Ada hal yang lagi-lagi ingin aku sampaian entah pada
siapa. Yang menganggu fikiranku, yang membuat hatiku selalu menunggu.
Entahlah mungkin karena seberkas cahaya yang sempat
di tinggalkan edelweiss setahun lalu dan kini ku temukan kembali dan mulai -lagi-
menerangi bagian utama dari ruangan kursial
itu, ruangan itu layak disebut hati.
*
Baiklah...
Edelweiss, aku ingin berterimakasih padamu. Mungkin
ini tidak akan berarti apapun, tentu saja. Karena bagi mu, aku –yakin- bukanlah
apapun.
Edelweiss, tau kah kau ? setelah waktu meninggalkan
batas yang semakin panjang, membentang jarak yang semakin jauh, aku pernah berusaha
untuk tidak lagi melihat jejakmu, berusaha mencari langkah lain untuk ku ikuti,
dan aku sempat menemukannya, ya aku akui. Pernah.
Aku pernah tertawa bersamanya, seperti dulu yang
selalu kau lakukan padaku, ia seseorang yang ada pada bulan ke sepuluh bumi
mengelilingi matahari, sebut saja ia : pelangi musim hujan. ia seseorang dengan
binar mata seperti oasis di padang pasir, menyegarkan, ia selalu berkata yang
menyenangkan, ia selalu bertingkah dengan keceriaan seorang bocah. Dan tanpa
sadar aku memaksakan puzzle lain terpasang di bongkahan hati yang kau
tinggalkan ini.
Namun pada akhirnya aku harus menelan pil pahit bahwa
sesungguhnya pelangi itu masih ‘hidup’ di dunianya yang dulu, bersama seseorang
yang bukan aku.
Lalu setelahnya aku buta arah lagi, kabut mulai
terlihat dimana-mana seperti saat kau pergi, ah sesungguhnya kau tidak pernah
tinggal, kau hanya beristirahat dan bersedia membiarkanku menatapmu dari dekat,
dan saat kau melangkah lebih cepat dan aku tertinggal, maka aku merasa kau
meninggalkanku, tapi pada nyatanya tidak. Dan saat itu aku terus berusaha lari
darimu.
Ya, saat itu aku tidak ingin menatap jejak yang
jelas-jelas masih tertinggal, aku mencoba berjalan ke arah lain, hingga saat
itu aku bertemu dengannya. Ia aurora, cahaya kutub utara. Indah dan
menghanyutkan. ia memiliki talenta yang sama denganmu, bermusik. Namun kau tahu
? entah mengapa aku masih menganggapmu yang terbaik.
Tertanya bongkahan pazel yang hilang itu hampir sama
dengan milik aurora, sama-sama memerlukan seseorang. aku mencoba menempatkan puzzle itu di sana,
tapi tidak berhasil, ia lepas bahkan sebelum aku menyetuhnya, dan saat itu aku baru menyadari, aurora itu
akan tetap di langit, ia tak mungkin turun dan merengkuhku, jelas sekali ia
tengah menunggu seseorang, cahayanya terpulas indah diatas cakrawala, namun
bukan untukku. Bukan aku lagi.
Edelweiss, aku tetap mencoba membutakan mataku,
menulikan telingaku, aku tidak tahu mengapa, walaupun pada dasarnya aku
membutuhkanmu, walaupun pada hakikatnya aku bahagia meski hanya dengan
menatapmu.
Dan saat ini, aku memberanikan diri untuk melihat lagi
jejakmu, menatap secercah cahaya yang kau tinggalkan, menggenggam bagian
bongkahan pazel yang pernah terisi, memberanikan hatiku untuk mengingatmu lagi.
Edelweiss, aku ingin berterimakasih karena sampai saat ini kau masih
mengijinkanku melakukan hal ini. Kau adiksiku dulu hingga sekarang.
Dan saat ini, aku teringat banyak hal, walau semua
itu aku yakin tidak didasari untuku, walau semua itu tidak pernah berhubungan
dengan ku, tapi secara tidak sadar aku menganggapnya, itu untuku. Ah egois
sekali bukan ?
Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi seseorang yang
begitu mementingkan diri sendiri, ah ya mungkin semenjak dua bening dingin
milikmu menantang lensaku, membekukannya, sehingga tercipta satu puzzle permulaan
yang sangat berharga.
Lalu puzzle berikutnya, saat senyum itu tersungging
di wajahmu, aku masih ingat, saat itu hari jumat, di bulan terakhir revolusi
bumi, di salah satu ruangan music. Iya mungkin itu kali pertama aku menemukan sisi
lain dari mu, Bukan sorot mata yang dingin, bukan senyum yang meremehkan, bukan
sikap tidak peduli, aku menemukan seorang Edelweiss dari sisi lain.
Dan hari-hari lainpun berlalu, seiring terkumpulnya
puzzle-puzzle yang semakin terlihat jelas bentuk aslinya, setiap hari kau
semakin meracuni udara, mengendap di paru-paruku hingga pada saat itu aku dapat
menyimpulkan, bahwa aku bernafas untukmu. Ah berlebihan sekali bukan ?
Aku ingat dari seluruh hal yang pernah terjadi, hal
yang paling membuat aku lupa akan kenyataan adalah, saat tanggal ke 10 di bulan
ke lima. Di hari ulang tahunmu. Kau tersenyum, di hadapanku. Kau tertawa,
di hadapanku, kau mengalunkan nada yang
membuatku hanyut. Menghapuskan semua batas yang sempat tercipta.
Namun sadar atau tidak, itu adalah kali pertama dan
terkhir. Mimpi yang sempat menjadi kenyataan sebelum kau pergi, dan menciptakan
jarak yang luar biasa jauhnya.
Biarpun begitu, Edelweiss, aku tetap berterimakasih. Karena
berkat kau aku bertemu banyak orang, mencoba banyak hal, bertemu aurora, dan
tertawa bersama pelangi.
Terimakasih karena membiarkanku mengejar jejakmu
lagi, memandangi mu walau tak sejelas dan sejeli dulu, mendekap lagi bongkahan
puzzle yang pernah hilang itu.
Kau memang membuatku jatuh, tapi dengan begitu aku
bisa bangkit dan berjalan di arah yang lain, kau membuat hatiku menangis
tersendu-sendu, namun dengan begitu aku bisa mencoba tersenyum, dan menatap
dunia dengan dua lensa milikku. Kau meninggalkanku, dan dengan begitu aku dapat
mensyukuri bagaimana rasanya memiliki hal luar biasa yang kita inginkan.
Sampai sekarang pun begitu, aku akan tetap
memandangmu dari kejauhan.
karena pada dasarnya, kau edelweiss, bunga yang hanya
tumbuh pada daerah pengunungan, yang jika seseorang ingin melihatnya ia harus
berkorban terlebih dahulu, yang jika seseorang ingin memilikinya maka harus di
tanam di tempat yang sesuai, bunga yang karakternya dingin, dan sulit di
rengkuh.
Karena pada dasarnya, kau seperti bintang, dengan
cahaya yang berpijar paling terang, yang
jika seseorang bernaung di bawahnya tidak akan kehilangan arah.
Karena pada dasarnya, kau seperti rumah megah dan
indah dengan pintu dan jendela yang terkunci rapat, dengan tirai yang tidak
sedikitpun tersibak, hingga aku hanya bisa melihat dari luar, menerka-nerka
siapa sesungguhnya penghuni rumah itu, akankah pintu yang kini tengah terkunci
rapat itu akan terbuka dan menyambutku untuk masuk.
Dan inilah yang aku –dan mereka bisa- lakukan,
melihat, dan menunggu, dua hal yang sungguh membosankan.
Ah, kini aku mengerti yang mengganggu fikiranku, yang
membuat hatiku menunggu ini, adalah rasa
bahagia terhadapmu yang tak pernah tersampaikan. Terimakasih karena kau sempat
ada, terimakasih atas semua yang telah kau lakukan.
Aku bahagia saat memikirkanmu edelweiss, selalu
bahagia.
*
warmy
Shyfanurfa