Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Kamis, 29 Desember 2011

dalam diam (cerpen)



Untuk orang-orang yang masih memendamnya,
untuk mereka yang tangguh membisu
Cerita ini hanya sekian banyak cerita sederhana yang sebenarnya tidak akan menguras air mata, tersembunyi di balik indahnya dunia, tak terjamah layaknya aurora.

*
Aku menyukainya, ya aku rasa aku sangat menyukainya. Tapi aku tak berfikir untuk mengungkapkannya, karena dalam diam apapun di perbolehkan.
Tapi..
Seandainya masih ada harapan -sekecil apa pun- itu untuk mengubah kenyataan, aku bersedia menggantungkan seluruh hidupku pada harapan itu..
***

Kepada gerimis yang menyapa pagi
Dengarkanlah aku berbagi ini tentang dia
Dan bagaimna aku menyimpan rasa
Di balik sayap dara-dara

Kepada gerimis yang mencumbui pagi
Maknai baris cerita ini
Masih tentang dia
Dan aku yang menangis letih
dalam tumpukan pecahan hati

Kepada gerimis yang berkelakar dengan pagi
Simpan kisah ini sendiri
Semuanya tentang dia.
Dan aku yang ragu menyentuh dengan jemari sejuta rindu

Kepada gerimis
Aku masih memendamnya
Di pucuk kalbu, di lembah hati
Tempat segalanya ku nanti

-Kepada gerimis (David)-

**

Gadis itu terbaring  di sudut kamarnya pasrah, bukan hanya pakaiannya saja yang terlihat semerawut, bahkan wajahnya terlihat sangat kusut  , ruangan ini sudah tidak terlihat seperti kamar tidur, bagaimana tidak , pakaian bertebaran dimana-mana, laptop dibiarkan menyala begitu saja, buku-buku setebal lebih dari 5cm berserakan di setiap sudut kamar itu.

Gadis itu menutup matanya rapat-rapat sudah sejak dua jam tadi ia mencari buku referensi untuk skripsi-nya yang harus di kumpulkan minggu depan, tapi usahanya sia-sia ia tak menemukan buku bersampul biru itu di kamarnya.

“dimana buku ituu..” gumam gadis itu,  merasa sangat frustasi. Tiba-tiba Pori-porinya terasa dingin ah pantas saja jendela kamarnya terbuka sejak tadi sore, dengan gerakan cepat ia menutup jendela itu, tibatiba ekor matanya menangkap sesuatu, ia melihat buku itu diatas lemarinya !

Oh Tuhaan untung sajaa..  karena jaraknya yang agak tinggi gadis itu memerlukan bangku untuk mencapainya, dengan sisa semangat dan rasa lelah yang luar bisa gadis itu bersusah payah menggapainya. Dan.. braaak !!! seluruh tumpukan buku di atas lemari bajunya berjatuhan ia juga ikut bersempuh.

“aww..” gadis itu sedikit meringis. Senyumannya mengembang setelah di genggamnya buku itu, pluk ! sesuatu jatuh di pangkuannya, air muka gadis itu berubah seketika setelah melihat sebuah buku tulis yang sedikit kucel dan tipis, dengan tangan bergetar gadis itu mulai membuka halaman pertama.

Aku sudah terbiasa menghirup adiksimu tanpa kau tahu
Menikmatinya, membiarkannya mengalir di jantungku
Menyebar ke seluruh sel tubuhku, lantaas membiarkan hatiku menjadi pecandu

Salahkah ?
Karena pada dasarnya kau tak pernah menyadari
Bahwa aku tengah mencuri, menikmati getaran dan buncahan liar yang tak pernah ku mengerti.
*
Begitu potongan kalimat yang di tulis tangan rapi, taba-tiba ingatan gadis itu melayang, memutar film-film klise-nya dulu.
*
Semilir angin dengan bebas memainkan anak-anak rambut ikal Gadis itu yang masih mengunci tatapannya disana, sebentar tersenyum lalu menunduk lagi meneruskan kegiatan rutinnya.
Menggambar. Ya, gadis cantik ini suka sekali menggambar, ia akan menyampaikan apapun yang menurutnya menarik lalu menuangkannya dalam goresan-goresan indah di sket book-nya.
Jemarinya terhenti saat ia merasakan ada yang sedang memperhatikannya, ia menoleh dengan reflex menutup buku gambarnya.

“ciiiieee.. masih hobi ya gambar-gambar sii..”
“sssssttttt..” desis gadis itu sambil membekap mulut seseorang dihadapannya, setelah memastikan tidak ada yang mendengarkan ia melepaskan tangannya.
“Deaaaa.. kalau ada yang denger gimana ??” Tanya gadis itu dengan wajah khawatir.
Gadis yang di sebut Deaa tadi malah tertawa, lalu melanjutkan “mau sampai kapan Ifyyy ?” tanyanya sambil menjawil dagu tirus Ify –gadis itu-
Ify hanya tertunduk, lalu tersenyum. “gak tau” ucapnya cengegesan lalu segera beranjak pergi dari tempanya duduk, meninggalkan sang objek gambar yang tengah mendribel bola basket, dan sahabatnya Dea yang memanggil namanya gemas.”ifyyyyyy..”

*
Gadis itu tersenyum, lalu membuka halaman selanjutnya
*

Karna  terKadang hanya dengan menatap matanya bisa membuatku nyaman
Melihat goresan senyumannya bias membuatku  bahagia.
Mendengar desah suaranya bisa membuatku merasa lengkap.
Walaupun..
 tatapan itu tidak selalu padaku, desah suranya bukan selalu  ditujukan untuk telingaku, dan senyuman indahnya bukan tertuju untuk ku.
Tapi mengapa..
Hati ini selalu bahagia asal dia ada.

*
Gadis itu terkekeh membaca tulisan tadi, ia ingat sekali kajadian tempo hari
*
Dengan resah Ify melirik bangku belakangnya, Dea yang melihat gerakan sahabat nya berujar
“telat kali, tenang ajaa..” ucapnya sambil menyenggol lengan sahabatnya. Ify yang mendengar itu hanya mengangguk pasrah.
Sudah hampir seminggu, objek gambar Ify tak masuk sekolah, ia mendengar kabar bahwa objek gambar-nya itu sedang sakit.
Tak berselang 5 menit kemudian, pintu kelas terbuka, di baliknya menyembul tubuh tegap seorang pemuda, ia masuk dengan langkah biasa, salah satu lengannya dimasukan ke saku celananya. Ia sempat melirik Ify dan tersenyum –walau-sangat-tipis- sekilas lalu berjalan mengahampiri seorang Guru yang tengah mengajar di kelas Ify tersebut.
Mendapat perlakuan seperti itu sontak membuat wajah Ify memanas, Dea yang melihat kejadian tadi hanya bisa berdecak gemas.

Bahkan setelah istirahat jam pertama saat teman-teman yang lain asik menyantap bekal makanannya ify masih saja tersenyum dengan jari-jari lentiknya yang mulai menghiasi sket-booknya. 
Dea yang memang tipe orang agak cerewet ini berujar “segitu seneng nya ya lo Fy sama diaa..” ucap Dea yang disambut dengan senyuman Ify yang makin lebar.

*
Tanpa pernah kau tahu,
Bagiku Kau berbeda dan istimewa
Dimataku Kau sederhana dan indah
Aku menyukai segalanya tentang mu
Aku selalu menemukan alasan..
 untuk terus mengagumimu
*
Begitu potongan selanjutnya kali ini dilengkapi gambar seseorang yang tengah tersenyum ramah –yang-entah-pada-siapa-
Ah, mencintai dalam diam, selalu berlebihan ya ?
*
Aku akan terus merekam hal ini, raut wajahnya, sikap sok tahunya, senyum manja dan gerak-gerik mencurigakan matanya.
Akanku ingat, walau aku tau, ia tak mungkin melihatku bahkan dari sisi manapun, tapi jika boleh aku bermimpi aku ingin menggapainya, ah jangan. Menyentuhnya saja sudah membuatku benar-benar hidup.
Kalimat ini di lengkapi dengan gambar seseorang yang tengah menenteng gitar di tangannya, sederhana namun benar-benar terlihat hidup.
Gadis itu ingat, sangat hapal malah, ia ingat bagaimana sahabatnya itu menceritakan objek gambarnya  dengan mata yang berbinar
*
Harusnya aku berpura-pura agar ini tak begitu sulit, agar ini tak begitu rumit
Memang, seharusnya aku berpura-pura agar hati ini tak lagi bernanah
Agar paru-paru ini tak penuh sesak saat menghirup sisa-sisa kehidupanmu
Aku harus berpura-pura agar detak ini masih berdenyut,
Agar jiwa ini tetap hidup.
Karena Mencintaimu, hilang warasku.
*
Ify kini mematung, tatapannya kosong, Yang Maha Kuasa sedang menguji gadis cantik berjawah tirus ini. Dalam guyuran hujan Nampak dua sosok manusia yang tengah menjadi pusat perhatian hampir satu sekolah.
Tubuh Ify bergetar hebat, otaknya sudah memerintah kaki Ify agar menjauh namun hatinya menolak, ingin sekali melihat adegan-adegan klise seperti di novel-novel itu. kini tanah tengah mengejeknya, cahaya memusuhinya, bahkan anginpun enggan mendesaunya.
“terima ! terima ! terima !!” teriak seantero sekolah, saat sang pemuda objek gambar Ify itu berlutut dengan mawar putih di tangannya, guyuran hujan deras tak sedikitpun ia hiraukan.
Proookk..proook..prrook.. suara tepuk tangan terdengar seantero sekolah, saat sang gadis menggangguk malu, dan udara saat itu terasa terhenti mengaliri tubuh Ify, darahnya berhenti berdesir, tatapannya tiba-tiba kabur,ia merasa limbung dan kosong. Tiba-tiba kakinya terasa emas kalau saja Dea tidak sigap menahan tubuh Ify ia mungkin akan tergeletak di lantai begitu saja.
“kita pulang ?” Tanya Dea dengan tatapan nanar, di jawab dengan anggukan Ify.
*
“bodoh !” umpat gadis itu saat menatap lembaran terkahir yang di tulisi oleh siempunya karena pada lembar-lembar berikutnya ia tak menemukan setitikpun tinta disana. Sambil menyeka air matanya , di lembaran akhir kertas itu tertulis.

Dia adalah alasanku untuk tetap bertahan
Dia alasanku untuk tetap berdiri
Dia, dia matahariku. Namun sinarnya bukan untukku.
Dia, dia pelangiku. Namun ketujuh biasnya tak pernah dia sampaikan untukku
Tapi sekali lagi, dia istimewa dan aku menyukainya
Dia ibarat pelangi dan aku hanya pengikatnya
Tanpa pernah ingin memilikinya..

Dan kali ini Aku lelah menulis. Biar saja, kisah ini terhenti,
Biar saja ku simpan semuanya di hati.
*
Tiba-tiba sebutir air meleleh di pipi gadis itu, ia membekap buku tulis itu semabri menutup matanya, ia masih ingat, pesan terakhir sahabatnya.
*
“jaa-ga di-aa untuk aa-ku Deaa..” ucap ify terbata-bata yang tengah terbaring lemah di salah satu ruangan serba putih denga bau obat yang menusuk ini.
Dea menggeleng cepat, kini berganti memegang wajah cantik Ify yang terpulas putih pucat pasi.
“kamu kuat..” ucap Dea dengan suara bergetar, sambil meyeka air matanya.
Ify menggeleng, ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan itu Nampak wajah-wajah cemas dan lelah bahkan ibu ify tidak melepas genggaman tangan ify sejak ia sadar. Ify tersenyum. ia  tahu waktunya sudah dekat, bahkan hanya untuk menghela nafas saja ia sudah tak kuat.
“akuu.. percayaa.. jaa-ga.. dii-aa untuk kuu..” ucap Ify untuk yang terakhir kali, karena setelah itu gadis manis ini merasakan sesak dan nyeri yang luar biasa, ia berusaha mengyunggingkan segores senyum saat telinga ify sayup-sayup menyerukan namanya, namun ia tidak kuat lagi, ia merasa sudah lelah melawan, akhirnya ia membiarkan matanya tertutup. Untuk selamanya.
*
Sinar mentari menyentuh pori-pori gadis itu lembut, hangat sama seperti biasanya, perlahan gadis itu menggeliat , setelah kesadarannya pulih ia bergegas ke kamar mandi memebersihkan diri karena hari ini ada banyak hal yang harus ia tuntaskan.
*
“jadi begitu Rio..” ucap Gadis manis disampingnya sambil menghela nafas panjang, lelah juga setelah bercerita banyak tentang Ify pada pemuda-nya ini.
Untuk beberapa menit mereka hanya diam, mengisi kekosongan dengan fikiran mereka yang sibuk sendiri.
Gadis itu melirik pemuda di sampingnya sebentar, lalu mendesah lagi ada gurat penyesalan disana. Matanya menatap lurus nanar.
“Deaa..” ucap pemuda yang di sebut Rio pada gadis disampingnya.
Dea menoleh, “temani aku ke pusaranyaa..” ujarnya dingin di jawab dengan anggukan gadis manis itu.
*
Pemuda itu masih terpekur dalam diamnya. Sedih pastinya. Tapi dia tidak menangis, barangkali air matanya sudah terkuras habis tak bersisa. Rio. Ia terus mengelus-elus marmer putih yang menjadi nisan untuk makam Ify.
“aku minta maaf, bukan ku tak pernah menyadari kalau kau itu telah berada sebegini dekat denganku, hanya sajaa..” Rio menghentikan ucapannya, ia menunduk dalam, memegang nasan itu semakin erat.
Ia sungguh sangat menyesal, kalau saja ia tahu lebih awal bahwa ia bisa membuat ify terus hidup dengan keberadaan dirinya, ia tak akan pergi sedetikpu darinya.
*
Rio berjalan santai ke kelasnya, ia mengintip pintu kelas sebentar, sadar bahwa ia sudah terlambat dari 15 menit yang lalu, ia tersenyum cerah saat melihat gadis manis berwajah tirus tengah duduk manis, Rio membuang nafas lalu berusaha bersikap seperti biasa.
Dua mata Rio reflex menatap ify saat kedua kakinya berjalan masuk kekelasnya ia tersenyum manis, dan gadis itu juga membalas senyumnya, tiba-tiba darahnya berdesir lebih cepat, jantungnya berdetak dua kali lipat, nafasnya sedikit memburu saat ia menyadari bahwa gadis ini semakin terlihat istimewa,  Detik itulah ia menyadari bahwa ia menyukai ify.
*
 “ini bukan salahmu, ify sendiri yang bilang begitu..” ucap Dea sambil meyentuh punggung pemuda ini, berusaha menenagkan.
Rio tetap bergeming, ia masih menahan posisinya. Dea mendesah pelan, ia juga tak yakin bahwa ini bukan salah Rio, karena pemuda ini Ify dapat bertahan dari penyakit ganasnya, pantas saja saat itu ify tak ingin menulis lagi, karena saat itu lengan kanannya mulai memperlihatkan gajala penyakitnya. Kalau saja Rio tak berpacaran dengan Shilla saat itu mungkin .. Dea menggeleng sendiri. Ini takdir Tuhan. Tak ada seorangpun yang harus di salahkan.
*
Rio sedang melancarkan aksinya, ia berlutut tak peduli guyuran hujan menempa badannya sebelah tangannya memegang bunga mawari putih dan tangan lainnya ia tempelkan pada dada bidangnya. Ia menarik nafas lalu menatap Shilla gadis cantik incarannya sejak kalas satu SMA , ia tersenyum lalu berkata.
“shilla.. mau jadi pacarku ??” hitungan seperdetik kemudian gadis di hadapan Rio itu mengangguk malu.
Rio tersenyum, di sambut dengan sorak riuh seisi sekolah, Rio merasa begitu gembira, namun ekor matanya menangkap seseorang gadis yang tengah menunduk, seketika air mukanya berubah.
Pandangan Rio masih tertuju kepada gadis berwajah tirus itu sesaat ia hampir terhuyung jatuh kalau saja tak ada seseorang yang menopangnya ia mungkin akan tersungkur . Rio sedikit terhenyak saat lengannya di tarik lembut oleh gadisnya. Shilla. Tiba-tiba ada yang berdenyut seakan merintih sakit. tidak. Ia melakukan sebuah kesalahan pada perasaannya sendiri.
*

“tau kah kau..” Rio mulai membuka mulutnya, mengelus nisan marmer dihadapannya. Ia menutup matanya sebentar meyakinkan apa yang akan di ucapkannya. “aku juga menyukaimu..” ujarnya pelan pada nisan Ify, membuat Dea  terhenyak.
****
Mencintai dalam diam, apa yang salah darinya ??
Saat salah satu dari mereka harus tergugu bisu, menyembunyikan anugerah Tuhan, menutupnya rapat-rapat dari dunia luar. Lantas apa yang salah darinya ??

Apa karena meraka termasuk kaum yang tidak berani mengungkapkan lalu di bedakan ?? lalu di pisahkan ??
Tahukah kalian, mencintai dalam diam. Adalah bentuk bunga krisan yang sesungguhnya.

****THE END****

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… selesee. Saya tahu ini cerpen masih banyak kekurangan atau emang kurang semua  ._. saya nyadar ko maklum saya masih amatiran -__- dan baru belajar tapi belum bisa-bisa juga.

Tapi yang penting saya gak niru dan gak kopi paste karya orang (Y) (Y) (Y) (Y)

Oh iya ini ada epilognya.
*

Syuut masuk !! bola basket itu masuk ring dengan sempurna. Pemuda itu tersenyum puas sambil menyeka keringat sebulir jagung yang meluncur mulus di keningnya. Ia hampir terlonjat kaget saat seseorang menepuk pundaknya dengan reflex ia menoleh.

“kau bertambah hebat !” puji Gabriel yang tak lain sahabat Rio sambil menyuguhakan senyuman lebar.
Rio hanya membalasnya dengan senyum kecil lalu matanya menangkap seorang gadis, Ia tengah duduk manis di bawah pohon taman sekolahnya, jemarinya menari sambil menggores-goreskan pensil pada sket book. oh ia tengah menggambar.
Rambut ikalnya dimainkan anak-anak angin, matanya berbinas dan senyumnya tak henti-henti ia suguhkan untuk gambar itu, gambar itu pasti istimewa pikir Rio. Alis Rio sedikit berkerut seakan mengingat-ngingat, oh ya gadis itu tak asing, ia selalu melihatnya, bahkan dimanapun ia berada. Tunggu, apa ??

Gabriel menepuk –lagi- pudak sahabatnya “kau kenapa ?” tanyanya kini ia mengikuti pandangan Rio, ah ia tahu. Gabriel tersenyum geli.

“hey kau harus ingat janjimu !” ujar Gabriel  yang sontak membuat Rio menoleh.
“janji apa ?” Tanya Rio tak mengerti. Rio anak yang cerdas, namun untuk urusan mengigat janji ia mengecualikan hal ini.
Gabriel tertawa lepas. Ia menunjuk gadis yang di lihat Rio. “kau berjanji akan mendapatkan Shilla, bukan gadis itu..”
Rio membelakan matanya. Lalu ikut tertawa. “jangan gila, aku tak tertarik padanya, lagi pula Shilla akan ku dapatkan, aku tak membayangkan jika rambutku botak..” ucap Rio sambil mengejar bola basket yang bergulir agak jauh. Gabriel terkikik geli mendengar ucapan Rio tadi mengingatkannya pada dua tahun lalu  saat Rio berjanji akan mendapatkan Shilla dan jika ia tidak berhasil ia akan mencukur habis rambutnya.

“ifyyyyyy..” teriak seseorang. Rio yang tengah mendribel bola basket sontak menoleh kearah suara, ia menatap gadis tadi bangkit kemudian sedikit berlari dengan muka mengejek, meninggalkan gadis lain yang –sepertinya- kesal padanya. Rio sedikit tertegun. Jadi namanya ify. Simpulnya.
**BENER-BENER THE END**

Makasih banget yang udah yempetin baca dan ngasih saran, semoga amal ibadah anda di terima oleh yang maha kuasa (?)



Senin, 26 Desember 2011

empat musim bersama ayah (cerpen)


    karya ka David ng

Musim semi merekah. Disambut kicauan burung-burung yang ceria. Beragam kembang memekarkan diri, siap menyambut dunia yang tak lagi dingin

    Aku berdiri membelakangi seseorang. Kutilik siluetnya dari belakang. Tinggi dan tegap. Aku melangkah mendekatinya perlahan. Baru satu langkah, ia berbalik, menatapku dengan teduh lantas tersenyum hangat. Detik itu juga, aku terperangah.

    "Kau sudah sebesar ini rupanya," ujarnya tenang.

    Ragu-ragu, aku lalu bertanya, "Ayah?"
    Pria itu berderap menghampiriku dengan langkah yang lambat-lambat. Semakin ia mendekat, aku merasa semakin hangat. Hangat yang sepertinya dulu pernah kurasakan. Dulu sekali.

    Ia meraih puncak kepalaku, lalu mengacak rambutku kecil-kecil.

    "Ya, ini aku," balasnya. Ia lalu tersenyum penuh arti. "Kau tahu, dulu kau bahkan belum setinggi ini," katanya sembari menepuk pinggangnya. Ia tertawa. Aku pun.

    "Bagaimana bisa? Aku tengah ada di mana?" tanyaku ketika aku berhenti tertawa.

    Ayah menarik tangannya dari atas kepalaku. "Kau tengah berada di dunia di mana hanya ada kau dan semua imajinasimu,” jawabnya, tak memberi tahuku secara langsung.

    "Mimpi?" Aku tak begitu yakin.

    Ayah mengangguk lantas tersenyum tipis. "Ayah tak pernah menghampirimu dalam mimpimu kan?"

    Aku mengangguk satu—dua kali. "Tidak pernah. Selama hampir 16 tahun."

    "Itu sebabnya Ayah menemuimu sekarang,” balasnya. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian. Ayah terus menatapku. Tatapan yang masih sama sedari tadi. Teduh—menenangkan.

    Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku malah berujar, "aku merindukanmu. Sangat. Tahukah, Ayah?"

    "Selalu, Anakku. Aku tahu apa yang kau rasakan. Tiap menit, bahkan tiap detik."

    "Lantas kenapa baru menemuiku sekarang?" tanyaku, sedikit tak terima.

    "Maaf." Aku kira hanya itu, namun ia menambahkan, "Ayah juga merindukanmu."

***
    Musim panas menghujani hari. Penuh akan hangat yang mendekap. Matahari bersinar dengan pongah, menyentuh bumi dengan sinarnya.

    Aku tengah duduk berdua dengan Ayah. Di atas bangku taman dengan ukiran sederhana. Sejauh yang bisa kulihat, hanya ada hamparan rumput yang tampak begitu terurus. Selain itu, tak ada lagi. Begitu lapang, dan aku merasa begitu bebas.

    "Maafkan Ayah karena telah meninggalkanmu begitu cepat." Ia berkata tanpa menoleh ke arahku. Ada sejumput kegetiran di sana, di suaranya. Jelas terasa.

    "Bukan salah Ayah. Aku tak apa-apa. Istri Ayah adalah wanita yang tangguh," sahutku. Bukan untuk menenangkannya, tetapi memang itulah yang ingin dan semestinya aku katakan.

    "Aku tahu," sahutnya. Barulah ia menoleh dan tersenyum kepadaku untuk kesekian kalinya. "Apa yang kau rasakan ketika pertama kali mendapati perubahan biologis pada tubuhmu?" Ayah bertanya.

    "Sedikit bingung. Tapi, Ayah tahu kan, aku cepat belajar," aku bersuara dan tersipu.

    Ayah membuang napas berat. "Ayah menyesal tidak bisa mendampingimu kala itu. Ketika Ayah tak bisa menjelaskan ini-itu kepadamu, Ayah merasa telah gagal menjadi seorang ayah untukmu." Dan ketika Ayah mengatakannya, aku tahu, ia benar-benar menyesal.
    Tahu ini yang harus kulakukan, aku lalu menyentuh jemarinya dan menggenggamnya di antara jemariku.

    "Tidak apa-apa,” kataku tulus. “Dari dulu, detik ini, dan sampai kapanpun, Ayah tetaplah ayahku. Ayah terbaik dan tidak gagal." Aku tidak berbohong. Sedikit pun tidak.

    "Kau anak yang baik." Ayah menepuk tanganku dengan tangannya yang bebas.

    "Itu karena aku punya Ayah yang baik," aku menggodanya. Ayah tertawa, memaksaku untuk ikut tertawa. Rasanya menyenangkan sekali. Lebih menyenangkan daripada bermain di pantai kala musim panas.

***
    Musim gugur mengalun. Merinaikan helaian-helaian daun yang menyapa bumi. Pepohonan tergambar begitu suram, seperti tengah menangisi sesuatu yang pergi, namun tak terlihat.

    Aku duduk mengapit ke Ayah. Bahuku dan bahunya bersentuhan. Aku merasa dekat dengannya, tak hanya fisik, tapi hati dan segalanya.

    "Apa cita-citamu? Bolehkah Ayah tahu?" Ayah bertanya lalu memungut salah satu daun yang jatuh ke pangkuannya. Ia memutar daun itu sementara menanti jawabanku.

    "Aku ingin menjadi penulis. Ayah setuju?" tanyaku antusias. Aku merasakan jantungku berdentam-dentum. Seperti ini ternyata rasanya bisa mengutarakan mimpiku kepada ayahku secara langsung. Mendebarkan sekaligus membuai.
    "Apa pun itu, Ayah yakin kau akan menjadi seseorang yg hebat," ia mengatakannya selayaknya seorang Ayah yang selalu membangga-banggakan putranya. Aku melayang mendengarnya. "Melihatmu sekarang, Ayah merasa tugas Ayah sudah selesai. Sekarang, Ayah hanya bisa seperti daun ini. Jatuh ke tanah lantas menyuburkannya untuk pohon yg pernah ia lindungi dari terik matahari."

    Aku tak begitu mengerti, namun ada rasa hangat yang berkeliaran di hatiku. Aku merasa gigitan-gigitan yang membuatku mengambang di tengah udara. Aku merasa begitu ringan.
    Aku termangu-mangu sejenak, menikmati udara musim gugur yang mengantukkan. Di suatu detik, aku pun bertanya, "Apa yang Ayah lakukan di sana selama ini?"

    "Memerhatikan kalian. Semua yang Ayah sayangi."

    "Seberapa besar sayang Ayah untukku?" Aku tahu ini pertanyaan konyol, tapi aku tetap ingin menanyakannya. Aku ingin mendengar ayahku sendiri menyampaikan rasa sayangnya kepadaku. Mungkin Ayah pernah menyampaikannya, namun aku sudah lupa. Itu sudah dulu sekali.

    "Sebesar rasa sayangmu untuk anakmu nanti," jawabnya. "Jadilah ayah yang baik suatu saat nanti," nasihatnya.
    "Kelak, saat aku diberi tugas oleh Tuhan untuk menjadi seorang ayah, Ayahlah yang akan kujadikan panutan," kataku tegas.

    "Ambil yang baik, abaikan yang buruk. Jangan mencontoh kesalahan Ayah. Mengerti?"

    "Ayah tak ada salah-salahnya di mataku," sahutku yakin.

    Ayah menyentil keningku dengan pelan. "Bodoh," serunya. "Tidak ada manusia yang tak memiliki salah,” beritahunya. "Itu gunanya ada kata maaf. Agar kita bisa memutihkan kesalahan kita. Ya, meski tak selalu cukup hanya dengan itu," Ayah mengimbuhkan.

    "Boleh aku tahu salah satu dari kesalahan yang pernah Ayah lakukan?" tanyaku penasaran.

    "Meninggalkan Ibumu sendirian, membiarkannya membesarkan kau dan Kakak-Kakakmu seorang diri."

    Dan detik itulah aku tahu seberapa besar Ayah mencintai Ibu.

    'Cinta itu ada,' aku membatin

***

    Musim dingin terjaga dari lelapnya. Melantunkan butir-butir salju dengan sendu. Butiran itu tak jatuh lurus. Terombang-ambing di antara udara, seperti tengah mengalunkan sebuah harmoni alam yang tak tertangkap telinga.

   Ayah merengkuhku dari samping. Aku merasakannya. Ada hangat yang menjalari tubuhku dan berakhir di hatiku. Dinginnya salju bukan apa-apa lagi.

    "Boleh Ayah meminta sesuatu?"

    Aku mengangguk tanpa ragu. "Apa?"

   "Kau ingin jadi penulis kan? Kalau begitu, buatlah sebuah buku untuk Ayah. Kau mau?" Ayah memererat rengkuhannya.
   "Tentu saja," seruku. "Aku akan memersembahkan buku pertamaku untuk Ayah," lanjutku. "Ini janjiku."

   Ayah mengulas senyum. "Kau tahu apa yang harus seorang pria lakukan ketika ia sudah berjanji?"

    "Ia harus menepatinya. Itu baru seorang pria.," aku menjawab.

   Ayah mengangguk. Lalu, diam. Hening. Suasana begitu syahdu. Tak terusik oleh suara lain—apa pun.

    "Ayah harus pergi sekarang," katanya sambil melonggarkan rengkuhannya.
   Tak bisa kucegah, mataku mulai berkaca-kaca. Sekali lagi, aku harus menghadapi detik-detik di mana aku harus merelakan Ayah untuk pergi. Dulu, aku masih sangat kecil untuk dapat mengerti. Tapi, sekarang aku mengerti. Rasanya sesak dan berat. Hatiku berkedut-kedut tak rela.

    "Berjanjilah untuk menemuiku lagi," aku meminta, berusaha untuk tidak menangis.

    "Menangislah kalau kau mau. Air mata bukan hanya milik wanita," kata Ayah kalem.
   Dan yang terjadi berikutnya adalah aku menangis, tanpa suara. Aku melinangkan air mataku di bawah jutaan butir salju yang masih terinai turun.

    "Jangan mengejekku cengeng. Ayah yang memintaku untuk menangis," ujarku pelan.

   Ayah menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus-elus kepalaku. "Tidak akan pernah. Kau putra Ayah yang kuat, dan akan selalu begitu." Setelahnya, Ayah melepaskan pelukannya.

   Aku mengangkat wajahku dan mendapati diri Ayah mengabur. Semakin lama semakin kabur. Ada senyum lebar di wajahnya.
   Kuseka air mataku dengan punggung tanganku. Segera, aku coba meraih jemarinya. Namun, nihil. Aku tak bisa menyentuhnya. Ayah menjadi tak tersentuh, dan begitu kosong.

    Aku sempat mendengar Ayah menyuarakan sesuatu sebelum ia benar-benar menghilang.

    "Kejarlah dia. Dia, gadis yang kaucintai. Ayah selalu mendoakanmu."

    Aku lantas tersenyum. Ayah tahu putranya tengah jatuh cinta. Ia tahu semuanya.
   Dan di suatu detakan detik, aku merasa tubuhku tertarik ke suatu arah. Aku tak melawan. Aku membiarkannya. Segala sesuatu memiliki masanya, bukan?

***

   Aku terjaga dari tidurku. Mataku mengerjapkan diri berulang kali. Setelah sadar sepenuhnya, aku mengulum senyum. Kutatap langit-langit kamarku, dan ada bayangan Ayah di sana. Ia tengah tersenyum lebar dan lepas. Dengan gontai, aku kemudian melangkah ke balkon kamarku. Mataku menilik langit, sementara hatiku bertanya,

    'Ayah melihatku dari atas sana kan?'

Selesai