Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Jumat, 21 Juni 2013

surat untuk kabut


Untuk kamu.
Kotak harta karunku,

Yang perlu kamu tahu, aku menyukai segalanya, terutama bagaimana kamu menyikapi aku. Aku menyukai saat kamu dengan sabar mengerti aku,aku menyukai kamu saat kamu membuat aku menjadi diri sendiri, tanpa perlu menjadi biru atau hijau untuk jadi merah. Semuanya nampak biasa. Tapi entah mengapa semuanya bermetamorfosa istimewa.

Aku tahu, mungkin kamu sudah sering mendapatkan hal yang sama yang semacam aku, mungkin kamu sudah menemukan beribu macam hal yang sama yang telah kamu tahu dari aku. Meskipun begitu anehnya setiap bersama kamu, aku selalu merasa benar dan beruntung. Sekalipun aku adalah dara kesekian yang kini tengah hinggap di sangkar kamu yang teramat nyaman.

Tapi sungguh ini sangat amat menyenangkan. Bersama kamu rasanya seperti bermain dengan kumpulan cahaya bintang di malam hari, atau beradu dengan hujan di bulan juni.


Yang perlu kamu tahu, Aku tidak pernah mengharapkan banyak hal dari kamu, tapi aku selalu berharap banyak  tentang hal apa yang ingin aku berikan untuk kamu. Berbagi banyak hal bersama kamu, meskipun kamu tidak ingin membagi apapun dengan aku.

Aku rasa.. semuanya seperti begitu sederhana, aku harap ini bukan euphoria semata. Aku sungguh berharap begitu.



Hujan Kala itu (cerpen)



Hujan Kala itu (sebuah cerita yang di kalahkan)

Hujan selalu menyisakan percikan kenangan, yang tetap tak tersamar pelangi setelahnya. Sheila mendesah lalu meraih notes kecilnya, berniat mengalirkan barisan kata yang berkejaran di benaknya lewat ujung pena, tak peduli dengan guncangan kendaraan yang sedang dinaikinya.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya, ya tentang kamu dan hujan kala itu ..”

*
Hujan kala itu, mengawali kisah tentangnya.


‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan.
Yang menjadikannya tiada.’


Pagi itu ditemani dendang rintik hujan, dikawani kesendirian dan di dalam ruang mading yang sarat kesunyian, Sheila sedang duduk sambil menekuri sehelai kertas puisi saduran tak bertuan yang tiba-tiba tergeletak pasrah di meja panjang ruangan. “Keren,” ucapnya pelan.

“Sapardi Djoko Damono.”

Sheila hampir mencelat dari kursinya karena kaget. Ia mengangkat wajah dan terkejut mendapati siapa yang barusan bersuara.

Pemuda itu berdiri di belakang Sheila, ikut mengamati kertas puisi yang sama. Tetesan air bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Seragam yang sedikit basah menyurukkan wangi hujan dan harum maskulin alaminya, sejenak membuat Sheila terpana. Dia Aryo Junio, kapten tim basket putra SMA mereka yang kata teman-temannya amat berbakat dan tampan. Kadang Sheila memandangi Ryo (sapaan akrab Aryo) dari kejauhan, kemudian selalu bertanya tak mengerti kenapa pemuda ‘biasa saja’ ini begitu dielu-elukan.

Ryo menyunggingkan senyum miring “Itu Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono kan ? larik itu termasuk dalam buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni. Keren banget tuh.” Celotehnya lancar lalu menarik bangku di ujung lain meja dan duduk disana.

Sheila cuma melongo, dia bahkan belum pernah mendengar nama penyair tadi kalau Ryo tidak menyebutnya, karena di kertas puisi itu pun tak tertulis siapa pembuatnya. Sheila juga tidak menyangka, Ryo yang selalu mengundang jeritan histeris gadis-gadis saat beraksi di lapangan itu ternyata ‘geek at heart’ juga.

“Be-te-we. Gue numpang tidur disini, boleh kan ? Ekskul basket juga ga bakal ada nih kalau hujan begini..” Ucapan ini toh hanya basa-basi. Tanpa menunggu jawaban si penunggu ruang, Ryo langsung melipat kedua tangannya di atas meja lalu membenamkan wajah disana.

Sheila sedikit bingung, namun tanpa sadar ia tidak bisa mengalihkan pandangan dari pemuda rupawan yang saat itu mulai terlelap dalam nafas teratur.

*
Hujan kala itu, meniupkan perubahan.

Kunjungan singkat itu terhelat tiap kali hujan membisiki pagi. Saat petir menyambar kencang dan alam mulai menumpahkan tangisnya, Sheila tahu pemuda itu akan kembali.
Tak lama, ceklikan di engsel pintu membuktikan hipotesisnya.

“Kenapa ya hujan terus ?” Ryo melontarkan pertanyaan retoris yang dijawab Sheila dengan bahu terangkat. Tanya saja Tuhan, batinnya sarkatis.

Sheila sudah mulai hafal rutinitas Ryo setelah ini. Sementara dirinya menyortir artikel-artikel untuk mading mingguan, pemuda itu akan merutuk sebentar soal kenapa pelatihnya tidak memindahkan jadwal ekskul basket menjelang turnamen dari jam ke nol (sebelum upacara dan ma-pel dimulai) ke jam pulang sekolah (mengingat hujan selalu merusak waktu latihan pagi), lalu ia akan menduduki bangku yang itu-itu saja, melipat kedua tangan di atas meja, membenamkan wajah dan mendengkur.

Tapi pagi itu, Ryo tergelitik untuk menanyakan sesuatu setelah menarik bangku “Udah baca kumpulan puisi yang waktu itu gue bilang, belom ?”

Sheila menaikkan sebelah alis, mengira seharusnya Ryo sudah melayang di alam mimpi. Ia menggeleng.

“Sayang banget,” Ryo berdecak “Besok gue pinjemin deh. Itung-itung balesan buat akomodasi gratis tiap pagi nih. Oke ? Gue tidur dulu ya.” Tukasnya lalu melanjutkan prosedur tidur paginya yang tertunda.

Sheila mengerutkan kening. Dasar aneh.

*
Hujan kala itu, menadakan seuntai harapan.

“Lo suka nulis puisi ?” Ryo mengangkat tinggi-tinggi kertas yang terisi penuh oleh tulisan tangan Sheila, sementara si empunya sedang berusaha merebut kembali kertasnya.

“Ini buat konsumsi pribadi,” Rutuk Sheila pelan. Sikapnya memang cenderung introvert, tapi bukan itu sesungguhnya alas an kenapa ia tidak menunjukkan hobinya. Ia hanya merasa buah karyanya belum pantas dipublikasikan. Dan pemuda rese ini malah mengerjainya. Serius deh, dilihat dari sisi mananya sih Ryo ini dibilang keren ? Di mata Sheila, Ryo hanyalah pemuda pengantuk tukang tidur yang diam-diam mencintai puisi setengah mati.

“Ini keren banget !” kata Ryo “Yah emang belum sekeren Sapardi sih hehe ..” Ryo terkekeh, lalu tiba-tiba menatap Sheila serius.

“Tapi lo kan punya sarana ini .. Maksud gue, mading ini loh.. Kenapa ga dipajang ? Perasaan kerjaan lo cuma nyortir doang kayak tukang pos ?”

Sheila mendesah “Job-desc gue kan cuma editor, editor yang harus selalu dateng paling pagi buat milihin bahan,” katanya, lalu mencuri kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Gue ga pede lagian.”

Ryo berdecak, lalu berjalan mendekati Sheila. Ia mengangkat dagu Sheila dengan telunjuknya, tanpa tahu bahwa sebuah rasa asing baru saja menyalip hati gadis yang sedang dipandanginya.

Ryo lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Sheila, melesakkan tiap inci harapan dalam tuturnya “Lo bakal jadi penyair terkenal suatu saat nanti dan gue akan ada disana, nonton lo di baris pertama Teater Salihara. Don’t give up, Sheila !”

*
Hujan kala itu, menebalkan angan.

“Tumben ga tidur ?” Sambil merapikan tumpukan artikel issue mnggu lalu. Sheila berpura-pura tak acuh, seakan hanya bertanya sepintas, saat melihat Ryo bertopang dagu dan mengetukkan jarinya dengan gelisah.

Sheila sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ryo yang selalu diiringi orchestra rintikan air di ruang madingnya, dan terlalu menikmati ketukan tak beraturan yang membuncah di hatinya saat melihat pemuda itu.

Ryo masih sibuk berfikir hingga tak mendengar ucapan Sheila, lalu menggumam agak keras.

“Emang sekarang beneran jaman emansipasi wanita ya ?”

Sheila mengangkat bahu. Lama-lama terlatih mendengar celetukan Ryo yang tidak biasa.
“Gue ditembak,” kata Ryo lagi.

Mau tak mau Sheila melongo “Hah ?”

Ryo menggaruk kepalanya salah tingkah “Gimana dong ya ?”

“Kalau suka, terima lah. Ga suka, ya tolak.” Jawab Sheila kalem, walau hatinya ketar-ketir setegah mati. Harusnya dia sadar, Ryo itu memang sasaran empuk gadis-gadis cantik.

“Gue ga suka sih,”

Sheila menghela nafas lega diam-diam “Kenapa ?”

“Bukan tipe gue aja..”

Sheila mengangkat alis, lalu baru ingat Ryo pernah bercerita bahwa ia belum pernah punya hubungan khusus dengan perempuan walau banyak yang mengejarnya. “Emang tipe lo kayak gimana ?”

“Yang kalem, ga kebanyakan dandan, ga kebanyakan cekikikan sama jejeritan.” Ryo menatapnya “Kayak lo gitu deh,” lanjtunya lalu tertawa pelan.

Sheila terdiam, baru menyadari pemuda di hadapannya memiliki lesung pipi yang menawan.

*
Hujan kala itu, membawa seutas pesan dan segenggam goresan.

Meski kebenaran itu hanya terkungkung sampai batas pintu ruang mading, Sheila tahu tak pernah ada salahnya untuk berharap. Entah bagaimana, harapan itu muncul dan mengembang tak terkendali. Harapan agar Ryo selalu menyemangati mimpinya, harapan agar Ryo terus mencekokinya dengan biografi lengkap Sapardi Djoko Damono walau sebenarnya Sheila sudah bosan, harapan agar Ryo selalu menertawakan kepolosannya. Praktisnya, harapan agar Ryo (Ryo dengan sosok berbeda yang hanya ditunjukkannya pada Sheila) bisa terus disampingnya.

Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu soal rutinitas itu, rutinitas ‘privat’ –dalam pandangan Sheila- pagi mereka. Mungkin karena Sheila memang jarang berkeliaran di sekolah, ia tak pernah bertemu Ryo di samping jam rutin itu dan gadis itu pun tak pernah tahu ada prahara yang mengintipnya di luar sana.

Sheila mengenal Jelita sepintas lalu. Jelita adalah gadis sederhana, dua bulan lalu pindah dari Jepara, dengan kepintarannya melanglang mimpi jauh-jauh untuk mendapat beasiswa di Jakarta. Di SMA mereka.

Dan kini Sheila mendapat tambahan satu fakta, fakta yang didengarnya di pagi yang mendung itu, dari seorang pemuda yang menghampirinya dengan wajah kalut.

“Ya ampun, gue ga pernah ngerasin debar kayak gini, Sheil.” Ryo mondar-mandir. “Rasanya serba salah kalo dia lewat. Kayak ‘Sajak Kecil Tentang Cinta’nya eyang Sapardi. Mencintai angin harus menjadi suit, Mencintai air harus menjadi ricik, Mencintai gunung harus menjadi terjal, Mencintai …”

Sheila merasa ucapan Ryo berdenging di telinganya lantas menghilang tak terdengar. Ada perasaan tertusuk yang merayapi hatinya. Cakrawalanya seperti runtuh. Cakrawala yang terbentuk dari tiap rinai hujan yang selalu menemani pertemuan diam-diam mereka.

“…tapi, ujungnya bagus banget, Sheil. MencintaiMu (mu) harus menjadi aku. Ya ampun, gue kedengeran cewek banget ga sih ? Masalahnya, gue bisa diketawain kalo cerita begini sama anak-anak basket. Lo kan cewek, bantu gue deketin dia dong ..”

Sheila mendesah tak kentara. Menyesal kenapa dia harus menyukai pemuda tak peka begini sih. Sheila perlahan memasang plester luka di ujung ujung bibirnya yang kini tertarik ke atas. “Gue ga bisa bantu apa-apa. Tapiii kenapa lo ga coba mulai dengan puisi aja ?”

*
Hujan kala itu, dia tidak datang.

Sheila menatapi jarum jam besar di dinding ruang mading untuk kesekian kali, dan merasa dadanya sesak. Sudah lewat lima belas menit. Ia menunduk pelan, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Pemuda itu takkan datang lagi, untuk kelima kalinya di pagi berhujan yang telah terlewat seperti ini. Ia pun tak pernah kembali, di hari-hari mendatang yang segera hilang lalu teronggok mati.

*
Hujan kala itu, setelah tiga bulan tanpa alasan untuk bertahan.

Sorak-sorai dan semprotan pylox mewarnai kemeriahan pengumuman kelulusan. Disertai berkah tak terhingga yang dihadiahkan Tuhan bagi perjuangan semua orang, Hujan. Semua melepaskan atribut gengsi dan mulai menari di bawah rintikan yang kian membesar.

Sheila tidak berniat untuk ikut dalam pertunjukan missal itu. Ia harus cepat pulang karena sejak tadi Bunda menerornya untuk segera sampai rumah. Tak ada jalan lain kalau ia tidak menerobos hujan.

Sheila berlari kecil, guyuran air mengaburkan pandangan hingga tak sengaja menabrak seseorang yang tengah melintas.

“Sheila !” suara baritone dan wangi hujan yang khas itu.

“Hei, Yo !” Sheila mengangguk sejenak pada sosok kabur Ryo, berusaha menahan mulut untuk tidak bertanya kenapa Ryo tak pernah menemuinya lagi. “So .. sorry gue duluan ..” Sheila berusaha menghindar dan melewati Ryo, tepat saat tangan kokoh pemuda itu menyambarnya.

Sheila membalikan badannya dan terperanjat saat Ryo memeluknya kuat-kuat. Tak lama, Ryo melepasnya, lalu meletakkan tangan di kedua bahunya dan menyambar mata gadis itu.

Sheila tak bisa lagi menghardik getaran yang menjalar di jantungnya. Diam-diam ia masih bertahan untuk Ryo. Sekadar berharap dalam gelap.

“Sheil, gue tahu gue gila. Tapi gue … gue .. gue baru sadar sesuatu .. ternyata ..”

Sheila mengangguk pelan, menunggu kelanjutan ucapan Ryo, pemuda itu terlihat berseri.

“Ternyata gue sudah jatuh terlalu dalam buat Ita. Gue mau nembak Ita, Sheil. Tiga bulan pendekatan ini udah ngeyakinin gue. Lo tahu, tiap pagi gue selalu datengin dia di kelasnya. Dia selalu dateng paling pagi. Hehe. Gue baru nemuin orang yang ga bosen sama ocehan gue soal Sapardi selain lo.”

Sheila menyunggingkan senyum lebar saat perasaan sakit menyesahnya lalu menyesak dada dan perutnya, matanya memanas. Sebutir air mata menari di wajahnya, terkamuflase tetesan air hujan yang sudah terlebih dulu disana.

“Dan lo tahu, puisi apa yang bakal gue bacain pas nembak dia ? Aku Ingin-nya Sapardi, Sheil ..” Ryo mengguncang bahunya “Kayak waktu kita pertama ketemu itu, lo inget kan ?”

Sheila tersenyum makin lebar saat air matanya dan air mata alam berlomba utnuk menjadi yang paling deras. “Bagus banget, Yo ! Bagus banget !”

“Lo emang temen terbaik gue, Sheil ! sumpah. Meski kita cuma ketemu beberapa puluh menit sehari, gue ngerasa nyambung sama lo. Lebih nyambung dari temen-temen cowok gue, thanks buat semuanya.”

Ryo mendekap Sheila lagi “Anyway, gue masih tetep mau nonton lo di Salihara. Duduk di baris depan sama Ita. Hehehe”

Sheila menganggukan kepalanya di bahu Ryo dan membiarkan dirinya terbawa dalam hujan kala itu, hujan terakhirnya bersama Ryo. Hujan yang menampar dirinya, bahwa ia masih dan hanyalah seorang gadis pemimpi sederhana yang ditemukan secara tak sengaja di ruang mading yang sepi, yang mencintai lelaki perutuk hujan itu dalam diam.

*
Hujan kali ini, tak ada lagi dia.

Sheila merogoh daypack-nya, mengeluarkan ponsel dan membaca pesan singkat dari Ryo yang berisi undangan perayaan peresmian hubungannya dengan Jelita. Hari ini dan dia takkan ada disana. Takdir membawanya untuk meraih beasiswa dari sebuah institute sastra ternama di kota Bandung. Inilah warta gembira yang diberitakan menggebu oleh Bundanya di hari kelulusannya waktu itu.

Sheila sengaja memilih jalur darat dengan bus antarkota, untuk meminjam waktu dan mengutangi masa. Waktu yang diharapnya dapat dikembalikan dengan kenangan yang sudah terlupa. Ia kembali menekuri notes kecilnya, mengahpus delapan kata terakhir dan mulai menulis lagi.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya. Aku hanya berharap kisah ini akan terlupa, dan cerita ini akan menghilang. Seiring dengan gugus mentari yang tertelan cahaya bintang, tersesat di sela padang, tersamabar ilalang. Tertinggal jauh .. jauh di belakang.”

**

Doushite kimi wo suki ni natte shimattan darou?