriel, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras sehabis ini.

Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti hati Shilla hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Shilla berdiri.

Dan disinilah Shilla, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.
Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.

Shilla melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya, siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.

Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar "Nyari gue ?"

Pertanyaan itu menyentak Shilla, menyadarkan Shilla bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa lagi.
Shilla menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya waktu yang terus berlalu.

"Mau berdiri di situ sampai kapan ?"

Shilla mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Rio menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.

Shilla menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.

"Sebentar lagi saja," jawab gadis itu telak, membuat Rio diam-diam tersentak.

Tiga ujaran penghambat keputusan Shilla kala itu. Tujuh silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Shilla, bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.

Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di rumah pohon tempo hari.

"Kamu tahu ? Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa tujuannya,"

Shilla menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan yang memeluknya hingga ke tulang.

Dengan ulu hati tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan. "Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak .. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu ... begitulah kita."

Shilla menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka.

Dufan. Hujan. Kenangan.

Muara Baru. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.

Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan.

Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.
Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Shilla. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.

Shilla menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.

"Karena bintang dalam masa lalu itu pun sudah tidak ada. Entah sudah betul-betul mati menjadi nebula atau hanya cahayanya yang meredup berbeda. Penerima kata itu sudah tak bisa lagi menemukan bintang yang dipilihnya dulu."
Shilla mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Rio, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih "Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus dikenang, terimakasih ... Karena kamu sudah pernah ada."

Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Shilla menyusupkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Rio dari belakang dan membenamkan wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.

Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.

Shilla tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan.

Dan bahwa takkan ada lagi alasan pembantahan.

Shilla menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.

Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya, lalu berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.

Shilla mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.

"Shilla ?"

Gadis itu menoleh melihat Gabriel berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan "Sudah selesai ?"

*

Iya Bang Gabrieel udah selesei !

Aaah gilaaaak suka banget sama novel satu ini. Kenapa tiba-tiba kangen mba Janice yaa :3 terimakasih mba Janice sudah pernah tulis cerita keren ini. Yang penasaran sama kisah lengkap diatas mari beli buku nya mba Jan yang judulnnya LOVE COMMAND *LHAA MALAH PROMOSI HAHAHA*




Pokoknya ini keren, dari awal sampe akhir. Kata-katanya itu looo.. nyecep ampe ke ulu hati :”D seakan nyata. ah yaa… kan aku lagi ngerasain jadi Shilla pantesan deh……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar