Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Kamis, 11 Oktober 2012

Dear You -Short Story made Us- bagian 6


Dear you part VI
(part sebelumnya ada di blog temen aku My World :D)
*


Revan – sekarang-


Detik demi detik berlalu, Entah mengapa, beberapa pekan kebelakang ini aku tidak bisa tidur, ah bahkan untuk memejamkan mata saja sepertinya aku tidak sanggup.


Aku menatap langit-langit arpatermen ku, samar-samar terlihat bayangan gadis berambut pirang itu –lagi dan lagi, wajahnya yang manis berubah menjadi tegang dan ketakutan, genggamannya yang lembut berubah menjadi cengkraman. Ah.. sepertinya aku akan benar-benar gila. Apalagi setelah kejadian itu Aku belum pernah bertemu Anna –gadis berambut pirang itu- lagi, bahakan hanya untuk menghubunginya terasa sangat sulit. Aku sudah mencobanya berbagai cara agar dapat bertemu dengannya namun ia selalu menghindar,  Aku berdecak kesal.


Mengapa kau datang dan –sekarang-  menghilang ? mengapa kau membuat semua ini jadi sulit ?


Lagi-lagi yang ku lakukan hanya mendesah, aku melirik jam –lagi- ini sudah jam dua pagi, artinya ini sudah lebih dari tengah malam, dan aku tidak yakin bisa meneruskan berdiam diri di tempat tidur. Untuk beberapa saat, akhirnya ku putuskan untuk membuat secangkir the mungkin itu bisa membuatku jauh lebih tenang.


Tiba-tiba tanganku terhenti saat hendak membuka lemari, disana tertempel sebuah tulisan tangan yang rapi. Entah tersihir oleh mantra apa, aku malah melepas lembaran itu dari tempatnya lalu menarik kursi dan mengamati setiap detail dari secarik kertas itu. Aku mengenal tulisan tangan ini, ya aku sangat mengenalnya, namun mengapa semuanya tampak sudah sangat lama. Dan bahkan.. hampir terlupakan.


Mengapa kau pergi dan –sekarang- datang –lagi- ? mengapa kau membuat semua ini jadi sulit ?

*


Ternyata rapat deraksi tadi benar-benar membuat rasa kantukku hilang, yang benar saja, datang terlambat sepuluh menit ke kantor, aku sudah di ceramahi oleh dua atasan langsung. Belum lagi keduanya membicarakan hal yang sama, mereka bilang aku akan di pecat jika presentasiku seburuk tadi.


Harus ku akui, sebenarnya bekerja di tempat seperti ini bukan sepenuhnya keinginanku, namun jika mengingingat keluargaku yang ada di Indonesia begitu antusias membicarakanku, bahwa anak 
mereka bekerja dan hidup di Paris dengan layak, rasanya aku hampir tidak bisa apa-apa selain menerima semuanya.


Dan sebagai ‘upah’dari presentasi yang –menurut bos ku- tidak terlalu memuaskan seperti biasanya, jadilah aku harus mengerjakan semua desain ku dari awal. Ya dari awal. Ini membosankan, ah bukan, ini menyebalkan, tapi lagipula aku bisa apa ?


Aku menyesap teh Putih ku yang kesekian kali, hingga tidak sadar bahwa aku sudah menghabiskan kurang lebih 5 gelas dalam 3 jam pagi ini. Yaampun ternyata khasiat kafein dalam teh memang benar-benar bekerja untuk tubuhku.


“Revan !” panggil salah seorang rekan kantor sambil menyembulkan kepalanya di pintu. Aku mendongkak.


“Ya Max, ada apa ?” tanyaku pada laki-laki tinggi tegap berambut pirang itu.


“kau di panggil bos ke kantornya” ujarnya sambil membubuhkan senyuman di ujung ucapannya lalu menutup pintu.


Aku menghela nafas. Mau apa lagi dia ? ujarku skaraktis.


Tidak butuh waktu lama untuk keruangan bos ku, kini aku sudah ada di depan pintu, saat hendak menyentuh daur nya aku mendengar seseorang tertawa, bukan tawa lepas, tapi cukup untuk menguak rindu itu, aku terdiam sesaat, aku mengenal suara ini. Ya aku mengenalnya.


***


Anna – seseorang yang ajaib


Aku membuka mata ku yang terasa sangat berat. Sinar mentari menembus masuk melalui celah jendela, memantul pada lantai kamarku. Uh ini jam berapa ? erangku sambil menyentuh kepalaku yang masih terasa pusing. Sambil mengumpulkan nyawa aku bangkit dari tempat tidur, dan 
melihat kearah jam, ah pantas saja ini masih jam 8, ternyata masih sangat pagi.


Tiba-tiba terdengar sesuatu dari arah dapur, dengan langkah masih sedikit tidak seimbang aku bergegas pergi kearah suara.


Samar-samar aku melihat seseorang tengah menyalakan api kompor, menyadari diriku disana, ia berbalik.


“anna kau sudah bangun ?” ucapnya sambil menaruh kembali celemek yang akan ia pakai, lalu memelukku hangat.


“ibuuu !” ucapku riang sambil memeluk kembali tubuhnya. Ia mengelus rambutku, menyesapkan kehangatan yang selalu ku rindukan,


“kapan ibu tiba kemari ?” tanyaku setelah melepas pelukannya. Kulihat alis di wajah lembut ibu berkerut lalu dengan gencar ia berujar “kau ? kenapa kau terlihat pucat begini ? dan kau lebih kurus, 
apa kau sedang sakit ?”


Aku hanya terkekeh pelan mendengar ucapannya, “tidak, aku hanya sedang sedikit tidak enak badan bu..” ucapku tidak berbohong. Ah lagi pula mana bisa aku berbohong pada wajah ibu yang lembut ini ?


“ah apanya yang sedikit, badanmu hangat, lebih baik kita ke dokter..”


“tidak perlu bu, aku hanya perlu istirahat dirumah” ucapku meyakinkan ibu, setelah beberapa detik ibu memandangku dengan tatapan tak percaya, akhirnya ia tersenyum juga.


“baiklah kalau begitu.. sekarang duduklah..” ucap ibu ia mengeserkan kursi untukku yang tak jauh darinya, lalu kembali ke perkerjaannya yang sempat tertunda.


Aku asik menonton ibu dari belakang yang bersenandung pelan. ah sepertinya kegiatan ini sudah sangat jarang ku lakukan, semenjak aku tinggal di Paris untuk kuliah dan jauh dari keluargaku.  Untung ada Paman – adik ibu- yang dengan senang hati memberikan arpatermennya yang sudah tidak ia pakai lagi, tapi walaupun begitu tempat ini masih dangat nyaman.


Kini ibu memasukan beberapa potong daging sambil mengaduk-ngaduk isinya, lalu dengan lincah ia menyedok isi sup itu dan menghadap kearahku.


“cobalah..” pintanya. Dengan cepat aku melangkah maju, mencicipi masakan ibu. Dan tersenyum puas. Kegiatan ini selalu kami lakukan, mungkin sejak umurku lima tahun aku suka sekali membantu ibu –walau lebih sering merepotkan ibu- di dapur, memasak bersama dan aku yang pertama kali mencicipi masakan ibu.


“ini sangat amat enak” Ucapku sambil mengacungkan jempol pada ibu. Dan kami tertawa lepas. Ah.. kegiatan ini, kegiatan sudah sangat lama tidak lagi kulakukan bersama ibu.

**

Setelah tiga hari ibu menginap di arpatermenku, rasanya semua beban ku terangkat, semua terasa benar-benar baik, aku menceritakan semua masalahku –termasuk-Ben-yang tiba-tiba-muncul-di depanku- kesehatanku juga pulih kembali mungkin karena sup yang selalu di buatkan ibu untukku, dan ibu memang benar-benar seseorang yang sangat ajaib, nasehatnya mampu masuk ke otakku dan tercerna dengan sangat amat baik oleh fikiranku

Aku juga masih ingat perkataan ibu, “kau harus membuat keputusan pada pria itu, baik itu hitam atau putih” dan sekarang aku berada disini. Menunggu seseorang dengan hati amat sangat tenang, aku jadi teringat hari-hari kemarin saat pertama kali aku melihatnya di Paris aku benar-benar takut, tapi tidak untuk sekarang. Aku siap dengan segala resiko yang akan ku hadapi.

Aku menatap jam tangan yang melingkar cantik di lenganku, sudah hampir satu jam aku menunggu Ben namun batang hidungnya tak terlihat juga. Aku merogoh saku mantelku lalu mengeluarkan handphone dan mengetik beberapa kata, setelah memastikan bahwa pesan tersebut terkirim aku kembali memasukan benda itu kedalam saku.

***


Andira – pertemuan berikutnya.


Aku menatap gadget mahal ini berulang kali, berulang kali juga di layarnya tertera tulisan ‘Anna’ masuk kedalam kotak panggilan yang tak terbuka. Aku menemukan benda ini tadi pagi di sofa arpatermenku, sepertinya ini milik Benji yang kemarin sempat mengantarkanku pulang dan berbincang sebentar sekedar untuk minum kopi. Tadinya aku akan mengembalikan handphone ini, tapi mengingat aku tidak tahu dimana tempat tinggal Benji, jadi niat ini ku urungkan.


Lagi-lagi nama ‘Anna’ tertera di layar, kali ini bukan sebuah  panggilan, tapi hanya pesan singkat. aku tidak ingin jadi orang yang di katai tidak sopan, tapi jika membuka sms ini bisa memberiku petunjuk dimana Benji tinggal mungkiin..


Aku kembali menaruh handphone itu di sofa, tidak berniat menyentuhnya lagi. Mungkin Benji akan mengambilnya sendiri nanti. tapi sepertinya handphone ini ‘memantrai’ ku untuk segera membuka pesan yang ada di dalamnya. Dan akhirnya aku membuka pesan itu.


‘Ben, ada yang ingin aku bicarakan. Sekarang di moccalate’


ini hanya pesan biasa, tiba-tiba aku merasa sangat bersalah, tapi tunggu, apa yang dikatakan pesan dari orang yang bernama Anna itu ? ingin bertemu ? sekarang ? café moccalate ? bukankah itu café di ujung jalan ini ? tidak jauh dari tempat ku tinggal.

Tanpa fikir panjang lagi Aku segera menyambar mantelku, siapa tahu gadis bernama Anna ini bisa membantuku dimana tempat Benji berada. Ya.


*


Sang pramuniaga itu membukakan pintu sambil tersenyum, aku membalas senyumnya. Lalu ku edarkan padanganku ke seluruh ruangan, ah aku ini bodoh atau apa ? akukan tidak tahu gadis mana yang bernama Anna – Anna itu bagaimana jika aku salah orang ? tapi hey ! aku kan bisa meneleponnya lewat ponsel Benji, aku hanya perlu memperhatikan gadis mana yang sedang mengangkat telepon. Ah ide bagus Andira.


Sekejap aku menguntak-atik handphone Benji lalu aku menempelkan ponselnya di telinga, dengna waspada aku melihat ke seluruh ruangan, begitu panggilan masuk, aku melihat seorang gadis berambut pirang diujung sana sedang mengutak-ngatik tasnya lalu ia mengambil sebuah benda yang sama dengan yang sedang ku pegang ini, kulihat ia tersenyum lalu saat hendak menempelkan benda itu ke telinganya. Aku segera memutuskan panggilan itu. ah itu dia ! tidak salah lagi.

Tiba diriku mematung, gadis ini gadis yang di panggil Anna ini.. inikan.. Annalise.


***


Anna – gadis Asia


“apa-apaan ini” ucapku sambil menggerutu, tadi Benji meneleponku namun saat aku angkat teleponnya malah dimatikan. Ah dasar menyebalkan. Berapa lama lagi dia akan membuatku menunggu ?


Merasa di perhatikan, aku mendongkakan kepalaku, aku mendapati di hadapanku seorang gadis yang tidak ku ketahui tengah mendangiku. Aku tersenyum padanya.


“ada yang bisa aku bantu ?” ucapku


Ia terlihat kaget lalu mengerejap sekali. Ia tersenyum dan berkata “Apa benar kau Anna ?” ujarnya lancar. sangau seperti orang Paris kebanyakan. Aku mengerutkan alis, gadis yang ada di hadapanku ini bukan gadis-gadis eropa, ia memiliki mata yang bulat dan indah, kulitnya kuning langsat, bukan putih, rambutnya juga tidak pirang atau coklat, ia memiliki rambut hitam yang berkilau, tidak seperti gadis lain disini, ah dia orang Asia, tapi kalimat yang ia ucapkan sangat fasih tidak ada sedikitpun terdapa lagam bicara orang Asia pada umumnya yang terdengar aneh. Ah aku baru menyadari kalau ia seperti pemuda itu. ya.


Aku tersenyum “iya, bagaimana kau tahu ? maaf kau siapa ?” tanyaku beruntun. Kulihat ia mengacungkan sebuah handphone yang aku –sangat- kenal. itu handphone Ben kan ?


“aku ingin mengembalikan ini” ucapnya.


“kenapa bisa.. eh duduklah” ujarku akhirnya. Ia menurut lalu duduk di hadapanku.


“aku Andira” ia tersenyum lalu mengulurkan tangan, ia menjabat tanganku.


“tanganmu lembut sekali” ucapku antusias, aku tidak berbohong sungguh, tangannya lembut sekali. Kulihat ia terkekeh. Aku juga.


“aku..” ucapanku di potong olehnya.


“aku tahu kau Anna kan ? Annalise ?” katanya.


“bagaimana kau tahu, ah iya..” aku menepuk dahiku sendiri. Pasti ia tahu aku dari handphone itu.


***


Andira- percakapan dengan Anna


Aku tidak tahu sekarang harus berkata apa, berhadapan langsung dengan orang yang yaa –bisa di bilang- sekarang tengah ada di hati orang yang dulu –atau bahkan sekarang- aku sayangi. Tapi harus ku akui ia tidak seperti gadis-gadis eropa kebanyakan, ia baik dan ceria, tidak sepertiku yang pendiam. Ia juga ramah dan.. sangat cantik.


“aku..” aku memotong pembicaraannya, dengan cepat aku berkata.


“aku tahu kau Anna kan ? Annalise ?” ucapku sambil menatapnya. Kulihat matanya membulat.


“bagaimana kau tahu, ah iya..” ia menepuk dahinya sendiri, lihatlah dengan orang asing saja ia sudah bisa seakrab ini.


“apa aku bisa meminta mu menyampaikan benda ini pada Benji ?” pinta ku setelah lama diam membentang. Kulihat alisnya berkerut.


“maaf tapi aku tidak tahu tempat tinggal Ben dimana selama ia di paris, ku kira kau..” ujarnya hingga membuatku kaget dan bingung.


“ah tidak-tidak ! aku hanya kenalan Benji, kebetulan kemarin ia ke arpatermenku, dan ternyata ia meninggalkan ini, tapi ku kira kau mengetahui tempat Benji makannya aku kemari dan menemuimu” ucapku panjang lebar, aku tidak ingin gadis ini berfikir macam-macam. Ia mengangguk seraya tertawa.


“hahaha, tidak ada masalah jika kau-danBen- ada hubungan, aku malah iktu senang. tapi karena kau sudah disini, kau mau minum teh bersama ku ?” sudah dipastikan mataku membulat, sebenarnya aku tidak ingin lama-lama berada disini, tapi aku tidak tega jika harus menolak ajakan gadis baik ini, dan setelah kufikir-fikir ini akan jadi kesempatan bagus untuk lebih mengenal gadis yang tengah Revan kejar. Ah aku ini kenapa ? kenapa tiba-tiba aku jadi seperti ini.


“Hey kau melamun ! jadi bagaimana ? kau mau pesan apa ?” ujarnya sambil menggoncang pelan bahuku.


Aku mengerejap. “aku pesan teh putih saja” ucapku setengah kaget.


*

Percakapan dengan Anna kemarin itu begitu menyenangkan, ia entah dengan mantra apa bisa membuatku nyaman dan bebas, seperti sudah mengenalnya dengan lama. Sejenak aku berfikir, mungkin itu juga yang ia lakukan pada Revan, Ya sekarang aku tahu mengapa lelaki itu tertarik –atau bahkan- mencintai gadis itu. ah tapi sudahlah. Aku akan berusaha tanpa Revan.


Dan kali ini aku tengah menembus kerumunan orang, berlalu-lalang seperti koloni semut yang tangah bergotong royong mengambil makanan dari dua arah yang berbeda, pantas saja ini jantung mode kota Paris. Camp-elysees . Handphone di saku mantelku bergetar lagi, aku melihatnya ternyata sebuah pesan.


‘Andira, hadir di kantorku sekarang dalam 10 menit’ begitu isi pesan Mrs Magda, aku mendesah, bos ku yang belasteran orang Pasris dan Amerika –sebenarnya tidak ada yang berbeda seperti orang eropa umunya, namun sebutan Mrs bukan Madam yang lebih membedakan ia memilih garis turun mana- itu sangat amat tepat waktu, ia tidak jarang memecat karyawannya hanya karena 3 kali terlambat.

Setelah mendapat pesan itu aku mempercepat langkahku.


 *


Sekarang aku sudah berada di depan daur pintu besi sebuah ruangan bertuliskan ‘directeur chambre’ belum sempaat aku menyentuh daur besi itu, seseorang keluar dari dalam, seorang pria berusia hampir setengah abad, namun badannya masih tegap, dan pandangan matanya jelas memancarkan ketegasan dan kepememimpinan.

Ia menatapku sesaat, lalu beralih pada papan nama yang tergantung pada leherku, aku hanya tersenyum dan memberanikan diri bertanya.


“Apa anda maître Erik ? ” Ia menatapku lagi lalu segera membukakan pintu.


“silahkan masuk” ucapnya tegas.


Aku masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup besar untuk ukuran satu orang –itu terlihat dari sebuah meja dan kursi yang hanya berjumlah satu di simpan di sudut ruangan- di kanan kiri ku terdapat lemari kacaberukuran besar yang memuat berbagai tropi penghargaan. Kulihat pria tua itu berhenti lalu mempersilahkanku duduk di deretan sofa. Aku duduk menonton punggung pria itu yang kini tengah membuka pintu kulkas berukuran kecil disudut lain ruangan.


“kau mau minum apa ?” tanyanya sopan.


“Apa saja maître ” jawabku


“bagaimana dengan teh putih ?” tanyanya lagi sambil mengacungkan sekaleng Teh. Aku mengangguk.


“tentu saja” ucapku mantap.

Setelah mendapatkan dua kaleng di tangannya, akhirnya ia kembali menghampiriku.


“pasti Magda yang mengirimmu” ujarnya sambil menaruh dua kaleng minuman itu di meja. Ah ternyata Pria ini sudah tahu. Aku mengangguk.


“Mrs menyuruhku menyampaikan ini” sekarang aku mengeluarkan selembar amplop berkuran coklat besar. Pria itu membuka dan membacanya, aku tidak tahu apa yang ada dalam amplop besar itu. lalu Pria itu menekan tombol di yang terletak di dekat sofa.


“suruh Rev masuk kemari” ujarnya pada mesin canggih itu. di jawab dengan suara seorang pria yang menyatakannya setuju.


“maaf tidak menyambutmu dengan baik” ucapnya basa-basi. Aku hanya tersenyum samar.


“sepertinya, Magda memperlakukanmu dengan istimewa” lanjutnya sambil tertawa. Aku juga. Walau pada kenyataannya Mrs Magda tidak pernah memperlakukanku dengan baik. Sejenak tawaku terhenti saat terdengar suara dorongan pintu dari luar.

“Sir, kau memanggilku ?” suara itu. biarpun aku sedang tidak berhadapan dengan pemilik suara itu, tapi aku tahu percis siapa dia. Suara itu. tiba-tiba seluruh badanku membeku. Apa yang di inginkan Mrs mgda padaku ?


***Dear You –Short Story made Us- bagian VI. Selesai***


Cuap-cuap cipaaw


Huahahahaha XD *evillaugh* maaf kawan-kawan, aku lagi gak konsen ngerjain part ini sumpah ini bertantakan. Banyak detail yang kelewat, padalah itu penting T-T ini gara-gara pulsa modem mau habis dan aku harus cepet-cepet ngirim naskah sama kalian. Maaf kalau yang ini mengecewakan T-T


Selamat berjuang buat Apiw hahaha semoga kamu menemukan ide, apa yang bersambung di part ini. Semoga kamu menemukan pekerjaan apa yang pas buat character-charakter ini. Karena aku juga masih bingung, makannya gak ada satupun yang ngejelasin tentang pekerjaan mereka apa.

Oke cukup cuap-cuapnya. Terimakasih sudah membaca. Sekali lagi. Apiw ! Ganbatte kudasai ! Hwaigthing !!!!!

PS : waktu bagian ibu Anna masak. Aku beneran laper loooo :D *ngiler* 


Warmy

Cipaaw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar