Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Rabu, 27 Maret 2013

dari Edelweiss untuk Jasmine (cerpen)


*
Sebelum sekarang, dua tahun yang lalu.
Awal musim hujan.

Saat itu seingat ku rintik hujan mewarnai awal pagi,  membuat segalanya menggigil, tanpa kicau burung,tanpa embun pagi, tanpa sinar emas hangat  yang biasanya menembus kaca jendela. Benda bulat kuning itu sepertinya lebih memilih bersembunyi di balik gumpalan kapas diangkasa. Membuat segalanya kelabu.

Aku merapatkan jaket coklat yang tengah ku pakai, angin diawal musim hujan memang selalu menusuk tulang, bahkan suhu di pagi hari pun tidak berbeda dengan siang nanti, sore nanti, atau malam nanti.

Aku menguap, sebelum akhirnya menatap jam tangan, masih tiga puluh menit lagi untuk membuat sekolah ini ramai, ah sial aku datang terlalu pagi.

Aku berhenti melangkah, menatap dua sosok yang ku kenal tengah bergandeng tangan sambil terus tertawa berjalan kearahku. Aku melempar senyum pada mereka. Ah sepertinya hari ini tidak begitu kelabu untuk beberapa orang.

“Hay Ed !!” sapa Jasmine riang, yang entah mengapa setiap mendengar suaranya aku selalu merasa lebih bersemangat. Sementara di sebelahnya Akasia tengah tersenyum juga.

Aku lagi-lagi membalas sapaan mereka dengan tersenyum.

“tidak biasanya kau datang sepagi ini” ujar suara baritone milik Akasia. Aku terkekeh, pemuda tegap ini memang selalu terlihat tenang, berbeda dengan gadis di sebelahnya.

Mereka memang pasangan yang serasi, Jasmine gadis cantik dan cerdas dengan keramahannya yang luar biasa, bersanding bersama Akasia pemuda dengan predikat paling giat memberikan piala terhadap sekolah, tampan dan mempesona, ah belum lagi sederet gelar kabangsawanan yang mereka miliki, membuat mereka dinobatkan sebagai pasangan paling serasi oleh seantero sekolah.

Aku membuka mulut “entahlah aku ha.. ”

“kami ingin pergi ke kantin, membeli beberapa roti kau mau ikut ?” ucap Jasmine memotong ucapanku, satu hal yang aku kenal dari gadis ini sejak dulu, ia selalu memotong ucapanku.

Aku menggeleng. Lebih baik berada di kelas sendirian, dari pada harus bersama mereka. Yaah kalian tahu apa yang akan di katakana orang-orang saat sepasang kekasih dengan satu orang diantara mereka ? aku tidak ingin dianggap sebagai pengganggu.

“baiklah, ayoo” tanpa menunggu lagi, Akasia mendorong kedua bahu Jasmine pelan, sesaat sebelum nya Jasmine melambaikan tangan padaku.


**

Satu tahun kemudian, akhir musim hujan.

Bau tanah dan udara yang basah memenuhi koridor panjang sekolah, baru lima belas menit yang lalu hujan berhenti.

Saat itu setelah menghadiri rapat kegitan pencita alam, aku tengah berjalan di koridor sekolah yang sudah nampak sepi, aku melirik jam, memastikan pukul berapa sekarang. Lima sore. Ah itu artinya semua siswa sekolah sudah pulang sejak dua jam yang lalu.

Mataku menatap sosok mungil di ujung koridor, ia tengah duduk disalah satu bangku disana sambil mengibas-ngibaskan kakinya, mataku menyipit. Ah sedang apa gadis itu sore-sore begini.

Akhirnya aku menghampirinya, berniat menggagetkannya, namun siapa sangka sosok indah itu malah memergokiku duluan, ia tersenyum, sambil menyapaku dengan susunan nada riangnya seperti biasa.

“Hay ed ! kau belum pulang ?” tanyanya.

 Aku mengangguk. Mengacungkan map yang sedari tadi aku genggam.

“proposal kegiatan..”

“kegiatan pecinta alam ya ?” potongnya lagi.

Aku seperti robot yang lagi-lagi hanya mengangguk.

“kamu sedang apa ?” tanyaku tidak bisa menahan rasa ingin tahu, sempat tertangkap olehku bola matanya yang coklat dan besar seperti sedang menerawang.

“menunggu, Aka..” jawabnya sambil memalingkan padangan kearah depan, aku menyirit, lalu akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelahnya juga.

“sejak tadi ?” aku bertanya lagi. Gadis itu mengangguk.

Aku menatap gadis di sebelahku , kerudung yang menutupi kepalanya dengan bebas di mainkan anak-anak angin yang juga menyentuh pori-pori kulitku, udara sudah terasa lebih hangat karena seingatku saat itu sudah memasuki pergantian musim. Sebenarnya ada yang aneh dengannya, tidak biasanya ia diam, biasanya apapun akan keluar dari mulut mungilnya itu, namun sekarang ?

Aku tersentak sesaat dua bola mata bening itu menohokku.

“kenapa ed? ada yang salah dengan wajahku ?” tanyanya dengan suara riang seperti biasa, namun entah mengapa malah terdengar mengambang di udara.

Dengan ragu aku membuka mulut.

“kamu baik-baik saja ?”

“aku ?! tentu saja..” ia menjawab dengan tawa renyah. Namun itu tidak membuatku merasa puas dengan jawabannya.

“maksudku…” aku meneguk ludah sebelum melanjutkan “..kalian”

Aku  menangkap ekspresi sedikit terkejut, ia menunduk, menatap ujung sepatunya.

“kami.. tidak apa-apa” ia menatapku lalu tersenyum lebar.

Sesaat setelah itu ia merogoh saku. mengeluarkan gadget mahal masa kini. Menyentuh layar benda itu. kemudian berdiri. Aku mendongkak.

“Yah, sepertinya Aka tidak bisa pulang bersama” ia mengeluh, mengencangkan tali ransel berwarna peach miliknya.

Aku menatap gadis itu, bagaimana bisa dua jam ia menunggu dan saat seseorang yang menunggunya tidak datang, ia tidak marah ?!

“kau mau pulang sekarang tidak ed ?” tanyanya di imbuhi nada mengajak.

aku kemudian berdiri. “baiklah..”

Ia berjalan di depanku sambil mengayun-ayunkan tangannya.

Aku tetap tidak habis fikir, gosip yang beredar di sekolah tentang rengganggnya hubungan dua bintang ini cepat menyebar bak  jamur di musim hujan, jujur saja banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku dan  pertanyaan-pertanyaan itu memaksa keluar. Namun, setelah melihat rekasi gadis itu tadi. Aku dapat menyimpulkan sesuatu. Sudah jelas ada yang salah dengan mereka.

**

Pertengahan musim panas.

Aku menatap sekeliling , ini jam olah raga namun entah mengapa sejak tadi tidak ada yang berniat melakukan kegiatan tersebut, lagi lagi aku menyapu pandangan ada beberapa dari teman sekelasku tengah berkerumun di pinggir lapangan baset, beberapa dari anak perempuan bahkan sudah lenyap bergegas pergi ke kantin. Aku mengerut ,melemparkan bola basket itu sembarangan. Ah hari ini panas sekali benda bulat kuning itu sepertinya benar-benar berniat membakar kulit ku sampai ke sel-selnya.

Aku menyeka keringat dengan ujung lengan baju olahragaku, lalu berniat membasahi kerongkonganku dengan sebotol minuman juga.

Setelah mendapatkan apa yang aku cari, aku duduk di salah satu bangku tepi taman sekolah, menselonjorkan kakiku di bawah pohon ek yang rindang.

Tepat saat itu aku menangkap pemandangan yang seharusnya biasa saja, namun tetap tidak bisa. Terlebih ada beberapa pasang mata lain yang tengah menatap mereka juga.

Aku semakin melekatkan pandanganku pada dua sosok itu, seorang gadis pemuda tegap di depannya, dari jarak pandangku sekrang terlihat gadis itu seperti menyeret langkahnya, berusaha mensejajarkan dengan pemuda di hadapannya. Siapa lagi mereka jika bukan Jasmine dan Akasia.

“HEY !” seseorang menepuk pundak ku dari belakang, dan sontak membuatku terlonjak. Aku menoleh berusaha membunuhnya dengan tatapan bengisku dan sukese membuatnya meringis.

“apa yang sedang kau lakukan disini ?” Tanya Krisan teman sekelasku.

“istirahat..”

Krisan mengangkat bahu, lalu ikut duduk di sampingku, ia merebut kaleng minuman yang baru sekali ku teguk itu.

Setelah cukup puas meneguk isinya, krisan menaruh kaleng itu kembali di tangannku. Ia mengikuti pandanganku yang masih terkunci pada dua sosok itu. lalu berujar setengah berbisik.

“tahu tidak, katanya mereka sudah berpisah..”

Aku menoleh menatap Krisan.

“mereka ?”


Krisan menunjuk objek yang aku tanyakan dengan ujung dagu nya.

“sepertinya Akasia berpindah hati, katanya dia sedang mencoba mendekati Lily..”

Alisku berkerut, sedikit kesulitan saat Krisan menyebut nama Lily. Lily.. oh ya aku ingat.

“si murid baru yang seperti Barbie itu..” seperti menduga isi fikiranku, ia menjelaskan.

“katanya orang tua Akasia dan Lily itu bersahabat, kabarnya juga mereka akan mengadakan liburan ke pulau Lombok minggu depan. Pantas saja Akasia begitu tergila-gila pada Lily siapa juga yang tidak tertarik dengan gadis sesempurna dia..” lanjut krisan panjang lebar.

Tanpa sadar aku membuang nafas, entah mengapa merasa begitu kesal terhadap Akasia.

“bagaimana dengan Jasmine ?” aku tidak bisa membendung pertanyaan yang sedari tadi mencuat di kepalaku.

Kulihat krisan mengangkat bahu.

“kau kan sahabat kecilnya, seharusnya kau yang lebih tahu..” ujarnya ringan, lalu beranjak karena tepat saat itu bel tanda berakhirnya istirahat berdering nyaring.

*

Suatu sore saat aku tidak sengaja bertemu dengan Ibu Jasmine di taman kompleks.

Udara terasa lebih dingin dari biasanya, aku menatap wanita berusia akhir 30 itu yang tengah duduk disampingku ini.

“kamu apa kabar ed ?” Tanya wanita itu, membuka percakapan. Aku tersenyum.

“saya baik tante, bagaimana Tante sendiri ?”

“kamu bisa lihat saya sekarang..” jawabnya ,walaupun kerutan sudah terlihat di ujung senyumnya namun tidak sedikitpun mengurangi kencantikannya dan keanggunan wanita ini.

aku mengangguk. Tanda mengerti.

“namun beberapa hari ini ada yang berbeda dengan Jasmine. ” ujarnya suaranya terasa mengecil di bagian akhir.

Aku membulatkan mataku. Merasa begitu juga, Jasmine akhir-akhir ini memang lebih pendiam, ia tidak pernah pulang bersama lagi, ia tidak pernah mengunjungiku ke kelas pada jam istirahat –sekalipun sudah bersama Akasia- hanya sekedar untuk mengoceh hal-hal tidak penting. Atau berkeliling menggunakan sepeda pada saat minggu pagi. Kebiasaan itu hilang saat ia bersama Akasia.

Awalnya aku merasa kehilangan. Tentu saja, tapi bagaimanapun juga sahabat kecilku sudah beranjak dewasa, lagipula kulihat, Jasmine sepertinya begitu mencintai Akasia, begitu juga sebaliknya.

Aku mengerejap saat Ibu Jasmine menyentuh punggung tangannku, berusaha menyadarkanku dari lamunan.

“berbeda bagaimana tante ?”, bertanya pada wanita ini, Ia terdiam sejenak.

“Jasmin jadi anak yang tidak banyak biacara, lebih sering mengurung diri di kamar. Mungkin kamu tahu sesuatu yang terjadi antara Jasmine dan teman lelakinya ?”

“Akasia maksud tante ?” kulihat ia mengangguk.

“saya khawatir, Jasmine tidak ingin bercerita pada saya. Mungkin ia bercerita pada kamu ed ?”

Aku menggeleng.

“kamu ingat permainan putri dan pengawal ?”

Aku mengangguk. Mengerti apa yang di maksud oleh Ibu Jasmine. Itu adalah permainan yang sering kami –aku dan Jasmine- mainkan dulu.

“mainkan lagi sekarang ya ? jaga Jasmine untuk saya..” ucapnya.

Aku tertegun, menangkap tatapan memohon dari sorot mata wanita yang super baik ini. Dan tanpa ragu aku mengangguk.


**

Masa sekarang.

Akhir musim panas, awal musim hujan.

Langit tidak sedang memiliki mood yang baik sepertinya, tadi siang surya sepertinya sangat bersemangat namun sekarang benda itu kemana ? bersembunyi di awan hitam yang kini malah bergelayut di langit ? ah membuat cakrawala kelabu saja.

Atap bumi itu semakin galap saja, sepertinya akan ada badai, kalau begitu aku harus cepat pulang, atau terjebak di sini sampai nanti malam.

Benar saja aku baru seperempat melangkah, Guntur sudah bersahut-sahutan kilat sudah mulai berkeliaran, dan seperdetik kemudian air langit itu turun ke bumi berjatuhan dengan cepat, semakin sering, dan dalam sekejap bumi benar-benar basah.

Aku menghela nafas, merogoh saku ku, meraih ponsel dan mengetik beberapa kata, sebelum akhirnya layar benda itu hitam. Bagus, ponselku mati.

Dengan segala kekesalan aku melangkah,menembus gerombolan siswa lain yang juga tengah memadati koridor sekolah, yang sepertinya sedang asik menonton sesuatu di lapangan. Ah aku tidak peduli, tidur di perpustakaan sepertinya menjanjikan hal yang lebih menyenangkan untukku.

Tapi tunggu ! aku menghentikan langkahku, mundur beberapa langkah, kemudian tersentak saat melihat apa yang terjadi di lapangan.

Seorang gadis yang tengah menembus hujan, berjalan dengan tempo yang amat lambat, ia benar-benar menyeret kakinya, membuat seluruh tubuhnya di guyur  air, menuju satu titik yang sedari tadi sedang di jadikan ajang tontonan gratis oleh seluruh siswa. Jasmine apa yang sedang di lakukannya ?!

Aku lalu melempar pandangan, mencari sosok yang kemungkinan bertanggung jawab besar terhadap sahabat kecilku ini.

Dan terkutuklah dia ! itu Akasia, berada di sebrangku saat ini. Tubuh tegapnya dengan jelas merangkul seorang gadis berketurunan Astralia. Lily.

Tanpa fikir panjang aku berusaha menyalip beberapa orang yang berjubel memenuhi koridor. Memanggil satu nama yang benar-benar memenuhi otakku. Dan kemungkinan yang terjadi apabila ia tetap seperti itu tidak luput dari fikiran ku.

“Jasmine !”

“Jasmine !!” gadis itu tetap tidak bergeming, tetap melanjutkan langkahnya. Suara Guntur terdengar lagi. Aku mencoba memanggilnya lebih keras.

Jasmine !! Jasmine !!” dan aku berhasil, dengan sedikit terpaksa menarik lengannya.

Tiba-tiba seluruh sekolah bergemuruh, beberapa menyoraki.

“apa yang sedang kau lakukan ?!” tanyaku di sela-sela suara hujan. Ia tidak menatapku, namun berusaha keluar dari genggamanku.

Aku terkesiap menyadari genggamanku terlalu kuat kemudian melonggarkannya, dan berhasil membuat Jasmine terbebas, kemudian ia melangkah lagi namun dengan kecepatan yang lebih meningkat.

“Aka.. ayo pulang bersama..” ujarnya dengan nada bergetar, sukses membuat siapapun yang mendengarnya merinding, tidak terkecuali aku.

Aku menatap Akasia seakan ingin membunuhnya saat itu juga. Kemudian suara Jasmine terdengar lagi. Lebih bergetar dan menyayat dari sebelumnya

“Aka.. bisakah.. kitaa kembali sekarang.. aku..” gadis itu menggangtungkan ucapannya di udara membiarkannya menguap bersama hujan.

Kulihat akasia merekatkan rangkulannya terhadap gadis Barbie itu, menatap Jasmine tidak peduli.

“aku.. tidak lagi mencintaimu, pergilah !”

Dan lima silabel itu sukses membuat bahu Jasmine berguncang, sukes membuat kakinya meleleh hingga jatuh terduduk, sukses membuat seluruh sekolah bergemuruh, membuat beberapa siswa sudah mulai membubarkan diri, mengganggap pertunjukan ini selesai karena Akasia dengan angkuhnya berjalan, meninggalkan koridor, dengan terus menggenggam tangan Lily.

Aku secepat kilat menghampiri Jasmine yang saat itu sudah terduduk dengan bahu bergetar. Menarik lengannya halus, sedikit memaksanya untuk berdiri. Kemudian ia menurut.

Dan saat itu aku merasakan bahu gadis ini begitu rapuh sehingga aku harus menuntunnya ke tempat teduh, dan saat itu aku juga merasa setiap tetes air hujan yang jatuh pada tubuhku adalah tikaman pedang paling  tajam. Sama-sama menyakitkan.

Jasmine masih tersiak saat aku menyelimutinya dengan jaket yang tengah ku pakai.

“ini memang sedikit basah, tapi kau tidak akan kedinginan..”  ujarku sambil merogoh saku, mencoba sekali lagi menghidupkan ponselku. Namun hasilnya nihil.

Aku menghela nafas, lalu duduk di samping Jasmien, gadis manis ini masih menunduk, menyembunyikan wajahnya. Lalu entah karena dorongan apa aku menyentuh ujung dagu Jasmine mengangkatnya perlahan takut wajah cantik itu akan benar-benar hancur. Dan detik berikutnya aku lah yang merasa hancur, melihat kedua bola matanya yang tidak lagi terlihat bercahaya, digantikan dengan tatapan terlampau putus asa.

Ia menatapku, berusaha menarik ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum, namun itu membuatku merasa semakin tersakiti.

Dan entah karena dorongan apa lagi, aku menarik lengannya, mendekapnya dalam pelukanku. Tubuhnya serasa menegang.

“edelweiss..” ia bergeming dengan suaranya yang masih bergetar.

“menangislah..” ucapku, aku merasakan lengannya menyusup ke punggungku, kemudian ia menanis sejadi-jadinya.

Aku mengeratkan pelukanku pada Jasmine yang kian tersedu. Ada sebuah rasa menyakitkan seakan mengoyak lapis demi lapis hati seiring isakan yang keluar dari mulut Jasmine.

Jasmine gadis yang periang, ia pintar dan cerdas, ia menangis karena laki-laki tidak tahu diri itu.

Sudahlah .. aku mengelus kepala gadis dalam dekapanku.

Tampaknya, aku tahu mengapa setiap mendegar kata yang keluar dari mulutnya aku selalu merasa lebih semangat, mengapa setiap melihatnya aku merasa lebih berarti, mengapa saat ia jatuh seperti ini aku merasa benar-benar hancur.  

Dengar, Jasmine .. tolong dengar detak jantung yang berbunyi menyalahi aturan ini. aku tidak dapat menahan perasaanku. ia berteriak pada hujan yang menderu.

Tampaknya aku tahu, ini kesalahanku. Membuatmu jatuh ke tangan yang salah.

Jangan lagi buat hati masing masing kita sakit .. kataku pelan, masih dalam nurani.


Tampaknya aku tahu, aku telah jatuh cinta pada gadis ini yang masih dalam pelukanku.


Aku mencintaimu sejak dulu…

Dari edelweiss. Untuk Jasmine.

warmy 
shyfanurfa


Rabu, 13 Maret 2013

sepucuk surat untuk edelweiss - aku tidak menepati janji


Edelweiss, aku ternyata tidak bisa menepati janji.

Edelweiss, aku ingin melupakanmu namun disaat yang sama ia juga membuatku terlupakan.

Edelweiss, aku memang belum mengenal teduh itu, aku juga belum bisa menerima langit itu, namun mengapa saat berusaha belar akan hal-hal darinya aku malah merasa aku tidak akan bisa. Menurutmu aku harus bagaimana ?

Edelweiss aku tidak tahu mana yang benar-benar aku inginkan,

Edelweiss aku tidak tahu mana yang benar-benar nyata, entah kau atau dia.

Edelweiss aku.. aku tidak tahu apa yang ingin aku tulis.

Saat ini banyak sekali yang berkecamuk di fikiranku, mencuat satu persatu , mereka memaksa keluar namun aku tidak tahu aku tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya, seakan sudah di ujung jari namun menguap begitu saja, hilang entah kemana.

dan lagi-lagi aku terpaksa menulis dan menceritakan hal ini padamu.

Aku belum bisa berfikir jernih sampai sekarang, tentang mengapa aku harus menerimanya dengan mudah dulu, tentang mengapa ia memilihku waktu itu, atau tentang apa yang sedang kami jalani saat ini, padahal kami tahu bahwa saat itu kami tidak sedang bersama satu hal yang sama. Menurutmu aku harus bagaimana?

Edelweiss aku tahu, aku memang memepersulit diriku, dengan terus memikirkanmu dan tidak berusaha mengertikannya, namun inilah aku. Inilah duniaku. Aku tidak terbiasa dengan hal-hal baru, dan saat hal baru itu ternyata jauh dari perkiraanku, aku tidak tahu harus bagaimana.

Edelweiss,  Aku tidak lagi baik terhadap langit, aku bukanlah bintang yang baik, edelweiss langit bilang aku boleh memakai seluruh waktu ku untuk kebahagiaanku namun dengan begitu aku semakin bingung. Sebenarnya apa yang benar-benar aku inginkan ?

Edelweiss, langit bilang aku tidak perlu memaksakan diri, benar ! benar aku memang merasa sedikit terpaksa, aku juga entah mengapa bisa menyimpulkan hal itu, dan kenyataan bahwa ia memberikan waktu untuku berfikir juga membuatku merasa sedikit ringan, Edelweiss apa ini yang benar-benar aku inginkan ? lepas dari langit itu ? atau berubah menjadi nebula ?

Edelweiss, entah sejak kapan aku begitu merasa gelisah dan takut. Aku berharap banyak akan hubungan kami, aku berharap aku bisa.. aku bisa.. memberikan yang terbaik dan, dan.. bisa memberikan hal yang berbeda.

Edelweiss, ku bilang aku ingin bahagia, karena kau sudah disana, namuun aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Bayangmu masih saja jelas, diriku masih juga mempersulit segalanya, memaksakan hal yang sebenarnya sederhana dan bisa tertangani dengan baik.

Edelweiss menurutmu aku harus bagaimana ?

Terus bersinar atau menjadi nebula ?

Edelweiss bantu aku menemukan jawabannya. Bantu aku.