Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Sabtu, 14 Desember 2013

Repost : [Cerpen] swear it again

[Cerpen] Swear It Again
14 December 2013 at 10:58


We will live this long distance relationship. We will survive. We will show them that this relationship deserves to sustain.

***

Apakah benar hubungan jarak jauh itu tidak ada gunanya dipertahankan?
    Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala Naila sementara ia menunggu panggilannya dijawab.
     “Tristan...” desah Naila saat panggilan internasionalnya terjawab.
    “Ada masalah apa, Nai?” tanya Tristan tanpa basa-basi.
    Naila meringis. “Ih, Tristan. Sok tahu aku punya masalah.”
    Tristan terkekeh di ujung sana. “Kamu nggak sadar, ya kamu itu gampang banget ditebak. Kamu selalu telepon aku duluan kalau kamu punya masalah.”
    Benarkah ia segampang itu ditebak? Senyum konyol tersungging di bibir Naila. Namun, senyum itu perlahan-lahan pupus ketika ia teringat dengan masalah yang ingin ia bicarakan dengan Tristan.     
    Naila menarik ujung rambutnya dengan gelisah, lalu memulai.
    “Tan, ada teman kampus aku yang baru putus karena LDR-an.” Naila berhenti, menunggu, tapi Tristan tidak berkomentar apa-apa.    
    Naila mengambil napas panjang dan melanjutkan ceritanya.    
    Semua ini bermula ketika Naila mendengar Helen dan Putri sibuk bergosip di kelas kuliah tadi pagi, tentang Denada yang putus dengan pacarnya setelah menjalani LDR selama dua tahun. Mengingat Naila juga menjalani LDR, Helen pun tidak sanggup menahan mulutnya untuk berceloteh panjang lebar.    
    Helen memperingatkan Naila untuk berhati-hati karena bisa saja Tristan sudah kepincut dengan gadis di Argentina sana. Itu yang terjadi pada Denada—pacarnya selingkuh dengan gadis Jepang. Lalu Putri ikut memanas-manasinya dengan mengatakan kalau gadis Argentina itu cantik-cantik.    
    Di penghujung cerita, Tristan bertanya dengan tenang, “Lalu kamu percaya sama teman kamu itu?”    
    “Aku nggak ingin percaya, tapi...” Naila menggigit bibir bawahnya dengan serba salah. “Tapi, bisa jadi, kan? Kamu di Argentina sementara aku ada di sini, di Indonesia. Pengetahuanku tentang apa yang kamu lakuin di sana cuma sebatas apa yang kamu certain ke aku. Bisa aja, kan kamu nggak cerita semuanya.    Bisa jadi ada cewek di kampus kamu yang jauh lebih cantik daripada aku, yang jauh lebih seksi, yang... yang lebih daripada aku, dan kamu kepincut sama dia. Lalu kamu jalan sama dia tanpa bilang-bilang ke aku—tentu aja kamu nggak akan bilang—dan aku dengan bodohnya nungguin kamu di sini.” Naila menumpahkan semua yang ada di pikirannya dengan akumulasi perasaan yang selama ini cuma ia pendam—rindu, kesal, lelah dan marah. Naila bahkan tidak sadar kalau nada suaranya meninggi. Dadanya kembang-kempis seperti habis lari maraton.    
    “Jadi, mau kamu apa? Putus?” tanya Tristan dengan nada suara yang biasa ia pakai saat menanyai Naila mau makan apa.    
    “Tentu aja enggak,” sembur Naila spontan. “Aku cuma...” Naila berhenti ketika ia mendengar Tristan terkikik di seberang sana. “Ih, Tristan, jangan ketawa dong. Aku lagi serius.”    
    Jauh di Argentina sana, Tristan bukannya tidak menanggapi perkataan Naila dengan serius. Hanya saja ia sudah terlalu hapal Naila. Saat ini Naila sedang labil dan hanya perlu ditenangkan.
    “Oke, oke...” katanya sembari mencoba untuk berhenti tertawa, tapi gagal.    
    “Tristan!”    
    “Iya, iya...” Tristan lalu berdeham. “Aku ngerti perasaan kamu, Nai. Sometimes, I feel exactly the same. Tapi, kamu masih ingat apa yang aku bilang di bandara dulu, kan?”    
    Naila mengangguk walau Tristan tidak bisa melihatnya. Ia ingat, itu adalah saat-saat terakhir sebelum Tristan naik pesawat. Terdengar pengumuman kalau pesawat tujuan Argentina akan berangkat dalam beberapa menit. Ke pesawat itulah Tristan akan menghabiskan waktunya berjam-jam sebelum tiba di negara tango itu.    
    Ketika pengumuman itu mereda, di tengah hiruk-pikuk bandara, Tristan berkata kepadanya, “Memang awalnya akan terasa sulit, tapi lambat-laun kita pasti akan terbiasa. Kamu percaya sama aku, kan?”    
    Naila mencoba untuk percaya. Sekuatnya. Tapi, dengan samudera yang memisahkan mereka, dengan jarak setengah lingkar planet di antara mereka, semuanya tidak lagi sama bagi Naila. Tidak akan pernah sama. Dan, ia tidak bisa terbiasa.    
    Naila rindu menatap mata Tristan secara langsung, bukannya lewat layar komputer saat mereka video chat. Ia rindu menggenggam jemari Tristan yang panjang. Ia rindu memeluk Tristan. Ia bahkan rindu pada gelitikan Tristan di pinggangnya setiap kali ia ngambek.    
    Ia tidak akan pernah bisa terbiasa tanpa Tristan di dekatnya.    
    Entah sedari kapan tepatnya, namun mata Naila sekarang sudah dipenuhi oleh air hangat. Suaranya gemetar dan terbata ketika dia berkata lirih, “I... just miss you. So bad.” Naila berkedip dan air matanya pun tumpah.    
    “I miss you too, my little girl. As bad as you do,” balas Tristan sama lirihnya.
    Lalu Naila mendengar Tristan menghela napas dan membuangnya perlahan. Naila tahu ada kesabaran besar yang dikerahkan Tristan sewaktu pria itu berucap, “Oke, gini aja. Mengenai perkataan teman kamu itu, gimana kalau keadaannya aku balik. Ada temanku di sini yang bilang ke aku kalau LDR itu nggak worth it untuk dipertahanin. Karena mungkin aja di Indonesia sana kamu udah punya cowok lain tanpa sepengetahuanku. Apa yang bakal kamu bilang?”    
    “Tentu aja kamu nggak boleh percaya,” sembur Naila berapi-api, sama sekali lupa kalau itu cuma pengandaian. “Aku nggak mungkin selingkuh dari kamu. Seenak mereka aja nuduh aku kayak gitu. Mereka bahkan nggak kenal sama aku.”    
    “Itu dia, Nai!” seru Tristan, seolah ia memang menantikan kalimat itu keluar dari bibir Naila. “Mereka nggak kenal kita. Yang kenal aku itu kamu, bukan mereka. Kamu lebih tahu aku daripada teman-teman kamu itu. Jadi, untuk apa kamu dengerin kata mereka?”    
    Naila yakin kalau saja Tristan berada di sebelahnya, pria itu pasti akan membelai kepalanya. Karena kalimat berikutnya diucapkan Tristan dengan begitu lembut.    
    “Nai, aku nggak akan bilang apa yang kita jalani sekarang ini mudah. Kamu ingat sudah berapa kali kita berantem dalam enam bulan belakangan? Sepuluh kali. Kalau mau diibaratkan, hubungan kita itu kayak orang yang dalam enam bulan udah sepuluh kali bolak-balik rumah sakit. Nggak sehat. Tapi, lihat, Nai, kita masih bertahan.”    
    “Itu, kan karena kamu lebih banyak ngalah. Aku takut suatu saat nanti kita sama-sama emosi dan nggak ada yang mau ngalah. Terus...” kita gagal.    
    Tapi, sebelum dua kata terakhir itu terucap, Tristan menyela dengan cepat. “Kalau gitu kamu harus nahan emosi dan ingatkan aku untuk selalu mengalah.”    
    “Kamu nggak bisa terus-terusan ngalah, kan, Tan?”    
    “I will always try. For you.”    
    Air mata Naila merebak lagi. Ada ketulusan dan kesungguhan di suara Tristan. Naila bisa merasakannya.    
    “Nai, listen to me. We will live this long distance relationship. We will survive. We will show them that this relationship deserves to sustain.”    
    Kalau Tristan benar-benar ada di sebelahnya, kali ini Naila yakin Tristan pasti sedang meletakkan kedua tangannya di bahu Naila seperti yang selalu pria itu lakukan saat Naila membutuhkan dorongan dan semangat.    
    “Jadi, nggak ada cewek cantik di kelas kamu?” Naila sadar, setelah mendengarkan penjelasan Tristan yang panjang lebar, pertanyaan itu terdengar begitu kekanak-kanakan. Tapi, tetap, gadis itu tidak bisa menahan diri untuk menanyakannya.    
    “Naila, are you kidding me? Ini Argentina, salah satu negara dengan perempuan paling cantik di dunia. Banyak cewek cantik di kampusku. Bahkan kepala asramaku yang udah punya dua anak pun terlihat cantik. Dan, ya, banyak yang lebih cantik dan seksi daripada kamu. But, I never deny you. Never, even once.”    
    Ketika selama beberapa detik berikutnya Naila tidak kunjung bersuara, itu bukan karena Naila ragu, melainkan karena ia terenyuh.    
    Tapi, sepertinya Tristan salah mengartikan kebisuan Naila. Sebab, kemudian Tristan bertanya, “Kamu nggak percaya?” Naila baru akan menjawab ketika Tristan bergumam, “Tunggu sebentar.”    
    Maka, Naila pun menunggu. Selama beberapa saat sambungan telepon mereka hanya diisi oleh suara angin. Lalu suara Tristan kembali terdengar.    
    “Nai, cek email kamu, ya...”    
    Kening Naila berkerut bingung. Tapi, gadis itu tetap turun dari ranjangnya dan berjalan menghampiri laptopnya yang sedang stand-by di meja belajar. Setelah melakukan beberapa kali klik dan menunggu, Naila berhasil memeriksa email yang Tristan kirim. Isinya cuma dua lampiran tanpa teks. Satu foto dan satu file lagu.    
    “Udah?” tanya Tristan.    
    “Hmm.”    
    “Udah di-download ?”    
    Naila men-download kedua file tadi. “Udah.”    
    Selanjutnya Tristan terdengar seperti sedang menahan tawa. “Coba buka fotonya.”    
    Naila menurut dan langsung cemberut begitu melihat isinya.
    Itu adalah foto secarik kertas karton berwarna putih. Yang membuat Naila cemberut bukan kertasnya, tapi apa yang tertulis di sana.

I already have a girlfriend. And, she is as fierce as a lioness. So, for those who have a crush on me, you better step aside.    

    “Tristan...!”    
    “Apa aku harus pakai itu di depan dada setiap hari supaya kamu percaya?”    
    Naila memang sebal dengan isi kertas itu. Tapi, membayangkan Tristan memakai kertas itu di depan dadanya setiap hari mau tidak mau membuatnya tersenyum geli. “You will look crazy.”    
    “I don’t care,” balas Tristan enteng. “What I care is you. If it can make you feel better, you know I will do it.”    
    Dan, Naila tahu Tristan benar-benar akan melakukan. Pria yang sudah dipacarinya selama tiga tahun itu bisa berubah jadi tidak tahu malu jika itu untuk Naila. Pernah ketika Naila sedang down, Tristan mengajaknya ke taman, lalu meninggalkannya sendirian di sana. Ketika Tristan kembali, pria itu sudah berada di balik kostum badut sambil menari-nari tidak jelas. Terkadang, Naila merasa sedikit malu dengan ulah Tristan, tapi selebihnya adalah syukur. Karena dia tahu, semakin Tristan berani ‘gila’ untuknya, semakin Tristan mencintainya.    
    “No need,” kata Naila akhirnya. “I trust you.”  
     Jeda selama lima detik. "Don’t doubt me anymore, Nai,” kata Tristan pelan. “That makes me sad.”    
    Perasaan bersalah membumbung dari dada hingga ke tenggorokan Naila. “Sorry,” ucapnya menyesal, nyaris tercekat. “I just feel tired.”    
    “Tidurlah kalau begitu.”    
    Naila berdecak gemas. “Kamu tahu bukan capek seperti itu yang aku maksud.”    
    “Aku tahu,” kata Tristan geli. “Tapi, di sana udah hampir tengah malam, kan? Dan, besok kamu ada kuliah pagi.”    
    Ah, pria itu bahkan masih hapal jadwal kuliahnya. Hal sekecil itu... “Ya udah.” Naila menyerah. “Kamu jaga diri baik-baik, ya di sana. Lagi musim dingin, kan? Jangan lupa pakai pakaian tebal kalau keluar. Kamu tahu sendiri kamu itu susah banget sembuh kalau udah kena flu. Terus, jangan lupa makan. Aku tahu kamu sibuk belajar, tapi harus tetap makan. Jangan sampai maag kamu kambuh. Terus...”    
    “Nai...”    
    “Ya?”    
    “Are you gonna sleep or lecture me until the morning?”    
    Naila menggeram. “Kamu, tuh, ya... nyebelin.”    
    “Tapi, ngangenin, kan?” Tristan terkekeh.    
    Naila mendengus. “Masih siang, kan di sana? Have a nice day kalau gitu.”    
    “Hmm. Nighty night, Dear,” balas Tristan lembut.    
    Naila baru akan mengakhiri panggilan saat Tristan memanggilnya. “Naila...”    
    “Ya?”    
    “Kamu memang bukan gadis paling sempurna yang pernah aku temui. Kamu itu cerewet,moody, cemburuan dan sifat kekanakan kamu itu kadang buat aku kesal. But, still, you are the girl whom I want to spend my life with. Kamu nggak perlu meragukan itu.”    
    Naila tersenyum. Air matanya mengalir turun, kali ini membawa rasa haru dan bahagia yang meluap dari dadanya. “Kamu juga bukan pria yang paling sempurna yang pernah aku temui. Kamu itu gila, nggak ada urat malunya dan hobi terlambat kamu itu kadang bikin aku kesal setengah mati. But, I still want you to be a father of my children.”   
    Tristan tertawa renyah. “Jangan lupa putar lagu yang aku kirim tadi,” pesan Tristan. “Ti Amo(1).”    
    Dan, sebelum sambungan telepon itu benar-benar terputus, samar-samar, Naila mendengar percakapan Tristan dengan seseorang.    
    “Who?”    
    “My beloved girlfriend.”    
    Senyum lebar tersungging di bibir Naila. Ia menurunkan ponselnya, lalu memutar lagu yang dikirim oleh Tristan.    
    Sebuah lagu dari Westlife.

I wanna know
Who ever told you I was letting go
Of the only joy that I have ever known
Girl, they were lying    

    Naila terkekeh pelan. Tristan benar-benar ahlinya mencocokkan sebuah keadaan dengan sebuah lagu.    
    Pelan-pelan Naila memejamkan matanya dan dengan konyol membayangkan Tristan sedang berdiri di depannya dan menyanyikan lagu itu untuknya.    
    Dan, hanya dengan membayangkan itu, untuk saat ini, Naila bisa merasa tenang dan yakin.

So, you should know this love we share
Was never made to die
I’m glad we’re on this one way street just you and I
Just you and I    

    Namun, Naila tahu ini mungkin akan terulang lagi. Saat di mana ia merasa goyah. Keraguan-keraguan itu. Dan, pertengkaran-pertengkaran itu. Tapi, Naila juga tahu mereka akan bertahan. Karena ia menyayangi Tristan dan Tristan menyayanginya. Secukup itu. Sesederhana itu.

I never gonna say goodbye
Cause I never wanna see you cry
I swore to you my love would remain
And I swear it all over again and I

I’m never gonna treat you bad
Cause I never wanna see you sad
I swore to share your joy and your pain
And I swear it all over again (2)

Selesai

1. Aku cinta kamu
2. Swear It Again - Westlife



1 komentar:

  1. Ada yang tahu tentang kak david NG ga? Aku penggemar karyanya 😳 dah lama cari tentang beliau, tapi blognya dah di hapus

    BalasHapus