Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Senin, 26 Desember 2011

empat musim bersama ayah (cerpen)


    karya ka David ng

Musim semi merekah. Disambut kicauan burung-burung yang ceria. Beragam kembang memekarkan diri, siap menyambut dunia yang tak lagi dingin

    Aku berdiri membelakangi seseorang. Kutilik siluetnya dari belakang. Tinggi dan tegap. Aku melangkah mendekatinya perlahan. Baru satu langkah, ia berbalik, menatapku dengan teduh lantas tersenyum hangat. Detik itu juga, aku terperangah.

    "Kau sudah sebesar ini rupanya," ujarnya tenang.

    Ragu-ragu, aku lalu bertanya, "Ayah?"
    Pria itu berderap menghampiriku dengan langkah yang lambat-lambat. Semakin ia mendekat, aku merasa semakin hangat. Hangat yang sepertinya dulu pernah kurasakan. Dulu sekali.

    Ia meraih puncak kepalaku, lalu mengacak rambutku kecil-kecil.

    "Ya, ini aku," balasnya. Ia lalu tersenyum penuh arti. "Kau tahu, dulu kau bahkan belum setinggi ini," katanya sembari menepuk pinggangnya. Ia tertawa. Aku pun.

    "Bagaimana bisa? Aku tengah ada di mana?" tanyaku ketika aku berhenti tertawa.

    Ayah menarik tangannya dari atas kepalaku. "Kau tengah berada di dunia di mana hanya ada kau dan semua imajinasimu,” jawabnya, tak memberi tahuku secara langsung.

    "Mimpi?" Aku tak begitu yakin.

    Ayah mengangguk lantas tersenyum tipis. "Ayah tak pernah menghampirimu dalam mimpimu kan?"

    Aku mengangguk satu—dua kali. "Tidak pernah. Selama hampir 16 tahun."

    "Itu sebabnya Ayah menemuimu sekarang,” balasnya. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian. Ayah terus menatapku. Tatapan yang masih sama sedari tadi. Teduh—menenangkan.

    Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku malah berujar, "aku merindukanmu. Sangat. Tahukah, Ayah?"

    "Selalu, Anakku. Aku tahu apa yang kau rasakan. Tiap menit, bahkan tiap detik."

    "Lantas kenapa baru menemuiku sekarang?" tanyaku, sedikit tak terima.

    "Maaf." Aku kira hanya itu, namun ia menambahkan, "Ayah juga merindukanmu."

***
    Musim panas menghujani hari. Penuh akan hangat yang mendekap. Matahari bersinar dengan pongah, menyentuh bumi dengan sinarnya.

    Aku tengah duduk berdua dengan Ayah. Di atas bangku taman dengan ukiran sederhana. Sejauh yang bisa kulihat, hanya ada hamparan rumput yang tampak begitu terurus. Selain itu, tak ada lagi. Begitu lapang, dan aku merasa begitu bebas.

    "Maafkan Ayah karena telah meninggalkanmu begitu cepat." Ia berkata tanpa menoleh ke arahku. Ada sejumput kegetiran di sana, di suaranya. Jelas terasa.

    "Bukan salah Ayah. Aku tak apa-apa. Istri Ayah adalah wanita yang tangguh," sahutku. Bukan untuk menenangkannya, tetapi memang itulah yang ingin dan semestinya aku katakan.

    "Aku tahu," sahutnya. Barulah ia menoleh dan tersenyum kepadaku untuk kesekian kalinya. "Apa yang kau rasakan ketika pertama kali mendapati perubahan biologis pada tubuhmu?" Ayah bertanya.

    "Sedikit bingung. Tapi, Ayah tahu kan, aku cepat belajar," aku bersuara dan tersipu.

    Ayah membuang napas berat. "Ayah menyesal tidak bisa mendampingimu kala itu. Ketika Ayah tak bisa menjelaskan ini-itu kepadamu, Ayah merasa telah gagal menjadi seorang ayah untukmu." Dan ketika Ayah mengatakannya, aku tahu, ia benar-benar menyesal.
    Tahu ini yang harus kulakukan, aku lalu menyentuh jemarinya dan menggenggamnya di antara jemariku.

    "Tidak apa-apa,” kataku tulus. “Dari dulu, detik ini, dan sampai kapanpun, Ayah tetaplah ayahku. Ayah terbaik dan tidak gagal." Aku tidak berbohong. Sedikit pun tidak.

    "Kau anak yang baik." Ayah menepuk tanganku dengan tangannya yang bebas.

    "Itu karena aku punya Ayah yang baik," aku menggodanya. Ayah tertawa, memaksaku untuk ikut tertawa. Rasanya menyenangkan sekali. Lebih menyenangkan daripada bermain di pantai kala musim panas.

***
    Musim gugur mengalun. Merinaikan helaian-helaian daun yang menyapa bumi. Pepohonan tergambar begitu suram, seperti tengah menangisi sesuatu yang pergi, namun tak terlihat.

    Aku duduk mengapit ke Ayah. Bahuku dan bahunya bersentuhan. Aku merasa dekat dengannya, tak hanya fisik, tapi hati dan segalanya.

    "Apa cita-citamu? Bolehkah Ayah tahu?" Ayah bertanya lalu memungut salah satu daun yang jatuh ke pangkuannya. Ia memutar daun itu sementara menanti jawabanku.

    "Aku ingin menjadi penulis. Ayah setuju?" tanyaku antusias. Aku merasakan jantungku berdentam-dentum. Seperti ini ternyata rasanya bisa mengutarakan mimpiku kepada ayahku secara langsung. Mendebarkan sekaligus membuai.
    "Apa pun itu, Ayah yakin kau akan menjadi seseorang yg hebat," ia mengatakannya selayaknya seorang Ayah yang selalu membangga-banggakan putranya. Aku melayang mendengarnya. "Melihatmu sekarang, Ayah merasa tugas Ayah sudah selesai. Sekarang, Ayah hanya bisa seperti daun ini. Jatuh ke tanah lantas menyuburkannya untuk pohon yg pernah ia lindungi dari terik matahari."

    Aku tak begitu mengerti, namun ada rasa hangat yang berkeliaran di hatiku. Aku merasa gigitan-gigitan yang membuatku mengambang di tengah udara. Aku merasa begitu ringan.
    Aku termangu-mangu sejenak, menikmati udara musim gugur yang mengantukkan. Di suatu detik, aku pun bertanya, "Apa yang Ayah lakukan di sana selama ini?"

    "Memerhatikan kalian. Semua yang Ayah sayangi."

    "Seberapa besar sayang Ayah untukku?" Aku tahu ini pertanyaan konyol, tapi aku tetap ingin menanyakannya. Aku ingin mendengar ayahku sendiri menyampaikan rasa sayangnya kepadaku. Mungkin Ayah pernah menyampaikannya, namun aku sudah lupa. Itu sudah dulu sekali.

    "Sebesar rasa sayangmu untuk anakmu nanti," jawabnya. "Jadilah ayah yang baik suatu saat nanti," nasihatnya.
    "Kelak, saat aku diberi tugas oleh Tuhan untuk menjadi seorang ayah, Ayahlah yang akan kujadikan panutan," kataku tegas.

    "Ambil yang baik, abaikan yang buruk. Jangan mencontoh kesalahan Ayah. Mengerti?"

    "Ayah tak ada salah-salahnya di mataku," sahutku yakin.

    Ayah menyentil keningku dengan pelan. "Bodoh," serunya. "Tidak ada manusia yang tak memiliki salah,” beritahunya. "Itu gunanya ada kata maaf. Agar kita bisa memutihkan kesalahan kita. Ya, meski tak selalu cukup hanya dengan itu," Ayah mengimbuhkan.

    "Boleh aku tahu salah satu dari kesalahan yang pernah Ayah lakukan?" tanyaku penasaran.

    "Meninggalkan Ibumu sendirian, membiarkannya membesarkan kau dan Kakak-Kakakmu seorang diri."

    Dan detik itulah aku tahu seberapa besar Ayah mencintai Ibu.

    'Cinta itu ada,' aku membatin

***

    Musim dingin terjaga dari lelapnya. Melantunkan butir-butir salju dengan sendu. Butiran itu tak jatuh lurus. Terombang-ambing di antara udara, seperti tengah mengalunkan sebuah harmoni alam yang tak tertangkap telinga.

   Ayah merengkuhku dari samping. Aku merasakannya. Ada hangat yang menjalari tubuhku dan berakhir di hatiku. Dinginnya salju bukan apa-apa lagi.

    "Boleh Ayah meminta sesuatu?"

    Aku mengangguk tanpa ragu. "Apa?"

   "Kau ingin jadi penulis kan? Kalau begitu, buatlah sebuah buku untuk Ayah. Kau mau?" Ayah memererat rengkuhannya.
   "Tentu saja," seruku. "Aku akan memersembahkan buku pertamaku untuk Ayah," lanjutku. "Ini janjiku."

   Ayah mengulas senyum. "Kau tahu apa yang harus seorang pria lakukan ketika ia sudah berjanji?"

    "Ia harus menepatinya. Itu baru seorang pria.," aku menjawab.

   Ayah mengangguk. Lalu, diam. Hening. Suasana begitu syahdu. Tak terusik oleh suara lain—apa pun.

    "Ayah harus pergi sekarang," katanya sambil melonggarkan rengkuhannya.
   Tak bisa kucegah, mataku mulai berkaca-kaca. Sekali lagi, aku harus menghadapi detik-detik di mana aku harus merelakan Ayah untuk pergi. Dulu, aku masih sangat kecil untuk dapat mengerti. Tapi, sekarang aku mengerti. Rasanya sesak dan berat. Hatiku berkedut-kedut tak rela.

    "Berjanjilah untuk menemuiku lagi," aku meminta, berusaha untuk tidak menangis.

    "Menangislah kalau kau mau. Air mata bukan hanya milik wanita," kata Ayah kalem.
   Dan yang terjadi berikutnya adalah aku menangis, tanpa suara. Aku melinangkan air mataku di bawah jutaan butir salju yang masih terinai turun.

    "Jangan mengejekku cengeng. Ayah yang memintaku untuk menangis," ujarku pelan.

   Ayah menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus-elus kepalaku. "Tidak akan pernah. Kau putra Ayah yang kuat, dan akan selalu begitu." Setelahnya, Ayah melepaskan pelukannya.

   Aku mengangkat wajahku dan mendapati diri Ayah mengabur. Semakin lama semakin kabur. Ada senyum lebar di wajahnya.
   Kuseka air mataku dengan punggung tanganku. Segera, aku coba meraih jemarinya. Namun, nihil. Aku tak bisa menyentuhnya. Ayah menjadi tak tersentuh, dan begitu kosong.

    Aku sempat mendengar Ayah menyuarakan sesuatu sebelum ia benar-benar menghilang.

    "Kejarlah dia. Dia, gadis yang kaucintai. Ayah selalu mendoakanmu."

    Aku lantas tersenyum. Ayah tahu putranya tengah jatuh cinta. Ia tahu semuanya.
   Dan di suatu detakan detik, aku merasa tubuhku tertarik ke suatu arah. Aku tak melawan. Aku membiarkannya. Segala sesuatu memiliki masanya, bukan?

***

   Aku terjaga dari tidurku. Mataku mengerjapkan diri berulang kali. Setelah sadar sepenuhnya, aku mengulum senyum. Kutatap langit-langit kamarku, dan ada bayangan Ayah di sana. Ia tengah tersenyum lebar dan lepas. Dengan gontai, aku kemudian melangkah ke balkon kamarku. Mataku menilik langit, sementara hatiku bertanya,

    'Ayah melihatku dari atas sana kan?'

Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar