Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Minggu, 20 Mei 2012

Short Story – Edelweis, aku menyukaimu~



*
Sebelum baca perhatikan tulisan cetak miring, itu berarti si pelaku lagi ngomong dalem hati. Oke selamat membaca *kalau ada yang baca*

***
Short Story – Edelweis, aku menyukaimu~
***
“hey ! kau sedang apa ?”
“kau lihat aku ? memangnya aku sedang apa ?”
“ih kau menyebalkan sekali”
“…”
*
Teruntuk edelweis, teh hijau yang belakangan ini meracuni otakku.
Awalnya aku benar-benar melihatmu dengan sebelah mata, mengganggap mu hal yang tak penting dan biasa-biasa saja, namun akhir-akhir ini Aku munyukai semua caramu, apapun itu, sikap dinginmu, pandangan tajam matamu bahkan sifatmu yang  angkuh, iya kini aku tahu.
*
Seperti magnet, aku segera duduk mengambil posisi tepat di depannya, suasana taman sekolah yang mulai sepi memang sangat menyejukan, tentu saja dengan beberapa pohon besar yang mengelilingi taman itu benar-benar menambah aksen sejuk.
Lama kami hanya terdiam sibuk dalam fikiran masing-masing. Entahlah, aku sebenarnya tidak sedang melakukan apa-apa kecuali menikmati pandangan kosong pemuda di hadapanku ini, mengamati kedua danau bening yang selalu menatap lurus dan dingin, ah dan ini yang paling ku suka aku suka melihat rambut agak ikal yang jatuh membingkai di rahang kokohnya di mainkan oleh anak-anak angin.
sementara yang menjadi objek sasaran malah asik melamun dengan gitar di pangkuannya.
Setelah beberapa saat berlalu akhirnya aku memecah keheningan.
“ayoo mainkan gitarnya !” ujarku, pemuda itu menatapku dengan alis yang terangkat, seperdetik kemudian ia memalingkan wajahnya dan kembali diam.
“ayoo.. sebentar lagi bel berbunyi !” ulangku lagi, dan kini usahaku berhasil.
Jari-jari itu mulai memetik senar menciptakan sebuah nada yang sederhana namun terdengar indah, nadanya bersatu dengan udara, lembut namun tegas mulai menggelitik telingaku, aku terdiam benar-benar hanyut dalam suara dan petikan harmoni yang ia ciptakan sebentar aku menutup kelopak mataku, harus ku akui ia hebat jika sudah bertemu dengan alat music yang satu ini.
*
Hai edelweiss, kenapa aku menyebutmu begitu, mungkin karena kau sulit di rengkuh sama seperti bunga edelweiss. Kau tahu ? Bunga edelweiss berada jauh di pegunungan Jika kau ingin menikmati keindahannya kau harus berkorban terlebih dahulu, benar begitu kan ?? dan kini aku sudah berkorban, ah bukan berkorban mungkin bertaruh aku mempertaruhkan seluruh hatiku. Jadi bagaimana edelweiss apa aku boleh menikmati keindahanmu ?
*
aku mendongkakan kepala, ia berhenti bernyanyi. Aku mengerutkan alis dan nampaknya ia menyadarinya bahwa aku ingin bertanya mengapa. Lalu detik berikutnya ia mengangkat ujung bibirnya, dan mulai memainkan sebuah intro yang tak ku kenal.
“ini lagu siapa ?” tanyaku polos, ia menatapku tapi tidak menjawab, lagunya mulai memasuki reff menurut pendengaranku lagu ini seperti lagu biasanya bertema-kan rasa cinta juga perjuangan, namun karena ia yang menyanyikannya aku merasa lagu ini berbeda dengan lagu-lagu biasanya.
Petikannya pun berhenti aku menatapnya puas lalu bertepuk tangan singkat.
*
Aku suka caramu, aku suka caramu menghangatkan hatiku, membuatku merasa lebih baik, sama seperti setelah aku minimum teh hijau. Kau tahu edelweiss ? the hijau itu rasanya pahit namun kau tahu kafein yang terkandung disana sangat banyak, sama seperti mu kafein itu cintamu. Aku yakin kafein-mu jauh lebih banyak, dari yang kuduga, dan pada saat aku memerlukan itu, aku harap dengan senang hati kau mau membaginya.
*
“hebat” pujiku sambil terus tersenyum.
 Ia menunduk lalu berujar “itu lagu -band- ku yang baru, dan baru ku tunjukan padamu”
aku yakin setelah aku mendengar kata-katanya tadi pupil mataku melebar, ada debaran liar yang tiba-tiba kurasakan, ada bagian dari diriku yang terasa begitu hangat . Sebenarnya apa ini ? sebenarnya apa yang di lakukan orang ini padaku ? karena yang ku tahu dari Seseorang di hadapanku ini adalah suaranya bisa membuatku merasa… begitu nyaman.

*
Edelweiss ada yang harus kau tahu, kau selalu berhasil membuatku nyaman saat berada di dekatmu, kau selalu berhasil membuatku merasa lebih baik, edelweiss kau bisa saja sedingin es, namun kau sangat menyejukan seperti mint.
Edelweiss kau memang bukan yang paling istimewa tapi kau yang menyempurnakan segalanya, kau menyempurnakan semua bagian dariku.
*
Aku tak bisa menahan senyum , samar-samar aku memperhatikannya dari ekor mataku ku lihat ia membuang nafas lalu menaruh gitar tepat di sampingnya. Setelah itu ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone, dan detik berikutnya ia sibuk dengan gadget mahalnya. Setelah memasukan kembali handphone nya kami kembali terdiam.
“sungguh ?” Tanyaku, ia menatapku sekilas lalu mengangguk. Aku tersenyum puas.
“bernyanyi lagiii” rengekku sambil menarik ujung lengan bajunya menatapnya penuh harap.
“kau ingin aku bermain lagu apa ?” tanyanya aku hampir saja terlonjak senang, saat ia menarik gitarnya kembali ke pangkuan dan mulai memetik beberapa nada.
“bagaimana dengan so far away ? aku suka lagunya, apalagi jika kau yang menyanyikannya” tuturku, kulihat matanya membulat.
“aku tidak percaya ada gadis yang menyukai lagu seperti itu” ia tersenyum miring.
“kau mengejekku ?” ucapku  kesal, sungguh aku kesal padanya, aku baru saja memujinya dan kini lihatlah ia malah mengejekku seenaknya. Menyebalkan.
“hahahaa..baiklah jangan seperti itu, ayo bernyanyi bersama..” ia terkekeh sebentar lalu mulai memetik nada, untaian nada-nada ini benar-benar menjadi saksi bagaimana ia menjadi kisah sempurnaku.
*
Edelweiss.. Ini mungkin sudah sangat jelas, tapi biarkan aku mengucapkan kata itu, aku juga ingin mencoba mengatakannya seperti orang lain mengatakannya padamu, kau tahu..
Edelweiss,  aku menyukaimu.
~Jasmine



****THE END*****
Halooooo :O saya come back again :D ini cerpen tersingkat yang pernah saya buat, Cuma dalam waktu 2 jam. Wkwkwk biasa kalau kepikiran sama mint inspirasi jalan terus, apalagi suasana lagi pas banget, hujan. Siapa yang gak galau coba ?
Ini cerpen pasti ancur, terlebih aku gak nyunting ulang daaan aku udah lama fakum sama tulis-menulis. But, well, this is it. Shyfa’s short story. Makasih banget yang udah baca bahkan sempet mengomentari kritik dan saran sangat di butuhkan demi kemajuan cara menulis saya, anyway thanks.

Salam donat imut !
@shyfanurfa

Selasa, 15 Mei 2012

Remember (cerpen)

Remember

Dan aku akan mengatakan kepadanya
Saat aku percaya senja itu indah

***

      Aku menekan pelipis dan mendesah dengan berat. Kunang-kunang masih berkeliaran di mata saat aku putuskan untuk menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Menarik napas, lalu membuangnya—aku melakukannya berulang-ulang sampai segalanya kembali tenang. Langit-langit ruanganku menjadi pelabuhan untuk pelayaran mataku yang tiba-tiba terasa lelah. Memejamkannya sejenak sebelum kubawa untuk kembali menyusuri rangkuman aksara di atas sebuah lembaran yang usang.
      Tidak banyak aksara yang berdiri di sana. Hanya sebuah puisi pendek, tertulis dengan goresan pensil yang telah samar-samar. Aku tidak lagi memikirkan untuk menghitung sudah berapa kali aku membaca puisi itu, juga puisi-puisi yang lain. Semuanya digubah dengan rangkaian kata yang berbeda, namun tetap saja ada yang sama, yang seumpama benang merah. Ada dua. Pertama, semuanya bernapaskan kata cinta. Kedua, semuanya tertulis untuk satu nama. Arangga Ferdinand, begitu nama itu selalu tertulis di sudut kanan bawah, dengan gaya penulisan yang nyaris selalu sama. Miring dan indah, seolah-olah memiliki nyawa. Dan nama itu menjadi alasan untuk rasa pusing yang mendera kepalaku, juga kerumunan kunang-kunang yang mengacaukan penglihatanku beberapa waktu yang lalu.
      Setelah menembus udara, tanganku pun menutup buku di atas meja kerjaku. Aku mendorongnya menjauh dan berniat meneruskan pekerjaanku. Namun setelahnya, aku justru menggeleng. Tidak. Sesuatu yang aku yakini adalah hati mengatakan kepadaku kalau tidak seharusnya begini. Karena kata mereka hati tidak pernah mengingkari, maka aku pun menarik buku itu kembali. Akan tetapi, alasan terbesarnya adalah karena aku rasa aku harus menemukan kepingan ingatan itu kembali.
      Aku menggerakkan jemari untuk menyingkap lembar demi lembar. Aku mengayunkan mata untuk membaca kata demi kata.
      Dan rasa pusing itu datang menyapa...
      Arangga Ferdinand... dia itu siapa?

***

Tadi dia mengajakku ke atap rumahnya. Dia memperlihatkan kepadaku bagaimana senja yang selama ini aku benci. Aku mengerti caranya mengagumi semburat-semburat merah yang serupa warna mawar baginya, namun warna darah bagiku. Aku memahami kesukaannya pada kicauan burung-burung yang melintas di atas kami, namun dia buta akan kekecewaanku pada kicauan mereka yang terdengar serupa pengantar kematian.

Katanya senja itu indah, namun aku tidak sanggup berkata sebaliknya meski aku mau. Aku tidak ingin merusak senyumannya sekalipun dengan begitu aku harus memalsukan seulas senyum untuk senja kala itu.

Andai saja dia tahu ibuku dijemput saat senja, akankah dia tetap mengatakan senja itu indah?

***

Aku menemukan buku ini satu tahun yang lalu, beberapa bulan setelah aku mengalami kecelakaan yang merenggut seluruh ingatanku. Dari semula dan bahkan sampai detik ini, buku ini selalu tampak menarik. Tidak semata-mata karena warna-warni yang menyetubuhi sampul depannya, namun juga semua yang terangkum di dalamnya.
      Ini tidak hanya tentang kumpulan puisi. Ini juga tentang hari-hari yang dulunya aku ingat. Tertulis dengan singkat, namun anehnya selalu berkesan. Dipenuhi dengan detil-detil yang menghidupkan jantung dalam detakan yang cepat, atau sesekali menarik kedua sudut bibir untuk membuat sebuah lengkungan. Akan tetapi, tidak jarang malah menjamu rasa pusing dan mual dalam satu waktu.
      Aku memang masih belum mengerti, namun aku mendapati diriku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Walau setiap lembarnya sudah menguning dan berbau debu, jemari masih ingin menyentuhnya, mata masih sudi memandangnya. Lagi dan lagi. Lama aku memikirkannya sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.
      Arangga Ferdinand... siapa pun dia, dia adalah kepingan yang penting.

***

Aku menanggalkan seragam putih abu-abuku untuk selamanya hari ini. Rasanya berat dan melegakan dalam satu waktu. Aku mengucapkan salam perpisahan kepada semua teman-teman yang aku temui, juga kepada para guru. Berterima kasih dan meminta maaf, lalu mengucapkan selamat tinggal dengan keyakinan akan bertemu lagi, entah kapan, dimana dan bagaimana. Mereka bilang rasanya sungguh tidak rela, namun aku mengatakan kepada mereka kalau ini adalah satu masa yang memang harus dilalui. Seseorang pernah mengatakan kepadaku kalau ini adalah akhir untuk masa sekolah, namun awal untuk masa depan setiap orang. Dan aku percaya.

Kepadanya, aku pun begitu. Tersenyum dan memeluknya sebentar sebelum mengucapkan salam perpisahan. Sepanjang sore itu aku merasa berat saat melayangkan kalimat selamat tinggal, dan yang terberat adalah saat aku harus melayangkan kalimat itu kepadanya. Dia sempat hanya tersenyum geli dan mengatakan aku sedikit berlebihan. Namun ketika aku memberitahukan aku akan berkuliah di Melbourne, senyumannya langsung tergelincir.

Dengan nada yang membuat hati ngilu, dia bertanya kenapa. Dia ingin menatap mataku, namun aku malah tidak menatap miliknya saat aku mendesah dan menjelaskan kalau papaku sudah mengatur semuanya. Dia berusaha menahanku, tetapi aku katakan kepadanya kalau aku tidak bisa menentang Papa. Akhirnya, dia menyerah meski matanya jelas-jelas masih mengiba.

Hari itu, sebelum kami berpisah, aku memberitahunya kalau ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadanya. Saat dia bertanya, aku berjanji akan menyampaikannya ketika satu masa baru telah tiba. Masa di mana aku percaya kalau senja itu indah.

Dia mengangguk, lalu mencium keningku dan melepas kepergianku.

***

Aku melangkah keluar dari ruang kerjaku. Semula aku berniat langsung menuju pintu keluar untuk mendapatkan sedikit udara segar, namun yang terjadi aku justru berhenti di tengah-tengah langkah kaki.
      Dan aku memperhatikannya lagi. Belakangan sering seperti ini sampai-sampai aku mulai mengenali salah satu kebiasaannya. Di jam-jam sore seperti ini, dia akan berada di dekat jendela kaca besar dan memandang ke luar. Jika kedai sedang ramai, dia akan sering-sering berjalan dengan lambat di dekat jendela sambil sesekali membuang pandangan keluar. Namun, jika kedai sedang sepi, dia akan betah berlama-lama berdiri dan memandang ke luar jendela, seperti yang dia lakukan sekarang.
      Hari ini aku tidak akan mengabaikannya seperti yang aku biasa aku lakukan. Tanpa memegang satu alasan yang kuat, aku sadar saat aku mulai melangkah, lalu duduk di kursi yang berjarak tidak sampai satu meter darinya. Sejenak aku mengamati penampilannya dalam seragam yang dipakai oleh semua pelayan di kedai es milikku. Seragam itu tampak biasa di tubuh pelayan yang lain, namun di tubuh yang satu ini, seragam itu tampak lebih dari biasa. Sebelum aku lepas kendali dan menilainya dengan poin yang macam-macam, aku putuskan untuk memanggilnya.
      Dia menoleh ke arahku dan gelalapan sesaat sebelum menyahut panggilanku dengan gugup. “Ya, Nona.”
      “Satu scoop es krim...”
      Dia mengangguk dan berlalu dengan cepat padahal aku belum menyebutkan pesananku dengan lengkap. Aku memperhatikan punggungnya sambil bertanya-tanya apakah dia akan berbalik untuk menanyakan rasa apa yang aku mau untuk es krimku. Anehnya, jawaban yang aku dapatkan adalah tidak. Satu-dua menit kemudian, dia kembali dengan satu scoop es krim di dalam sebuah gelas. Dan entah bagaimana bisa, dia benar tentang rasa yang aku mau. Teh hijau.
      Aku ucapkan, “terima kasih,” dan dia hanya mengangguk. Aku yakin terasa aneh saat aku menahannya ketika dia ingin berlalu, tetapi dia hanya menatapku tanpa ada sinar persetujuan kalau apa yang aku lakukan itu aneh.
      “Ada lagi yang ingin Nona pesan?” tanyanya.
      Aku menggeleng, lalu tersenyum. “Duduklah,” kataku.
      Tipis memang, namun kali ini aku melihatnya mengangkat sebelah alisnya. “Duduk?”
      Aku mengangguk. Melihatnya bergeming dan sedikit kebingungan, aku tertawa kecil, lalu memberitahunya, “ah, karena kamu karyawan baru, tentu saja kamu tidak tahu. Aku sudah biasa mengobrol dengan karyawan di sini.”
      “Apa tidak masalah?” ia tedengar ragu dan tampak salah tingkah.
      Aku memandang berkeliling dengan cepat dan mengangkat bahu. Jika yang dia permasalahkan adalah tentang perkerjaannya, maka jawabannya sudah pasti, “aku rasa tidak,” karena kedai memang sedang sepi pengunjung.
      Entah senyum yang aku sunggingkan berpengaruh atau tidak, namun yang pasti dia akhirnya menurut dan duduk berhadapan denganku.
      “Apa yang ingin Nona obrolkan,” ia bertanya dengan nada yang kaku.
      Aku memukul tepian gelas dengan sendok kecil yang aku pegang hingga dentingan-dentingan tinggi berlompatan keluar. “Jangan pakai panggilan itu—Nona, maksudku. Untuk beberapa saat ke depan, anggap saja kita ini pelanggan. Tidak ada atasan, tidak ada bawahan. Oke?”

***
Aku menanyakan kepadanya apa yang dia perhatikan saat ia berdiri di dekat jendela tadi. Akan tetapi, bukannya menjawab, dia justru menghela napas dan memandang ke luar jendela. Pandangannya menggantung dengan lelah. Beberapa detik ke depan pun dia habiskan dengan membungkam. Jika setiap orang memiliki beberapa hal yang tidak ingin mereka bagi kepada orang lain, bagi dia, sudah pasti ini salah satunya. Maka, ketika aku sadar dia tidak ingin menjawab, aku pun melemparkan pertanyaan lain dengan hati-hati.
      “Berhubungan dengan masa lalu?”
      Dan meskipun dia tidak menjawab, dari desahan napasnya yang tiba-tiba berubah, aku tahu jawabannya adalah iya. Aku menarik napas panjang, lalu, “mereka bilang tidak ada gunanya mengingat masa lalu,” kataku tanpa ada maksud untuk menyerangnya.
      Pelan-pelan, dia beralih menatapku. Dengan cara yang aku suka, dia membetulkan letak kacamatanya sebelum menimpali perkataanku. “Ada yang sependapat, ada yang tidak.”
      “Kamu sependapat?” tanyaku.
      Dia hanya mengangkat bahu dan malah balik bertanya, “Non—maksudku, kamu?”
      “Relatif,” kataku. Saat aku melihatnya mengangkat sebelah alis, aku pun mengimbuhkan, “semuanya tergantung pada bagian mana yang ingin kita ingat. Aku hanya berpikir kalau kita tidak harus melupakan seluruh masa lalu kita, tidak juga perlu mengingat semuanya. Ya, sederhananya sama seperti menyortir buah, misalnya. Buah yang busuk, ya dibuang. Buah yang bagus, ya disimpan.”
      Aku mengambil sedikit es krim dengan ujung sendok, lalu membiarkannya meleleh di atas lidah. “Namun, untuk saat ini, aku sedang berada di sisi yang tidak sependapat.”
      “Kamu sedang mengingat-ingat masa lalumu?” begitu dia bertanya tanpa menatapku lagi.
      Aku mengangguk, entah dia melihatnya atau tidak. “Sedang berusaha mengingat, tepatnya.”
      Dia kembali menatapku, hanya untuk sejenak sebelum melabuhkan matanya untuk menekuri tepian piring kecil di atas meja. Dia sedang mengelus permukaan piring kecil itu dengan canggung saat dia bertanya dengan suara yang mengambang, “berusaha mengingat?”
      “Aku amnesia setelah mengalami kecelakaan di Melbourne tahun lalu,” aku memperjelas.
      Dan kali ini dia mengangkat wajahnya dengan cepat dan matanya terlihat membeliak. Lantas, setelah tersenyum untuk pertama kalinya di hadapanku, ia pun memberitahuku sesuatu. “Kamu tahu, kita tidak terlalu jauh berbeda.” Saat aku melipat kening dengan bingung, dia melanjutkan, “aku juga amnesia.”

***

Mengetahui kalau dia juga amnesia adalah sebuah kejutan bagiku. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan seseorang yang bernasib sama. Mendadak aku merasa lebih ringan dan lega. Ini mungkin karena aku baru saja menemukan seseorang yang lebih bisa mengerti perasaanku dibanding orang lain. Maksudku, aku yakin dia akan mengerti betapa aku merasa bodoh saat harus berkenalan lagi dengan orang-orang yang dulunya aku kenal. Aku juga yakin dia akan mengerti betapa aku ingin menemukan kembali ingatanku, juga betapa sulitnya saat aku berusaha untuk itu. Ya, seperti yang baru dia katakan tadi, ini karena kita berdua sama.
      “Kenapa kamu ingin sekali mendapatkan ingatanmu kembali?” tanyanya.
      “Memangnya kamu tidak?” aku balas bertanya.
      Dia mengendikkan bahunya dan tidak menjawab pertanyaanku. “Kamu tidak takut?”
      Aku menatapnya dengan kening yang berkerut-kerut tidak mengerti. Melihat itu, dia pun tersenyum kecil, lalu melapisi pertanyaannya barusan dengan sebuah penjelasan yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. “Pernahkah kamu berpikir kalau ada beberapa orang di luar sana yang ingin berada di posisi kita sekarang? Melupakan masa lalu mereka dan berharap tidak akan pernah mengingatnya lagi. Karena, mengingatnya hanya akan membenamkan luka yang dalam. Atau, karena mengingatnya hanya akan meninggalkan trauma. Masa lalu yang sangat buruk menciptakan keinginan yang kuat bagi mereka untuk melupakannya. Jadi, bagaimana jika apa yang ingin kamu ingat sekarang adalah semua yang dulunya tidak ingin kamu ingat? Kamu tidak takut?”
      Untuk sesaat aku terperangah karena mendengar pemaparannya. Sangat masuk akal dan menohok. Sempat aku diombang-ambing oleh rasa ragu, namun saat aku teringat akan sesuatu, aku tahu kalau mengingat masa laluku adalah apa yang aku mau.
      “Aku ingin mengingat semuanya,” begitu kataku, dan dia sedikit terkejut. “Sekalipun masa laluku ternyata buruk, aku tidak akan menyesal. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin seburuk apa pun masa laluku, pasti ada satu bagian yang baik, yang memberiku alasan untuk bertahan.”
      “Kenapa kamu sangat ingin mengingat masa lalumu?”
      Aku memandangi es krimku yang sudah mencair, lalu setengah menerawang. “Ada seseorang yang ingin aku ingat.”
      “Seseorang?”
      Aku mengangguk dalam gerakan yang lambat.
      “Kenapa?”
      “Aku hanya merasa kalau aku harus mengingatnya,” desahku. Aku kemudian memalingkan wajah dan menyadari kalau di luar sana telah lama senja. “Mungkin dengan begitu, aku bisa melihat senja dengan cara yang berbeda, dengan cara yang dia punya.”

***

Aku menceritakan kepadanya tentang buku itu. Untuk pertama kalinya sepanjang ingatanku, aku bisa bercerita dengan begitu lepas. Aku menceritakan apa saja tentang isi buku itu, kecuali satu. Aku tidak memberitahunya tentang nama yang nyaris selalu muncul di setiap halaman.
      “Jadi, menurut buku itu, kamu membenci senja?” tanyanya beberapa saat setelah aku selesai bercerita.
      Aku mengangkat bahu dan memiringkan kepala. “Begitulah...”
      Hening sebentar, pecah kemudian oleh suaranya yang tiba-tiba terdengar. “Aku sedang melihat senja.”
      Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sempat bertanya-tanya sebelum akhirnya sadar kalau dia baru saja menjawab pertanyaanku di awal obrolan ini. “Kau menyukai senja?”
      Pertanyaan itu membuatnya tersenyum ragu. “Kata mereka aku menyukai senja dan mencintai senja yang berbeda,” paparnya. Aku baru akan menanyakan tentang apa yang maksudnya senja yang berbeda itu saat dia menunjuk ke arah pintu masuk dan berseru, “ada pelanggan. Aku rasa aku harus pergi.”
      Dia kemudian bangkit dari kursi, tersenyum dan berkata, “senang mengobrol dengan Nona,” sebelum benar-benar pergi.
      Aku memandangi punggungnya dan tersenyum juga. Aku kemudian menanyakan sesuatu kepada pelayan lain yang datang untuk membereskan meja di depanku.
      “Kamu tahu siapa namanya?” Aku menunjuk dia dalam gerakan yang kecil.
      Pelayan itu mengikuti arah yang aku tunjuk, dan, “maksud Nona, yang melayani pelanggan yang baru datang itu?”
      Aku mengangguk. “Ya, dia. Kamu tahu siapa namanya?”
      Pelayan itu tersenyum sopan dan mengucapkan sebuah nama. Lalu, aku bisa mendengarkan jantungku mendebarkan kata rindu.
      “Arangga Ferdinand.”

***

Jika di kemudian hari aku mendapatinya menanyakan namaku, aku akan menjawab namaku Alana Senja. Lalu, jika di kemudian hari dia mengingat semuanya kembali, aku akan mengatakan kepadanya kalau aku mencintainya.

***

Aku mulai merasakannya
Saat dia memanggilku dengan Senja

Aku sedang merasakannya
Saat dia melukis cantiknya Senja dengan aksara

Aku akan tetap merasakannya
Saat dia menyentuh Senja dengan bibirnya

Aku sadar telah lama aku mencintainya
Dan aku akan mengatakan kepadanya
Saat aku percaya senja itu indah

Arangga Ferdinand

***

Rabu, 09 Mei 2012

Dear You Part II - a short story made us-



Apa yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain ? – Raditya Dika, Misteri Surat Cinta Ketua OSIS, p. 40, Marmut Merah Jambu.
*
Revan ~ objek penarik mata hati.
Kembali lagi aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, pukul 10.28 aku mendesah, melihat betapa lengangnya jalan raya yang sedang ku lalui, balutan salju putih nan lembut hampir terdapat di mana-mana, sebagian  mulai menutupi indahnya kota dan bangunan-bangunan yang menjulang. Beberapa lampu di ujung jalan masih Nampak menyala, memperlihatkan sendunya suasana kota.
Sambil terus memacu kecepatan mobil, aku merogoh plastic yang ada di samping kemudi mencari masih ada kah sisa makanan kecil yang sempat aku beli tadi di mini market, berhubung ini masih terlampau pagi untuk ukuran kota Paris jadi aku belum menyempatkan diri untuk sarapan, setelah menyumpal mulutku dengan sepotong roti aku kembali berkonsentrasi pada jalanan bersalju dan licin ini.
Mataku tiba-tiba saja tertarik sesuatu, lalu dengan reflex kaki kiriku menginjak pedal roda-roda mobil bergesek dengan jalanan sehingga menimbulkan suara decitan cukup keras. Dengan tergesa-gesa aku keluar dari mobil lalu sedikit berlari kea rah objek yang telah menarik mataku.
Dan Byuuur !! ah sial lagi-lagi dalam saat seperti ini aku melakukan kecerobohan, dengan tergesa-gesa aku mengeluarkan sapu tangan yang ada di saku mantelku lalu mengelapkannya pada bagian yang tersiram air –minuman- sambil terus meminta maaf, tanpa sengaja ku menatap mata sang korban, tunggu aku mengenalnya ! sejenak aku menghentikan kegiatanku lalu tersenyum lega.
“andira ?” ucapku sedikit tergagap, kulihat gadis itu juga tercengang, matanya yang coklat bulat Nampak melebar, kulihat di bibir mungilnya ia sempat membuat senyum namun sedetik kemudian terhapus , dengan bahasa tubuh yang suliut terbaca ia menyusupkan rambut hitam ikalnya ke belakang telinga lalu balas menyapaku hangat “hai Van..”
“aku minta maaf, aku tidak sengaja sungguh !” ucapku tergesa-gesa, kulihat ia tersenyum –lagi-yang-ini- lebih lama.
“tidak apa-apa, kau pasti sedang terburu-buru” jawabnya, tiba-tiba setelah mendengar kata itu seperti tersengat listrik aku baru sadar tujuanku kemari untuk apa, setelah berpamitan dengan gadis Indonesia itu aku kembali mencari objek yang telah menarik mataku.
Belum hampir sepuluh menit aku menghampiri objek penarik mataku, lalu menghampirinya dengan hati yang membuncah, gadis itu –objek-penarik-mata- sedang duduk manis dengan secangkir kopi mengepul di depan wajahnya ia duduk di salah satu etalase café, tubuhnya yang mungil untuk ukuran orang paris di balut oleh mantel krem coklat, rambut pirangnya yang tergerai membuat sebagian titik-titik salju menempel disana, tiba-tiba saja seluruh tubuhku menghangat saat dua danau biru miliknya melirik ke arahku.
“analise..” ucapku setenang mungkin, sebisa mungkin menetralkan detak jantung yang ku tahu sedari tadi memiliki volume 3x lebih keras dair biasanya. Ia menatapku hangat lalu tersenyum sangat manis.
“bonjour Revan..” suaranya yang merdu menyentuh kedua telingaku geli, gadis ini.. sudah sajak satu bulan lalu membuatku gila, gila karena setiap malam harus memimpikannya, gila karena setiap saat harus merindukannya, semua ini terlalu tidak normal, ia membuatku benar-benar membutuhkannya.
“ada apa ?” tanyanya lagi, otakku yang sedari tadi kosong kini harus di paksa berfikir keras, ia benar, sebenarnya apa yang aku lakukan pagi-pagi mencarinya ? 
“mmmm.. tidak ada, aku hanya ingin menikmati udara pagi..” ucapku berbohong, kulihat alisnya berkerut samar, lalu tertawa kecil.
“oh ya ? baiklah, ayo kemari duduk, kau harus merasakan kopi café ini” ujarnya lalu beranjak menarik diriku untuk duduk disampingnya, hitungan sepersekon kemudian ia mengangkat tangannya writers yang tak berada jauh di dekat kamipun segera mendekat, setelah Analise menyebutkan pesanan sang pramuniaga menggangguk lalu masuk ke dalam café.
Mataku masih asik menatap Analise yang kini sedang asik berkutat dengan handphone nya, tanpa disadari sang pramuniaga kembali dengan membawa sebuah baki, ia menyodorkan secangkir cairan hitam dengan kepulan asap yang mulai mengudara, Analise menaruh handphonenya lalu tersenyum berterimakasih.
Selepas sang pramuniaga pergi, Analise kembali menekuni handphonenya dan aku kembali menekuni menggilai gadis di hadapanku ini, kulihat mata-mata indahnya itu terus bergerak Jari-jarinya mulai menari di atas layar gadget mahal itu.
“eh, kau harus mencoba kopi ini Revan !” ujarnya agak terkejut saat mendapatiku tengah melihatnya –yang-sepertinya-telah-mengganggunya- aku mengerejap, sekali-dua kali lalu tersenyum.
“baiklaah” ucapku akhirnya sambil menyesap cairan hitam itu yang kini mengaliri seluruh tubuhku hangat.
“bagaimana ?” tanyanya ? ia menempelkan kedua siku dimeja untuk menopang wajah eropa miliknya.
Aku memutar bola mata. “hmmmm.. ini enak” ucapku sebenarnya rasa kopi ini seperti kopi-kopi biasanya, hanya saja terasa lebih nikmat saat ada ia. Ah aku terdengar sangat berlebihan ya ?
“haha.. baiklah berhubung kau sudah ada disini, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar ?” tanyanya sambil memasukan gadget mahal itu pada tas coklat tua disampingnya.
Aku hampir saja tersendak, lalu setelah memastikan kopi ini masuk ke tubuh seluruhnya, aku berseru hampir tidak bisa menyembunyikan rasa gembiraku “ah ! tentu saja”
*
Andira ~ ini bukan pagi ku ini pagi mereka.
Setelah insiden tabrak menabrak tadi, aku hampir tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan kini, aku telah berdiri di sebrang jalan, bersembunyi di balik kota bersalju yang mulai ramai, aku beru saja menyaksikan semuanya, senyum laki-laki itu dan wanita yang ada di sampingnya.
Semunya tergambar jelas, bagaimana kebahagiaan menyelimuti binary mata laki-laki itu, harus ku akui aku mulai tak masuk akal, harusnya aku tak berada disini harusnya aku menyelamatkan hatiku dan tak menyaksikan semua ini, namun bagian hatiku yang lain menolak, aku ingin melihatnya aku ingin melihat bagaimana kegilaan laki-laki itu terhadap belahan jiwanya yang baru.
Akuu.. tidak tahu harus bagaimana lagi, dengan rasa frustasi aku menegadahkan wajahku yang mulai memanas ke langit, kurasakan sebutir salju turun menyentuh pipiku, dingin. Sama seperti hatiku.
*
Pagi ini bukan milikku 
Meski kepada mentari aku merayu 
Kudekap teduh sedaya upaya 
Namun hampa melahap serakah 
Kepadaku, tak satu pun berbalik arah 

Pagi ini bukan milikku 
Saat rumput basah membisikkan sesuatu 
Di savana luas berselimut embun 
Ada mereka tengah melepas rindu 
Aku pun meluruh dirajam cemburu 

Pagi ini bukan milikku 
Semenjak mereka terikat satu 
Sudah dari dulu pagiku dirampas waktu 
Sisa yang kupunya hanya sejilid buku 
Dengan halaman penuh debu dan sendu 

Ini bukan pagiku 
Ini pagi mereka.... 

***

Haahahahaaaa well ini lah part ke II nya kawan-kawan, maaf kalau tidak memuaskan, dan ngaret banget, mau baca part I ?? lihat FB Silviana Octavia Siringo-ringo atau di contact  et- OctaviaSilviana mau tau kelanjutannya ? follow aja  et-pukaaaw and et- AlfiantiN
Selamat berjuang buat pukaaaw semoga lancar melanjutkan part III nyaa kami tunggu yaaaa XD