Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Jumat, 04 Januari 2013

sepucuk surat untuk Edelweiss - yang mengganggu fikiranku


Ada hal yang lagi-lagi ingin aku sampaian entah pada siapa. Yang menganggu fikiranku, yang membuat hatiku selalu menunggu.
Entahlah mungkin karena seberkas cahaya yang sempat di tinggalkan edelweiss setahun lalu dan kini ku temukan kembali dan mulai -lagi- menerangi bagian utama dari ruangan kursial  itu, ruangan itu layak disebut hati.
*

Baiklah...
Edelweiss, aku ingin berterimakasih padamu. Mungkin ini tidak akan berarti apapun, tentu saja. Karena bagi mu, aku –yakin- bukanlah apapun.
Edelweiss, tau kah kau ? setelah waktu meninggalkan batas yang semakin panjang, membentang jarak yang semakin jauh, aku pernah berusaha untuk tidak lagi melihat jejakmu, berusaha mencari langkah lain untuk ku ikuti, dan aku sempat menemukannya, ya aku akui. Pernah.


Aku pernah tertawa bersamanya, seperti dulu yang selalu kau lakukan padaku, ia seseorang yang ada pada bulan ke sepuluh bumi mengelilingi matahari, sebut saja ia : pelangi musim hujan. ia seseorang dengan binar mata seperti oasis di padang pasir, menyegarkan, ia selalu berkata yang menyenangkan, ia selalu bertingkah dengan keceriaan seorang bocah. Dan tanpa sadar aku memaksakan puzzle lain terpasang di bongkahan hati yang kau tinggalkan ini.
Namun pada akhirnya aku harus menelan pil pahit bahwa sesungguhnya pelangi itu masih ‘hidup’ di dunianya yang dulu, bersama seseorang yang bukan aku.

Lalu setelahnya aku buta arah lagi, kabut mulai terlihat dimana-mana seperti saat kau pergi, ah sesungguhnya kau tidak pernah tinggal, kau hanya beristirahat dan bersedia membiarkanku menatapmu dari dekat, dan saat kau melangkah lebih cepat dan aku tertinggal, maka aku merasa kau meninggalkanku, tapi pada nyatanya tidak. Dan saat itu aku terus berusaha lari darimu.


Ya, saat itu aku tidak ingin menatap jejak yang jelas-jelas masih tertinggal, aku mencoba berjalan ke arah lain, hingga saat itu aku bertemu dengannya. Ia aurora, cahaya kutub utara. Indah dan menghanyutkan. ia memiliki talenta yang sama denganmu, bermusik. Namun kau tahu ? entah mengapa aku masih menganggapmu yang terbaik.

Tertanya bongkahan pazel yang hilang itu hampir sama dengan milik aurora, sama-sama memerlukan seseorang.  aku mencoba menempatkan puzzle itu di sana, tapi tidak berhasil, ia lepas bahkan sebelum aku menyetuhnya,  dan saat itu aku baru menyadari, aurora itu akan tetap di langit, ia tak mungkin turun dan merengkuhku, jelas sekali ia tengah menunggu seseorang, cahayanya terpulas indah diatas cakrawala, namun bukan untukku. Bukan aku lagi.


Edelweiss, aku tetap mencoba membutakan mataku, menulikan telingaku, aku tidak tahu mengapa, walaupun pada dasarnya aku membutuhkanmu, walaupun pada hakikatnya aku bahagia meski hanya dengan menatapmu.


Dan saat ini, aku memberanikan diri untuk melihat lagi jejakmu, menatap secercah cahaya yang kau tinggalkan, menggenggam bagian bongkahan pazel yang pernah terisi, memberanikan hatiku untuk mengingatmu lagi. Edelweiss, aku ingin berterimakasih karena sampai saat ini kau masih mengijinkanku melakukan hal ini. Kau adiksiku dulu hingga sekarang.
Dan saat ini, aku teringat banyak hal, walau semua itu aku yakin tidak didasari untuku, walau semua itu tidak pernah berhubungan dengan ku, tapi secara tidak sadar aku menganggapnya, itu untuku. Ah egois sekali bukan ?

Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi seseorang yang begitu mementingkan diri sendiri, ah ya mungkin semenjak dua bening dingin milikmu menantang lensaku, membekukannya, sehingga tercipta satu puzzle permulaan yang sangat berharga.

Lalu puzzle berikutnya, saat senyum itu tersungging di wajahmu, aku masih ingat, saat itu hari jumat, di bulan terakhir revolusi bumi, di salah satu ruangan music. Iya mungkin itu kali pertama aku menemukan sisi lain dari mu, Bukan sorot mata yang dingin, bukan senyum yang meremehkan, bukan sikap tidak peduli, aku menemukan seorang Edelweiss dari sisi lain.

Dan hari-hari lainpun berlalu, seiring terkumpulnya puzzle-puzzle yang semakin terlihat jelas bentuk aslinya, setiap hari kau semakin meracuni udara, mengendap di paru-paruku hingga pada saat itu aku dapat menyimpulkan, bahwa aku bernafas untukmu. Ah berlebihan sekali bukan ?
Aku ingat dari seluruh hal yang pernah terjadi, hal yang paling membuat aku lupa akan kenyataan adalah, saat tanggal ke 10 di bulan ke lima. Di hari ulang tahunmu. Kau tersenyum, di hadapanku. Kau tertawa, di  hadapanku, kau mengalunkan nada yang membuatku hanyut. Menghapuskan semua batas yang sempat tercipta.


Namun sadar atau tidak, itu adalah kali pertama dan terkhir. Mimpi yang sempat menjadi kenyataan sebelum kau pergi, dan menciptakan jarak yang luar biasa jauhnya.

Biarpun begitu, Edelweiss, aku tetap berterimakasih. Karena berkat kau aku bertemu banyak orang, mencoba banyak hal, bertemu aurora, dan tertawa bersama pelangi.

Terimakasih karena membiarkanku mengejar jejakmu lagi, memandangi mu walau tak sejelas dan sejeli dulu, mendekap lagi bongkahan puzzle yang pernah hilang itu.

Kau memang membuatku jatuh, tapi dengan begitu aku bisa bangkit dan berjalan di arah yang lain, kau membuat hatiku menangis tersendu-sendu, namun dengan begitu aku bisa mencoba tersenyum, dan menatap dunia dengan dua lensa milikku. Kau meninggalkanku, dan dengan begitu aku dapat mensyukuri bagaimana rasanya memiliki hal luar biasa yang kita inginkan.

Sampai sekarang pun begitu, aku akan tetap memandangmu dari kejauhan.
karena pada dasarnya, kau edelweiss, bunga yang hanya tumbuh pada daerah pengunungan, yang jika seseorang ingin melihatnya ia harus berkorban terlebih dahulu, yang jika seseorang ingin memilikinya maka harus di tanam di tempat yang sesuai, bunga yang karakternya dingin, dan sulit di rengkuh.

Karena pada dasarnya, kau seperti bintang, dengan cahaya yang  berpijar paling terang, yang jika seseorang bernaung di bawahnya tidak akan kehilangan arah.

Karena pada dasarnya, kau seperti rumah megah dan indah dengan pintu dan jendela yang terkunci rapat, dengan tirai yang tidak sedikitpun tersibak, hingga aku hanya bisa melihat dari luar, menerka-nerka siapa sesungguhnya penghuni rumah itu, akankah pintu yang kini tengah terkunci rapat itu akan terbuka dan menyambutku untuk masuk.

Dan inilah yang aku –dan mereka bisa- lakukan, melihat, dan menunggu, dua hal yang sungguh membosankan.


Ah, kini aku mengerti yang mengganggu fikiranku, yang membuat hatiku menunggu ini,  adalah rasa bahagia terhadapmu yang tak pernah tersampaikan. Terimakasih karena kau sempat ada, terimakasih atas semua yang telah kau lakukan.

Aku bahagia saat memikirkanmu edelweiss, selalu bahagia.
*
warmy 
Shyfanurfa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar