Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Sabtu, 15 Februari 2014

untitle

Aku percaya saat kau bilang langit tempatku.
Lalu dengan angkuh aku datang.
Kini aku telah sampai. Jauh dari tempat pengasingan.
Kau bilang aku boleh tinggal. Lalu aku menurut.
Hal yang kau buat memang berbeda.
Badai topan, hujan, bahkan pelangi.
Kau melukisnya dengan cara yang belum pernah kutemukan.


Kau bilang kita bersama. Lantas mengapa aku selalu terabaikan ?



Sabtu, 01 Februari 2014

[Cerpen] Empety (Skuel Swear it Again)

Hi, everyone. Here is my very first short story in 2014. Cerpen ini merupakan sekuel dari cerpen aku sebelumnya yang berjudul Swear It Again, tentang Naila dan Tristan yang menjalani hubungan jarak jauh. Bagi yang belum membacanya, bisa membacanya di sini

Cukup dengan preambulnya. Sekarang, ayo, duduk yang manis di depan komputer atau laptop, atau berbaring yang nyaman menghadap ponsel, tarik napas dan... selamat membaca!

---

Empty


You made me believe that we could go through all this long distance relationship stuff. But, now you say we can’t. It’s just like you give me a hope and then you take it away from me.And, that’s hurting me.

***

Minggu, 1 Desember
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           It’s snowing here!

Cuaca di sini mulai parah, Nai. Dinginnya kebangetan. Kamu masih ingat waktu kita pergi ke rumah es di Sun Plaza? Waktu itu, saking dinginnya kamu gak berhenti menggigil dan hidung kamu jadi semerah tomat. Aku masih ingat kamu terkena flu selama satu minggu penuh sepulang dari rumah es itu. And, guess what? Udara di sini, tuh dua kali lipat lebih dingin daripada di rumah es itu. Bisa kamu bayangin? Kalau kamu di sini mungkin kamu bakal terserang flu sepanjang musim dingin. :D

Anyway, it’s snowing here! Salju pertamanya turun pagi ini. Nih, aku kirimin foto perkarangan asrama aku yang diselimuti salju. You may not like coldness, but I know you love snow as much as you love me. Right? :P

Miss you sooooooooooo much. Wish you were here.

P. S : omong-omong soal flu, mama kamu udah sembuh dari flu?


Senin, 2 Desember
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           Re: It’s snowing here!

Mama udah sehat, Tan. Kamu dapat salam, tuh dari Mama. Katanya, beliau kangen ngobrol sama kamu. :)

Anyway, makasih, ya fotonya. Aku suka banget! You know, I always feel there is something magical about snow. White, tender, looks weak, but beautiful. Aneh gak, sih, Tan kalau aku segitu sukanya sama salju padahal aku belum pernah benar-benar ngeliat dan ngerasain salju? Duh, jadi pengen pergi ke sana dan ngeliat salju yang sebenarnya. :(

Tan, would you take me there someday when it’s snowing?


Kamis, 19 Desember
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           <No subject>

Nay, kenapa gak angkat telepon aku? Kamu masih marah karena aku lupa tanggal jadian kita? Nay, aku, kan udah jelasin kalau aku lupa karena aku disibukkan sama ujian. Please, understand me.


Jumat, 20 Desember
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           <No subject>

Aku marah bukan cuma karena kamu lupa tanggal jadian kita, tapi karena kamu juga gak ngasih aku kabar selama satu minggu penuh.  Kalau kamu memang sibuk ujian, setidaknya kamu bisa kasih tahu aku. Jadi, aku gak perlu habisin waktuku cuma untuk mikirin kemungkinan ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.


Jumat, 20 Desember
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           Sorry

Okay, I’m sorry. From now on, I promise I will call you minimum once three days, no matter what. Are you satisfied now?


Rabu, 2 Januari
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           What’s wrong with you?

Sekarang apa lagi, Nay? Kenapa kamu gak angkat telepon aku? Just what’s wrong with you?


Rabu, 2 Januari
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           Re: What’s wrong with you?

What’s wrong with me? There is nothing wrong with me except I was waiting for your new year call like an idiot while you were having fun with your friends at some new year party. Yeah, I know that from the photos you uploaded on Facebook.

Actually, the question must be: what’s wrong with you? Why do I feel like you always forget me lately?


Rabu, 2 Januari
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           I’m sorry

I’m sorry, Nay. The fact is my phone was broken at that time. So, I couldn’t call you. And I thought I would call you tomorrow.  I’m sorry. I didn’t mean to forget you.


Minggu, 27 Januari
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           <No subject>

Maaf, Nai. Aku gak bermaksud kasar waktu aku nutup telepon secara sepihak. Aku cuma gak ingin memperburuk keadaan. Karena aku dan kamu tahu kalau kita terusin pembicaraan kita tadi, kita hanya akan terus bertengkar. Dan, aku gak mau itu.


Minggu, 27 Januari
From                :           Tristan Wiandra
To                    :           Naila Aurora
Subject             :           <No subject>

I’m sorry, Nai. Aku janji gak bakal nutup telepon secara sepihak seperti tadi lagi.


Jumat, 1 Maret
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           <No subject>

Tan, kenapa kamu gak angkat telepon aku? Lagi sibuk, ya?



Senin, 4 Maret
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           <No subject>

Tan, kamu kenapa, sih? Sesibuk itukah kamu sampai-sampai gak bisa angkat telepon atau minimal balas email aku?


Jumat, 8 Maret
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           How are you?

I still remember you ever promised me to give me a call once three days, no matter what. But, now it’s been a week and you don’t even give me a single call.

Just how are you there?


Rabu, 13 Maret
From                :           Naila Aurora
To                    :           Tristan Wiandra
Subject             :           I miss you

It’s almost been two weeks without any news of you. Is there something bad happened to you? Please call me or at least reply this email, so I can know you are all alright. I miss you, Tan.

***

Angkat dong, Tan. Angkat.
            Berulang kali Naila merapalkan kalimat itu dalam hati selagi ia menunggu panggilannya dijawab. Lima detik berlalu dan semua yang ia dengan masih nada tunggu monoton itu. Naila mulai berjalan mondar-mandir dalam kamarnya. Tangannya yang bebas basah dan terkepal erat.
            Tan, angkat.
            Namun, ketika akhirnya suara Tristan menjawab panggilan, Naila justru tersenyum kecut. Kepalan tangannya terurai dan tergantung lemah, seolah-olah ia baru saja kehilangan sebagian besar tenaganya dalam waktu sepersekian detik.
            Paradoks, batinnya getir.
Saat ini, selama dua minggu ini, ia begitu merindukan suara Tristan. Tapi, mendengar suara Tristan di ujung sana malah membuatnya merasakan ada sesuatu dalam tubuhnya yang baru saja mencelus.

Hi, it’s me, Tristan. I’m sorry I can’t answer your call right now. Please leave me a message.

Satu desahan berat keluar dari mulut Naila.
            Bukan. Bukan suara Tristan yang seperti ini yang ingin Naila dengar. Bukan suara Tristan yang otomatis terdengar ketika pria itu tidak bisa menjawab telepon. Bukan pula suara Tristan yang direkam dan menggumamkan kalimat yang itu-itu saja.
            Tapi, suara Tristan yang berbincang kepadanya. Yang menggodanya. Yang bercanda dan tertawa.
            Satu desahan lagi dan tubuh Naila pun merosot ke tepi tempat tidurnya. Selama beberapa saat ia terdiam sambil menggigiti bibir bawahnya. Kemudian, diawali dengan satu tetesan air mata, ia meninggalkan pesan itu. Pesan yang sama seperti yang ia tinggalkan kemarin dan kemarinnya lagi. Pesan yang selama dua minggu ini tidak mendapatkan balasan apa pun.
            “It’s me, Naila. Please call me back soon. Or reply my email. It’s been two weeks, Tan. Two weeks since our last call. I...
            “I miss you...

***

“Tristan, kamu ke mana aja, sih?”
            Suara Naila menerjang telinga Tristan bahkan sebelum pria itu sempat mengucapkan ‘halo’. Tristan tersenyum tipis, lalu membuka mulut. Tetapi, sekali kali, sebelum ia sempat mengucapkan apa-apa, suara Naila kembali terdengar.
            “Ditelepon gak diangkat. Email gak dibalas,” cerocos Naila.
            Tristan berdiri di dekat jendela kaca besar kamar asramanya. Matanya memperhatikan lapangan basket di dekat gerbang masuk asrama. Lapangan itu tadinya ramai. Namun, sejak beberapa jam yang sudah ditinggali oleh anak-anak asrama demi menonton pertandingan sepak bola. Sekarang lapangan itu kosong dan remang-remang, cuma diterangi oleh sebuah lampu sorot yang mengarah langsung ke tengah lapangan. Bungkus-bungkus makanan ringan dan bekas botol air mineral berserakan di tepi lapangan. Ada satu bola basket yang tertinggal di sana.
            “Maaf, Nai,” ucap Tristan menyesal. “Aku sibuk banget belakangan ini.”
            “Setidaknya, kan kamu bisa balas email aku. Sesibuk apa, sih kamu sampai gak bisa balas email? Berapa lama, sih waktu yang dibutuhin untuk balas email? Paling cuma lima menit.”
            Senyum Tristan memudar. Ia terdiam sebentar, berusaha tidak terpengaruh oleh nada ketus Naila. Kemudian dengan satu tarikan napas, Tristan berkata, “I said I was sorry.”
            “As if sorry is just enough,” balas Naila datar. “Kamu gak tahu, kan betapa cemasnya aku di sini. Dua minggu, Tan! Dua minggu kamu gak ada kabar. Aku kira kamu kenapa-kenapa di Argentina sana. Aku kira kamu sakit atau kecelakaan atau apa pun itu dan kamu terlalu buruk untuk kasih kabar ke aku atau ke siapa pun. Kamu gak tahu, kan betapa buruknya mood aku belakangan ini? Aku sampai ditegur dosen gara-gara gak konsen di kelas, dimarahi Papa gara-gara nilaiku merosot.”
            “Kok kamu jadi salahin aku, sih?” balas Tristan tidak terima. “Nilai kamu merosot, kan karena kamu sendiri. Aku paling gak suka saat kamu mulai menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri.”
            “Nilaiku merosot, kan gara-gara kamu gak ada kabar. Aku jadi cemas. Pikiranku melayang ke mana-mana. Aku jadi gak konsen belajar. Dan, kalau kamu lupa, kamu sendiri yang janji bakal kasih aku kabar minimal tiga hari sekali, sesibuk apa pun kamu. Aku paling gak suka pria yang ingkar janji!”
            “Aku...” Tristan berhenti dengan tiba-tiba, sadar kalau ia meneruskannya, suaranya akan mengeras dan meninggi. Dan, pertengkaran itu akan terjadi lagi. Ia tidak mau bertengkar. Saat ini ia sudah terlalu lelah untuk bertengkar.
            Tristan mengalihkan pandangannya dari luar jendela ke Rossaline yang sedang duduk di atas lantai, menghadap meja lipat yang diletakkan di dekat kaki ranjang. Tristan yakin sebelum ini Rossaline tengah sibuk mengerjakan tugas kelompok mereka. Tapi, mungkin karena mendengar suara Tristan yang tadi nyaris meninggi, gadis itu kini menatap Tristan sambil mengangkat alis.
            Tristan tersenyum kecil dan menggeleng pelan, isyarat agar Rossaline mengabaikannya. Kemudian Tristan kembali pada Naila.
            “Okay, I’m sorry,” ucap Tristan tidak tulus.
            “Don’t say you are sorry if you don’t really mean it!
            Tristan mendesah dan memijit pelipisnya sebentar. Ia merasa tertekan. Tertekan karena harus mengejar deadline tugas kelompoknya. Tertekan karena harus menghadapi Naila.
            Pikiran itu membuat Tristan tertegun. Sejak kapan ia merasa tertekan menghadapi Naila?
            Tristan menggeleng pelan, berupaya menjernihkan pikirannya. Dengan nada mengalah, tanyanya kemudian, “Jadi, sekarang mau kamu apa?”
            “Mau aku...”
            Tristan tidak begitu menyimak apa yang dikatakan Naila karena saat itu Rossaline bertanya kepadanya.
            “Tristan, do you have any pen? Mine runs out of ink.
            Tristan menjauhkan ponselnya dari telinga. “I think I have one in that drawer.
            Rossaline bangkit berdiri dan berjalan menuju meja belajar Tristan. Ditunjuknya salah satu laci.
            “No, not that one. Beside it.
            Rossaline menunjuk laci di sebelahnya. “This?” tanyanya memastikan.
            Tristan mengangguk. Kemudian Tristan mendekatkan ponselnya kembali ke telinga dan berkata, “ Sorry, Nai. What did you say?
            “Kamu lagi di mana?” tanya Naila curiga.
            “Hah?”
            “Kamu lagi di mana?” Naila mengulangi.
            Tristan melihat Rossaline menunjukkan pen yang baru ia keluarkan dari laci dan mengucapkan ‘thanks’ tanpa suara. Tristan mengangguk dan Rossaline kembali sibuk mengerjakan tugas.
            “Aku lagi di kamar.”
            “Kamar?”
            “Kamar asramaku,” Tristan memperjelas. “Kenapa?”
            “Kenapa?!” sembur Naila. “Ada cewek di kamarmu dan kamu masih nanya kenapa?!”
            “Nai, kami cuma ngerjain tugas kelompok.”
            “Di kamar?”
            “Ruang rekreasi asrama lagi dipakai anak-anak buat nonton bola.”
            “Jam sepuluh malam?”
            “Kami lagi ngejar deadline, Nai.”
            “Berdua?”
            “Jangan mulai, deh, Nai...”
            “Well, sekarang aku tahu sibuk seperti apa yang kamu maksud tadi,” tandas Naila dingin.
            “Are you jealous?
            “Aren’t I?
            “We are just classmate. Nothing more.
            “Ya. Dan, kita dulunya juga cuma teman sekelas.”
            Tristan membuang napas dengan kasar. “Now, you sound so childish.
            “Childish?!” pekik Nayla tidak percaya. “I’m jealous because there is a girl in my boyfriend’s room at 10 PM and you said it was childish? Now, you tell me what the mature thing is? Let a boy in my room at 10 PM?”
            Rahang Tristan mulai mengeras. Pelipisnya berdenyut-denyut dan tengkuknya terasa dua kali lebih berat dari sebelumnya.
            “Udah, deh, Nai,” ujar Tristan lelah. “Aku lagi gak pengen bertengkar sama kamu. Aku gak pengen percakapan ini ditutup dengan pertengkaran dan ujung-ujungnya aku lagi yang mesti minta maaf ke kamu.”
            “Jadi, sekarang kamu mulai perhitungan?”
            Tristan mengusap wajah dan menyisir rambutnya ke belakang dengan satu gerakan. “Nai, please...” Tristan memohon. “I really don’t want to fight with you. My task already wore me out. I feel tired. I’m stressed out. Aku telepon kamu karena aku pikir kamu bisa hibur aku.”
            “Oh, kamu telepon aku karena kamu pengen cari hiburan? Bukan karena kamu peduli sama aku dan email-email aku yang gak kamu balas?”
            “You are so childish!” sembur Tristan.
            “Ya, aku memang kekanakan!” Naila menyembur balik. “Dan, aku gak bisa kasih kamu hiburan karena aku bukan tempat hiburan. Mungkin cewek centil di kamarmu itu lebih dewasa dan bisa kasih kamu sedikit hiburan.”
            Tanggul kesabaran Tristan akhirnya benar-benar runtuh.  “Nai, jaga bicara kamu!” bentaknya.
            Rossaline mengangkat kepalanya dengan satu sentakan cepat, menatap Tristan dengan raut wajah kaget. Tristan mengulas senyum minta maaf, lalu menunjuk ke arah pintu dan berucap tanpa suara: would you?
            Rossaline mengangguk mengerti, kemudian berdiri dan beranjak menuju pintu. Di ambang pintu, kepada Tristan, gadis itu meletakkan tangannya di depan dada, memberikan isyarat agar Tristan bersabar. Lalu gadis itu berlalu keluar.
            Kamar Tristan tiba-tiba menjadi hening tanpa suara pen Rossaline yang beradu dengan meja dan gemeresak-gemeresak kertas. Dan, di tengah keheningan seperti ini, Tristan bisa mendengar dengan jelas ada getaran asing yang menyelip ke dalam suara Naila.
            “Tan, you... You never shout at me even when we had our worst fight. And, now you shout at me for a girl that you say is just your classmate?
            “Aku ngebentak kamu bukan untuk belain dia, tapi karena kamu udah keterlaluan.”
            Hening selama beberapa saat.
            Kemudian Naila berujar dengan setengah suara, “You have changed, Tan. Dulu kamu selalu bisa sabar hadapin aku yang katamu kekanakan. Kamu bahkan gak pernah bicara dengan nada tinggi ke aku. Tapi, belakangan ini kamu gampang banget emosi. Kamu jadi sering gunain nada tinggi ke aku.” Naila terdiam sejenak. “You have changed so much that I feel like I don’t even know you anymore.
            Tristan terdiam. Ia memejamkan kedua matanya dengan lelah. Ketika ia membuka matanya kembali dan menarik napas panjang, dalam tekanan suara yang datar, ia mengaku, “Me too.
            Ada sensasi yang menjalari setiap senti tubuhnya setelah Tristan mengucapkan dua kata itu. Sebuah sensasi yang melegakan, seperti ada beban berat yang baru diangkat dari pundaknya. Tiba-tiba Tristan teringat pada perkataan Rossaline beberapa minggu yang lalu, saat ia menceritakan tentang hubungannya dengan Naila dan pertengkaran-pertengkaran yang mewarnainya belakangan ini.

Sometimes, when you can’t hold on anymore, all you have to do is just letting it go.

            Mungkin Rossaline benar. Mungkin hubungan ini sudah sampai pada titik yang tidak sehat untuk dipertahankan. Mungkin selama ini ia sudah tahu itu, namun ia terlalu takut untuk mengakuinya. Dan, ketakutan itu justru membuatnya tertekan.
            Mungkin... ini saatnya.
            “Dan, aku rasa aku gak bisa jalani hubungan dengan orang yang gak aku kenal lagi,” gumam Tristan kemudian.
            “Wh-what do you mean?” Naila terbata.
            Tristan memandang keluar jendela, kembali memperhatikan lapangan basket yang sepi. Ia menatap lampu sorot yang menyala di sana. Suaranya terdengar setengah melamun saat ia bertanya, “Nai, do you ever think that maybe... maybe they are right?
            “About what?” Naila balas bertanya dengan defensif.
            Tristan mengulum bibirnya. “About this long distance relationship. That it’s almost impossible to maintain.
            “Tan, j-just what do you mean?
            Jantung Tristan mulai berdebar kencang. Dadanya terasa semakin penuh seiring dengan setiap kata yang ia tuturkan setelahnya.
            “I mean... perhaps we need space and time to think over again. About this. About us. About our relationship.” Tristan berhenti sebentar untuk mengatur napas, lantas meneruskan, “Kita gak bisa terus-terusan bertengkar setiap kita teleponan. Ini gak sehat, Nai.”
            “Are you breaking up with me?” desis Naila.
            “Nai, listen to me,” kata Tristan lembut. “Aku ingat aku pernah bilang ke kamu kalau kita bisa membina hubungan ini asalkan kita mau berusaha. Dan, ya, kita memang berusaha. Tapi, kita harus mengakui kalau semua ini sangat melelahkan. Karena... karena mungkin kita berusaha terlalu keras. Mungkin kita terlalu gengsi untuk mengakui kalau kita tidak bisa. Mungkin kita terlalu ingin mempertahankan hubungan ini. Dan, tanpa sadar kita justru jadi saling menyakiti. Jadi, aku pikir mungkin...”
            “Wait a minute,” potong Naila. Kemudian dengan suara yang pecah, ia bertanya, “Are you breaking up with me?
            “I just give us space and time to think.
            “Oh my God!”cicit Naila.
            “Nai, listen to me. This is not really a break up. We just set each other free to think.
            “But, this totally sounds like break up to me.
            Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara. Yang terdengar hanyalah suara napas masing-masing yang terdengar tidak teratur.
            “It’s been more than a year, Tan.” Naila mulai terisak. Dan, mendengar gadis itu terisak membuat Tristan sakit. “Why can’t we survive for another year?
            Dengan berat, Tristan menjawab, “We both know it will not work out.
            “But, you said we would survive.
            “Nai...”
            “You said we would prove that this relationship deserves to sustain.
            Tristan menyandarkan tubuhnya ke dinding, seolah-olah sebagian besar tenaganya telah menguap dalam beberapa menit terakhir. “Nai, please...”
            “Why can’t we survive?” ulang Naila, kali ini dengan nada mengiba dan putus asa yang membuat seluruh tulang Tristan melunak seketika.
            Dan, apa yang terjadi selanjutnya merupakan salah satu momen paling menyakitkan yang pernah Tristan lewati: mendengar Naila menangis.
            Ini pertama kalinya Tristan mendengar Naila menangis. Dan, kesadaran bahwa ia pernah berjanji tidak akan membuat Naila menangis, kesadaran bahwa justru sekarang ia yang membuat Naila menangis membuat Tristan merasa telah menjadi laki-laki paling berengsek di dunia.
            Butuh usaha yang besar bagi Tristan untuk bertahan dari berbagai macam perasaan menyesakkan yang mengobrak-abrik dadanya. Ia terdengar selemah ranting kering ketika ia menjawab, “I can’t. You can’t either. We just can’t anymore. If we keep going on, it will just be hurting us. And, I don’t want to hurt you.
            “You are hurting me right now,” tandas Naila. Naila berusaha menghentikan tangisnya, namun tidak bisa. “You... you made me believe that we could go through all this long distance relationship stuff. But, now you say we can’t. It’s just like you give me a hope and then you take it away from me. And, that’s hurting me.
            Tristan tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini bukan hanya menyakiti Naila, tapi juga dirinya sendiri.
            “I’m sorry...”
            Tristan menelan ludahnya. Bahkan menelan ludah pun kini terasa sulit dan menyakitkan.
            “One day...” Tristan memulai, “when I come back, when we’re done thinking, and if we are meant to be together, then we will be together.
            Naila tidak menjawab.
            “Nai, kamu dengar aku?”
            Naila masih tidak menjawab.
            “Nai, aku sayang kamu...”
            “Don’t you dare!” salak Naila. “Don’t you dare say you love me when you just broke my heart.
            “I don’t mean...
            “I hate you, Tristan!” sembur Naila marah. “I hate you!
            Dari ujung sambungan Tristan mendengar suara gedebuk keras. Ponsel yang dilempar, mungkin. Dan, kenyataan bahwa ponsel itu masih hidup begitu menyiksa Tristan. Sebab, lewat ponsel yang baru dicampakkan itu, Tristan bisa mendengar suara tangisan Naila yang kini hampir terdengar seperti raungan.
            Tidak sanggup mendengar lebih lama lagi, Tristan pun menekan tombol merah di ponselnya. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke atas lantai. Kedua tangannya terkulai lemas. Ia menatap lantai dengan muram dan baru sadar kalau matanya penuh oleh air mata. Ia berkedip sekali dan air matanya pun menetes.
            “Shit,” makinya.
            Dari dulu ia paling tidak suka menangis. Menurutnya, laki-laki itu harus kuat. Menurutnya, menangis itu cuma untuk orang-orang lemah.
            Namun...
            “Shit,” makinya sekali lagi saat air matanya tidak mau berhenti.
            Ia tidak pernah menyangka kalau kehilangan ternyata bisa semenyakitkan ini.

Tried to take a picture of love
Didn't think I'd miss her that much
I want to fill this new frame
But, it's empty

Tried to write a letter in ink
It's been getting better I think
I got a piece of paper
But, it's empty
It's empty

Maybe we're trying
Trying too hard
Maybe we're torn apart
Maybe the timing
Is beating our hearts
We're empty
(The Click Five - Empty)

Selesai

---