Hembusan angin laut laut mulai menerpa, deburan suara ombak
dengan harmonis memecah karang-karang yang menjulang tegar, memaksa
burung-burung camar segera kembali ke sarangnya, memaksa ku untuk tetap diam
dan membisu, memaksa waktu membiarkan segalanya terasa begitu sulit.
“bagaimana
keadaan Asuna-chan ?”
aku bertanya, Kau menatapku sebentar tanpa suara, namun dari tatapan itu aku
mengerti seberapa besar kau telah berkorban.
Aku baru saja mendapat kabar duka, atau entahlah menurutku ini
kabar apa. Tapi setelah
mendengar bahwa Asuna-chan masuk rumah sakit, fikiranku tertuju padamu. Dan
kini aku tengah duduk di sampingmu, diatap rumah sakit yang langsung tertuju
pada laut.
Lalu setelahnya kau mendesah panjang, aku tahu itu adalah sebuah
tanda, namun lagi-lagi tidak ada yang ku lakukan selain menatapmu nanar, penuh
asa.
“aku
berharap ia baik-baik saja..”
setelah ratusan detik terlewat akhirnya kau berujar penuh dengan keresahan, aku
lagi-lagi hanya bisa menatapmu lalu mencoba menyunggingkan senyum.
“walau
aku tidak yakin kau baik-baik saja.”
Ujarku pelan, namun sepertinya kau mendengarnya, hitungan seperdetik kemudian kau tengah
menatapku dengan alis sedikit dinaikan.
“kau
tadi biacara apa ?”
tanyamu. Aku mengerejap. Sepertinya aku telah salah bicara.
“uh..
umm tidak ada”
aku membuang muka, tidak ingin memperlihatkan ke
“Asuna-chan
gadis yang kuat, aku yakin ia akan segera pulih” lanjutku sambil berbalik ke hadapmu.
Namun saat itu kau tidak menatapku. Sambil menunduk kau berujar
lagi-lagi dengan suara yang lemah. –dan
tentu saja aku membencinya- “tentu
saja dengan Tatsuya-kun di sampingnya..”
Aku tidak terkejut saat nama kakak di sebut, aku menatapmu
berharap menemukan secercah keceriaan yang selalu kau tunjukan di hadapan
Asuna. Seketika pandangan kita bertumbuk. Aku melihat dengan jelas kesakitan
disana, tatapan yang entah sejak kapan sering sekali ku lihat di matamu kini.
tanpa sadar aku menelan ludah. Jika saja ini bukan keegoisanku..
“kakakmu
akan menjaga Asuna dengan baik”
Kau juga berhasil menjaga perasaanmu dengan baik, hatiku membatin, aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Dari
jarak ini aku dapat melihat garis wajahmu dengan baik. Keberanian. Keceriaan.
Kelembutan. Semua itu hampir terhapus dengan Garis wajah keputus asaan.
Semuanya, selalu sama denganku.
“bersama
Tetsuya-kun ia terlihat begitu bahagia”
Kau juga begitu bahagia saat di dekatnya lagi-lagi aku membatin aku menunduk dan tersenyum. kali ini
berhasil mengalihakan padanganku darimu. Semakin kau melanjutkan, semakin
menambah telingaku terasa sakit. Menambah denyutan di hatiku terasa begitu
hebat.
“aku
begitu menyedihkan. Menyukai seseorang yang tak mungkin melihatku”
Aku juga. Mencintaimu dengan keegoisanku akhirnya aku menyerah, menatapmu penuh harap.walau aku yakin kau
tak mungkin melihatku jika kau masih sibuk melihat orang lain.
Aku kemudian dengan segenap keberanian menarik tanganmu,
menaruhnya diatas telapak tanganku yang lain.
“aku
minta maaf. Ini semua salahku”
akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Aku menunduk sambil
terus menggenggam tanganmu.
Jika saja aku tidak mencoba mendekatkan kakak dengan Asuna, jika
saja aku lebih cepat tahu jika kau benar-benar mencintai Asuna, dan itu
membuatmu bahagia, jika saja aku tidak bertemu denganmu atau bertemu dengan
Asuna, mungkin kau tidak akan semenderita ini, mungkin kau.. tidak akan menjadi
korban dalam cerita ini.
Tanpa di duga kau menaruh tanganmu yang lain, menumpuknya dengan
punggung tanganku.
“tidak.
ini bukan salah siapapun”
aku menegadah, memberanikan diri menatap matamu, dan kau tersenyum. Dan saat
itu hariku benar-benar terasa hangat, ini pertama kalinya kau bicara seperti
itu padaku.
Walaupun begitu Aku tetap menggeleng. Rasa hangat itu terlalu
kalah dengan rasa bersalahku padamu. Dan saat itu satu tetes jatuh di pipiku,
sepertinya kau juga terkejut.
“kenapa
kau menangis ? lusa adalah hari membahagiakan untuk Kakakmu dan Asuna” ucapmu sambil menyentuh
puncak kepalaku. aku tahu kau berusaha menenangkanku, namun pada kenyataannya
aku tahu kau sangat menderita saat mengatakan hal itu. dan itu semakin
membuatku merasa bersalah.
Akhirnya detik itu juga semua pertahananku runtuh. Aku menangis,
ah bukan. Kita berdua menangis, walau pada kenyataannya kau hanya menarikku
dalam pelukmu, dan tidak lagi mengeluarkan sepatah katapun, kita menangis.
menangisi keegoisanku. Dan menangisi hatimu yang terlanjur luluh.
Mungkin hampir seperempat jam kemudian, setelah aku benar-benar
tenang. Kau menatapku. Tanpa melepaskan rangkulanmu
“sudah
merasa baikan ?”
tanyamu sambil tersenyum.
Aku mengangguk. Menatap Matahari yang mulai berkemas, Nampak para nelayan sudah mulai
naik ke perahunya masing-masing, beberapa dari mereka sudah pergi jauh ke
tengah laut. Aku menatap langit yang mulai berselimut warna biru dan ungu,
tidak lagi jingga seperti beberapa saat yang lalu.
“apa
itu dari Takaki-san ?”
Tanyamu saat aku menutup percakapan di telepon genggamku. Aku mengangguk.
“Asuna-chan
sudah sadar” aku memasukan telepon
genggamku.
“baiklah
ayo temui mereka..”
kau bangkit, tanpa melepaskan genggaman tanganmu kau menarikku pelan, mengikuti
langkah-langkah kakimu yang lebar.
**the end**
Warmy
@shyfanurfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar