Hi, everyone. Here is my very first
short story in 2014. Cerpen ini
merupakan sekuel dari cerpen aku sebelumnya yang berjudul Swear It Again, tentang Naila dan
Tristan yang menjalani hubungan jarak jauh. Bagi yang belum membacanya, bisa
membacanya di sini
Cukup dengan preambulnya. Sekarang,
ayo, duduk yang manis di depan komputer atau laptop, atau berbaring yang nyaman
menghadap ponsel, tarik napas dan... selamat membaca!
---
Empty
“You made me believe that we could go
through all this long distance relationship stuff. But, now you say we can’t.
It’s just like you give me a hope and then you take it away from me.And, that’s hurting me.”
***
Minggu, 1 Desember
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: It’s snowing
here!
Cuaca di sini mulai parah, Nai.
Dinginnya kebangetan. Kamu masih ingat waktu kita pergi ke rumah es di Sun
Plaza? Waktu itu, saking dinginnya kamu gak berhenti menggigil dan hidung kamu
jadi semerah tomat. Aku masih ingat kamu terkena flu selama satu minggu penuh
sepulang dari rumah es itu. And, guess what? Udara di sini, tuh dua kali lipat
lebih dingin daripada di rumah es itu. Bisa kamu bayangin? Kalau kamu di sini
mungkin kamu bakal terserang flu sepanjang musim dingin. :D
Anyway, it’s snowing here! Salju pertamanya turun pagi ini.
Nih, aku kirimin foto perkarangan asrama aku yang diselimuti salju. You may not like coldness, but I know you love
snow as much as you love me. Right? :P
Miss you sooooooooooo much. Wish you
were here.
P. S : omong-omong soal flu, mama
kamu udah sembuh dari flu?
Senin, 2 Desember
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: Re: It’s snowing
here!
Mama udah sehat, Tan. Kamu dapat
salam, tuh dari Mama. Katanya, beliau kangen ngobrol sama kamu. :)
Anyway, makasih, ya fotonya. Aku
suka banget! You know, I
always feel there is something magical about snow. White, tender, looks weak,
but beautiful. Aneh gak, sih, Tan kalau aku segitu sukanya sama
salju padahal aku belum pernah benar-benar ngeliat dan ngerasain salju? Duh,
jadi pengen pergi ke sana dan ngeliat salju yang sebenarnya. :(
Tan, would you take me there someday when it’s
snowing?
Kamis, 19 Desember
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: <No
subject>
Nay, kenapa gak angkat telepon aku?
Kamu masih marah karena aku lupa tanggal jadian kita? Nay, aku, kan udah
jelasin kalau aku lupa karena aku disibukkan sama ujian. Please, understand me.
Jumat, 20 Desember
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: <No
subject>
Aku marah bukan cuma karena kamu
lupa tanggal jadian kita, tapi karena kamu juga gak ngasih aku kabar selama
satu minggu penuh. Kalau kamu memang sibuk ujian, setidaknya kamu bisa
kasih tahu aku. Jadi, aku gak perlu habisin waktuku cuma untuk mikirin
kemungkinan ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.
Jumat, 20 Desember
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: Sorry
Okay, I’m sorry. From now on, I
promise I will call you minimum once three days, no matter what. Are you
satisfied now?
Rabu, 2 Januari
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: What’s wrong with
you?
Sekarang apa lagi, Nay? Kenapa kamu
gak angkat telepon aku? Just what’s wrong
with you?
Rabu, 2 Januari
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: Re: What’s wrong
with you?
What’s wrong with me? There is
nothing wrong with me except I was waiting for your new year call like an idiot
while you were having fun with your friends at some new year party. Yeah, I
know that from the photos you uploaded on Facebook.
Actually, the question must be:
what’s wrong with you? Why do I feel like you always forget me lately?
Rabu, 2 Januari
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: I’m sorry
I’m sorry, Nay. The fact is my phone
was broken at that time. So, I couldn’t call you. And I thought I would call
you tomorrow. I’m sorry. I didn’t mean to forget you.
Minggu, 27 Januari
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: <No
subject>
Maaf, Nai. Aku gak bermaksud kasar
waktu aku nutup telepon secara sepihak. Aku cuma gak ingin memperburuk keadaan.
Karena aku dan kamu tahu kalau kita terusin pembicaraan kita tadi, kita hanya
akan terus bertengkar. Dan, aku gak mau itu.
Minggu, 27 Januari
From
: Tristan Wiandra
To
: Naila Aurora
Subject
: <No
subject>
I’m sorry, Nai. Aku janji gak bakal nutup
telepon secara sepihak seperti tadi lagi.
Jumat, 1 Maret
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: <No
subject>
Tan, kenapa kamu gak angkat telepon
aku? Lagi sibuk, ya?
Senin, 4 Maret
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: <No
subject>
Tan, kamu kenapa, sih? Sesibuk
itukah kamu sampai-sampai gak bisa angkat telepon atau minimal balas email aku?
Jumat, 8 Maret
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: How are you?
I still remember you ever promised
me to give me a call once three days, no matter what. But, now it’s been a week
and you don’t even give me a single call.
Just how are you there?
Rabu, 13 Maret
From
: Naila Aurora
To
: Tristan Wiandra
Subject
: I miss you
It’s almost been two weeks without
any news of you. Is there something bad happened to you? Please call me or at
least reply this email, so I can know you are all alright. I miss you, Tan.
***
Angkat dong, Tan. Angkat.
Berulang kali Naila merapalkan kalimat itu dalam hati selagi ia menunggu
panggilannya dijawab. Lima detik berlalu dan semua yang ia dengan masih nada
tunggu monoton itu. Naila mulai berjalan mondar-mandir dalam kamarnya.
Tangannya yang bebas basah dan terkepal erat.
Tan, angkat.
Namun, ketika akhirnya suara Tristan menjawab panggilan, Naila justru tersenyum
kecut. Kepalan tangannya terurai dan tergantung lemah, seolah-olah ia baru saja
kehilangan sebagian besar tenaganya dalam waktu sepersekian detik.
Paradoks, batinnya getir.
Saat ini, selama dua minggu ini, ia
begitu merindukan suara Tristan. Tapi, mendengar suara Tristan di ujung sana
malah membuatnya merasakan ada sesuatu dalam tubuhnya yang baru saja mencelus.
Hi, it’s me, Tristan. I’m sorry I
can’t answer your call right now. Please leave me a message.
Satu desahan berat keluar dari mulut
Naila.
Bukan. Bukan suara Tristan yang seperti ini yang ingin Naila dengar. Bukan
suara Tristan yang otomatis terdengar ketika pria itu tidak bisa menjawab
telepon. Bukan pula suara Tristan yang direkam dan menggumamkan kalimat yang
itu-itu saja.
Tapi, suara Tristan yang berbincang kepadanya. Yang menggodanya. Yang bercanda
dan tertawa.
Satu desahan lagi dan tubuh Naila pun merosot ke tepi tempat tidurnya. Selama
beberapa saat ia terdiam sambil menggigiti bibir bawahnya. Kemudian, diawali
dengan satu tetesan air mata, ia meninggalkan pesan itu. Pesan yang sama
seperti yang ia tinggalkan kemarin dan kemarinnya lagi. Pesan yang selama dua
minggu ini tidak mendapatkan balasan apa pun.
“It’s
me, Naila. Please call me back soon. Or reply my email. It’s been two weeks,
Tan. Two weeks since our last call. I...”
“I miss
you...”
***
“Tristan, kamu ke mana aja, sih?”
Suara Naila menerjang telinga Tristan bahkan sebelum pria itu sempat
mengucapkan ‘halo’. Tristan tersenyum tipis, lalu membuka mulut. Tetapi, sekali
kali, sebelum ia sempat mengucapkan apa-apa, suara Naila kembali terdengar.
“Ditelepon gak diangkat. Email gak dibalas,” cerocos Naila.
Tristan berdiri di dekat jendela kaca besar kamar asramanya. Matanya
memperhatikan lapangan basket di dekat gerbang masuk asrama. Lapangan itu
tadinya ramai. Namun, sejak beberapa jam yang sudah ditinggali oleh anak-anak
asrama demi menonton pertandingan sepak bola. Sekarang lapangan itu kosong dan
remang-remang, cuma diterangi oleh sebuah lampu sorot yang mengarah langsung ke
tengah lapangan. Bungkus-bungkus makanan ringan dan bekas botol air mineral
berserakan di tepi lapangan. Ada satu bola basket yang tertinggal di sana.
“Maaf, Nai,” ucap Tristan menyesal. “Aku sibuk banget belakangan ini.”
“Setidaknya, kan kamu bisa balas email aku. Sesibuk apa, sih kamu sampai gak
bisa balas email? Berapa lama, sih waktu yang dibutuhin untuk balas email?
Paling cuma lima menit.”
Senyum Tristan memudar. Ia terdiam sebentar, berusaha tidak terpengaruh oleh
nada ketus Naila. Kemudian dengan satu tarikan napas, Tristan berkata, “I said I was
sorry.”
“As if
sorry is just enough,” balas Naila datar. “Kamu gak tahu, kan
betapa cemasnya aku di sini. Dua minggu, Tan! Dua minggu kamu gak ada kabar.
Aku kira kamu kenapa-kenapa di Argentina sana. Aku kira kamu sakit atau
kecelakaan atau apa pun itu dan kamu terlalu buruk untuk kasih kabar ke aku
atau ke siapa pun. Kamu gak tahu, kan betapa buruknya mood aku belakangan ini? Aku sampai ditegur
dosen gara-gara gak konsen di kelas, dimarahi Papa gara-gara nilaiku merosot.”
“Kok kamu jadi salahin aku, sih?” balas Tristan tidak terima. “Nilai kamu
merosot, kan karena kamu sendiri. Aku paling gak suka saat kamu mulai
menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri.”
“Nilaiku merosot, kan gara-gara kamu gak ada kabar. Aku jadi cemas. Pikiranku
melayang ke mana-mana. Aku jadi gak konsen belajar. Dan, kalau kamu lupa, kamu
sendiri yang janji bakal kasih aku kabar minimal tiga hari sekali, sesibuk apa
pun kamu. Aku paling gak suka pria yang ingkar janji!”
“Aku...” Tristan berhenti dengan tiba-tiba, sadar kalau ia meneruskannya,
suaranya akan mengeras dan meninggi. Dan, pertengkaran itu akan terjadi lagi.
Ia tidak mau bertengkar. Saat ini ia sudah terlalu lelah untuk bertengkar.
Tristan mengalihkan pandangannya dari luar jendela ke Rossaline yang sedang
duduk di atas lantai, menghadap meja lipat yang diletakkan di dekat kaki
ranjang. Tristan yakin sebelum ini Rossaline tengah sibuk mengerjakan tugas
kelompok mereka. Tapi, mungkin karena mendengar suara Tristan yang tadi nyaris
meninggi, gadis itu kini menatap Tristan sambil mengangkat alis.
Tristan tersenyum kecil dan menggeleng pelan, isyarat agar Rossaline
mengabaikannya. Kemudian Tristan kembali pada Naila.
“Okay,
I’m sorry,” ucap Tristan tidak tulus.
“Don’t
say you are sorry if you don’t really mean it!”
Tristan mendesah dan memijit pelipisnya sebentar. Ia merasa tertekan. Tertekan
karena harus mengejar deadline tugas kelompoknya. Tertekan karena
harus menghadapi Naila.
Pikiran itu membuat Tristan tertegun. Sejak kapan ia merasa tertekan menghadapi
Naila?
Tristan menggeleng pelan, berupaya menjernihkan pikirannya. Dengan nada
mengalah, tanyanya kemudian, “Jadi, sekarang mau kamu apa?”
“Mau aku...”
Tristan tidak begitu menyimak apa yang dikatakan Naila karena saat itu
Rossaline bertanya kepadanya.
“Tristan, do you have any
pen? Mine runs out of ink.”
Tristan menjauhkan ponselnya dari telinga. “I think I have one in that drawer.”
Rossaline bangkit berdiri dan berjalan menuju meja belajar Tristan. Ditunjuknya
salah satu laci.
“No,
not that one. Beside it.”
Rossaline menunjuk laci di sebelahnya. “This?” tanyanya memastikan.
Tristan mengangguk. Kemudian Tristan mendekatkan ponselnya kembali ke telinga
dan berkata, “ Sorry, Nai. What
did you say?”
“Kamu lagi di mana?” tanya Naila curiga.
“Hah?”
“Kamu lagi di mana?” Naila mengulangi.
Tristan melihat Rossaline menunjukkan pen yang baru ia keluarkan dari laci dan
mengucapkan ‘thanks’ tanpa suara. Tristan mengangguk dan Rossaline kembali
sibuk mengerjakan tugas.
“Aku lagi di kamar.”
“Kamar?”
“Kamar asramaku,” Tristan memperjelas. “Kenapa?”
“Kenapa?!” sembur Naila. “Ada cewek di kamarmu dan kamu masih nanya kenapa?!”
“Nai, kami cuma ngerjain tugas kelompok.”
“Di kamar?”
“Ruang rekreasi asrama lagi dipakai anak-anak buat nonton bola.”
“Jam sepuluh malam?”
“Kami lagi ngejar deadline,
Nai.”
“Berdua?”
“Jangan mulai, deh, Nai...”
“Well,
sekarang aku tahu sibuk seperti apa yang kamu maksud tadi,” tandas Naila
dingin.
“Are
you jealous?”
“Aren’t
I?”
“We are
just classmate. Nothing more.”
“Ya. Dan, kita dulunya juga cuma teman sekelas.”
Tristan membuang napas dengan kasar. “Now, you sound so childish.”
“Childish?!”
pekik Nayla tidak percaya. “I’m jealous because there is a girl in my boyfriend’s room at 10 PM
and you said it was childish? Now, you tell me what the mature thing is? Let a
boy in my room at 10 PM?”
Rahang Tristan mulai mengeras. Pelipisnya berdenyut-denyut dan tengkuknya
terasa dua kali lebih berat dari sebelumnya.
“Udah, deh, Nai,” ujar Tristan lelah. “Aku lagi gak pengen bertengkar sama
kamu. Aku gak pengen percakapan ini ditutup dengan pertengkaran dan
ujung-ujungnya aku lagi yang mesti minta maaf ke kamu.”
“Jadi, sekarang kamu mulai perhitungan?”
Tristan mengusap wajah dan menyisir rambutnya ke belakang dengan satu gerakan.
“Nai, please...” Tristan
memohon. “I
really don’t want to fight with you. My task already wore me out. I feel tired.
I’m stressed out. Aku telepon kamu karena aku pikir kamu bisa hibur
aku.”
“Oh, kamu telepon aku karena kamu pengen cari hiburan? Bukan karena kamu peduli
sama aku dan email-email aku yang gak kamu balas?”
“You
are so childish!” sembur Tristan.
“Ya, aku memang kekanakan!” Naila menyembur balik. “Dan, aku gak bisa kasih
kamu hiburan karena aku bukan tempat hiburan. Mungkin cewek centil di kamarmu
itu lebih dewasa dan bisa kasih kamu sedikit hiburan.”
Tanggul kesabaran Tristan akhirnya benar-benar runtuh. “Nai, jaga bicara
kamu!” bentaknya.
Rossaline mengangkat kepalanya dengan satu sentakan cepat, menatap Tristan
dengan raut wajah kaget. Tristan mengulas senyum minta maaf, lalu menunjuk ke
arah pintu dan berucap tanpa suara: would you?
Rossaline mengangguk mengerti, kemudian berdiri dan beranjak menuju pintu. Di
ambang pintu, kepada Tristan, gadis itu meletakkan tangannya di depan dada,
memberikan isyarat agar Tristan bersabar. Lalu gadis itu berlalu keluar.
Kamar Tristan tiba-tiba menjadi hening tanpa suara pen Rossaline yang beradu
dengan meja dan gemeresak-gemeresak kertas. Dan, di tengah keheningan seperti
ini, Tristan bisa mendengar dengan jelas ada getaran asing yang menyelip ke
dalam suara Naila.
“Tan, you... You never shout at me even when we had our
worst fight. And, now you shout at me for a girl that you say is just your
classmate?”
“Aku ngebentak kamu bukan untuk belain dia, tapi karena kamu udah keterlaluan.”
Hening selama beberapa saat.
Kemudian Naila berujar dengan setengah suara, “You have changed, Tan.
Dulu kamu selalu bisa sabar hadapin aku yang katamu kekanakan. Kamu bahkan gak
pernah bicara dengan nada tinggi ke aku. Tapi, belakangan ini kamu gampang
banget emosi. Kamu jadi sering gunain nada tinggi ke aku.” Naila terdiam
sejenak. “You
have changed so much that I feel like I don’t even know you anymore.”
Tristan terdiam. Ia memejamkan kedua matanya dengan lelah. Ketika ia membuka
matanya kembali dan menarik napas panjang, dalam tekanan suara yang datar, ia
mengaku, “Me
too.”
Ada sensasi yang menjalari setiap senti tubuhnya setelah Tristan mengucapkan
dua kata itu. Sebuah sensasi yang melegakan, seperti ada beban berat yang baru
diangkat dari pundaknya. Tiba-tiba Tristan teringat pada perkataan Rossaline
beberapa minggu yang lalu, saat ia menceritakan tentang hubungannya dengan
Naila dan pertengkaran-pertengkaran yang mewarnainya belakangan ini.
Sometimes, when you can’t hold on
anymore, all you have to do is just letting it go.
Mungkin Rossaline benar. Mungkin hubungan ini sudah sampai pada titik yang
tidak sehat untuk dipertahankan. Mungkin selama ini ia sudah tahu itu, namun ia
terlalu takut untuk mengakuinya. Dan, ketakutan itu justru membuatnya tertekan.
Mungkin... ini saatnya.
“Dan, aku rasa aku gak bisa jalani hubungan dengan orang yang gak aku kenal
lagi,” gumam Tristan kemudian.
“Wh-what
do you mean?” Naila terbata.
Tristan memandang keluar jendela, kembali memperhatikan lapangan basket yang
sepi. Ia menatap lampu sorot yang menyala di sana. Suaranya terdengar setengah
melamun saat ia bertanya, “Nai, do you ever think
that maybe... maybe they are right?”
“About
what?” Naila balas bertanya dengan defensif.
Tristan mengulum bibirnya. “About this long distance relationship. That it’s almost impossible
to maintain.”
“Tan, j-just what do you mean?”
Jantung Tristan mulai berdebar kencang. Dadanya terasa semakin penuh seiring
dengan setiap kata yang ia tuturkan setelahnya.
“I
mean... perhaps we need space and time to think over again. About this. About
us. About our relationship.” Tristan berhenti sebentar untuk
mengatur napas, lantas meneruskan, “Kita gak bisa terus-terusan bertengkar
setiap kita teleponan. Ini gak sehat, Nai.”
“Are
you breaking up with me?” desis Naila.
“Nai,
listen to me,” kata Tristan lembut. “Aku ingat aku pernah bilang ke
kamu kalau kita bisa membina hubungan ini asalkan kita mau berusaha. Dan, ya,
kita memang berusaha. Tapi, kita harus mengakui kalau semua ini sangat
melelahkan. Karena... karena mungkin kita berusaha terlalu keras. Mungkin kita terlalu
gengsi untuk mengakui kalau kita tidak bisa. Mungkin kita terlalu ingin
mempertahankan hubungan ini. Dan, tanpa sadar kita justru jadi saling
menyakiti. Jadi, aku pikir mungkin...”
“Wait a
minute,” potong Naila. Kemudian dengan suara yang pecah, ia
bertanya, “Are
you breaking up with me?”
“I just
give us space and time to think.”
“Oh my
God!”cicit Naila.
“Nai, listen to me. This is not really a
break up. We just set each other free to think.”
“But,
this totally sounds like break up to me.”
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara. Yang terdengar hanyalah suara
napas masing-masing yang terdengar tidak teratur.
“It’s
been more than a year, Tan.” Naila mulai terisak. Dan, mendengar
gadis itu terisak membuat Tristan sakit. “Why can’t we survive for another year?”
Dengan berat, Tristan menjawab, “We both know it will not work out.”
“But,
you said we would survive.”
“Nai...”
“You
said we would prove that this relationship deserves to sustain.”
Tristan menyandarkan tubuhnya ke dinding, seolah-olah sebagian besar tenaganya
telah menguap dalam beberapa menit terakhir. “Nai, please...”
“Why
can’t we survive?” ulang Naila, kali ini dengan nada mengiba dan
putus asa yang membuat seluruh tulang Tristan melunak seketika.
Dan, apa yang terjadi selanjutnya merupakan salah satu momen paling menyakitkan
yang pernah Tristan lewati: mendengar Naila menangis.
Ini pertama kalinya Tristan mendengar Naila menangis. Dan, kesadaran bahwa ia
pernah berjanji tidak akan membuat Naila menangis, kesadaran bahwa justru
sekarang ia yang membuat Naila menangis membuat Tristan merasa telah menjadi
laki-laki paling berengsek di dunia.
Butuh usaha yang besar bagi Tristan untuk bertahan dari berbagai macam perasaan
menyesakkan yang mengobrak-abrik dadanya. Ia terdengar selemah ranting kering
ketika ia menjawab, “I can’t. You can’t either. We just can’t anymore. If we keep going
on, it will just be hurting us. And, I don’t want to hurt you.”
“You
are hurting me right now,” tandas Naila. Naila berusaha
menghentikan tangisnya, namun tidak bisa. “You... you made me believe that we could go
through all this long distance relationship stuff. But, now you say we can’t.
It’s just like you give me a hope and then you take it away from me. And, that’s hurting me.”
Tristan tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini bukan hanya menyakiti Naila,
tapi juga dirinya sendiri.
“I’m
sorry...”
Tristan menelan ludahnya. Bahkan menelan ludah pun kini terasa sulit dan
menyakitkan.
“One
day...” Tristan memulai, “when I come back, when we’re done thinking, and
if we are meant to be together, then we will be together.”
Naila tidak menjawab.
“Nai, kamu dengar aku?”
Naila masih tidak menjawab.
“Nai, aku sayang kamu...”
“Don’t
you dare!” salak Naila. “Don’t you dare say you love me when you just
broke my heart.”
“I
don’t mean...”
“I hate
you, Tristan!” sembur Naila marah. “I hate you!”
Dari ujung sambungan Tristan mendengar suara gedebuk keras. Ponsel yang
dilempar, mungkin. Dan, kenyataan bahwa ponsel itu masih hidup begitu menyiksa
Tristan. Sebab, lewat ponsel yang baru dicampakkan itu, Tristan bisa mendengar
suara tangisan Naila yang kini hampir terdengar seperti raungan.
Tidak sanggup mendengar lebih lama lagi, Tristan pun menekan tombol merah di
ponselnya. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke atas lantai. Kedua tangannya
terkulai lemas. Ia menatap lantai dengan muram dan baru sadar kalau matanya
penuh oleh air mata. Ia berkedip sekali dan air matanya pun menetes.
“Shit,”
makinya.
Dari dulu ia paling tidak suka menangis. Menurutnya, laki-laki itu harus kuat.
Menurutnya, menangis itu cuma untuk orang-orang lemah.
Namun...
“Shit,”
makinya sekali lagi saat air matanya tidak mau berhenti.
Ia tidak pernah menyangka kalau kehilangan ternyata bisa semenyakitkan ini.
Tried to take a picture of love
Didn't think I'd miss her that much
I want to fill this new frame
But, it's empty
Tried to write a letter in ink
It's been getting better I think
I got a piece of paper
But, it's empty
It's empty
Maybe we're trying
Trying too hard
Maybe we're torn apart
Maybe the timing
Is beating our hearts
We're empty
(The Click Five - Empty)
Selesai
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar