Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Rabu, 29 Agustus 2012

Arti Bunga dan Warnanya


Say it with flowers, itulah ungkapan yang sering kita dengar untuk mengungkapkan sesuatu pada seseorang.
Bungalah yang selalu mewakili perasaan kita terhadap seseorang yang kita kasihi dan membuatnya sangat berarti dalam hidup Anda.
Selama beberapa waktu orang mengelompokan bunga sesuai dengan artinya.
Bunga juga bisa kita manfaatkan dan menolong kita sebagai wakil untuk mengungkapkan perasaan yang tak mampu disampaikan lewat kata-kata.
Ada berbagai macam jenis bunga dan setiap bunga memiliki arti tersendiri, contohnya :

BUNGA ANGGREK


Cinta, cantik, keindahan, kebijaksanaan, perhatian, perbaikan, Chinese symbol untuk banyak anak
Pink : kasih sayang murni
Kuning : keanggunan
Hitam : kekuasaan dan otoritas mutlak
Putih : keindahan, kelembutan, kemurnian, kepolosan, kebaikan
Merah : semangat, daya energi, kekuatan cinta
Lavender : memprovokasi percintaan dan keanggunan
Ungu : membangkitkan misteri dan ketidakpastian
Biru : bermakna dalam, kekuatan dan stabilitas

BUNGA AKASIA





Cinta yang terpendam, cinta suci dan keindahan
Kuning : cinta rahasia
Merah muda dan Putih : persahabatan
Pink : keanggunan

BUNGA ANYELIR (CARNATION)


Ikatan kasih sayang, kesehatan, enegi dan daya tarik.
Pink : Aku tidak akan melupakanmu
Merah : Aku menginginkanmu, rasa kagum
Ungu = ketidak teraturan, bertingkah, berubah-ubah
Warna Solid : Ya
Bergaris : Tidak, penolakan
Kuning : Penolakan , penghinaan, kamu mengecewakanku
Putih : cinta murni, good luck (bila diberikan pada wanita), manis dan cantik.

BUNGA ASTER


Symbol cinta, keindahan, kecantikan dan kesabaran
Aster Cina : kesetiaan, kecemburuan

BUNGA CATTLEYA


Pesona Dewasa
Lavender : ketenangan

BUNGA CHRYSANTHEMUM


Kegembiraan, kasih sayang, persahabatan dan rahasia
Merah : Cinta
Putih : kejujuran/kebenaran, setia
Kuning : cinta yang bertepuk sebelah tangan
Ungu : keinginan kuat untuk sehat

BUNGA DAISY


Kepolosan, kemurnian, kesucian, kesetiaan, kelembutan, kesederhanaan
Putih : kepolosan, cinta setia
Merah : kecantikan yang tidak diketahui pemiliknya, cinta, tulus, sederhana, cinta yang jauh dari gairah yang berlebihan, cinta diam-diam
Oranye : kehangatan, sukacita, semangat

BUNGA LILY


Kemurnian, kesopanan, suci
Putih : pengabdian, persahabatan, simpati, mulia, murni, suci
Merah Muda : kekayaan dan kemakmuran
Orange: kebencian, penghinaan, kesombongan
Kuning : kebohongan, kepalsuan, keriangan

BUNGA MAWAR


simbol cinta dan gairah
Pink : Sayangku, rasa kagum , kebahagiaan, percayalah padaku, terimakasih
Merah : Cinta , cantik , aku cinta padamu , rasa hormat , keberanian
Merah Hati : Kecantikan
Merah dan Putih : Simbol penyatuan
Merah dan Kuning : Ucapan selamat, persahabatan atau jatuh cinta
Kuning : Awal baru, kegembiraan, persahabatan ( dulu mawar kuning berarti ketidaksetiaan, cemburu)
Kuning dan Jingga : Semangat
Putih : Cinta Sejati, lugu, amat menyenangkan, rahasia dan diam
Jingga :Keinginan, antusiame
Peach : Manis, rasa terimakasih, apresiasi, kekaguman, simpati
Ungu : Keunikan, cinta pada pandangan pertama, perlindungan cinta ibu/ayah
Biru : Misteri
Hijau : Tenang
Hitam : Kematian


BUNGA TULIP

Cinta yang Sempurna
Putih : permohonan maaf
Merah : percayalah padaku , deklarasi cinta
Kuning : cinta yang tidak ada harapan, cinta bertepuk sebelah tangan
Orange : energi (semangat), hasrat dan gairah
Pink : peduli
Ungu : kebangsawanan
Dua warna : mata yang indah
Tiap-tiap bunga dengan warna berbeda bisa diinterpetasikan secara keilmuan bahkan tradisional.
Keilmuan:
Jika dibedakan dari segi keilmuan, warna diketahui bisa membawa efek ke dalam pikiran. Jadi, sebuah warna bisa mempengaruhi kesenangan, tekanan dalam tubuh, membawa energi, atau bersifat menenangkan.
Tradisional:
1. Merah: melambangkan romantis
2. Kuning: melambangkan persahabatan
3. Putih: melambangkan penghormatan
4. Peach: melambangkan tanda terima kasih
5. Merah muda: melambangkan penghargaan
6. Oranye: melambangkan api semangat
7. Ungu: melambangkan cinta pada pandangan pertama
Bunga juga bisa digunakan sebagai pengobatan. Misalnya:
1. Hitam: bisa menimbulkan tenaga, percaya diri, dan meningkatkan kemampuan
2. Biru: memberikan ketenangan dalam pikiran dan jiwa. Warna ini juga bisa menurunkan tekanan darah tinggi
3. Merah: digunakan untuk memacu semangat dan pembangkit gairah
4. Hijau: memberikan relaksasi pada pikiran dan tubuh
5. Ungu: menimbulkan rasa tenang dan damai
6. Merah muda: memberikan ketenangan
7. Kuning: mencerminkan energi dan menyebarkan cahaya

Sabtu, 25 Agustus 2012

coretan cipaaw : who I'm ?


Aku Shyfa. Shyfa nurasiyah fauziani. Yapyap namanya baguus kaan ? yooo jelas laah, itukan made by mommy terbaik yang pernah Allah ciptakan huehehe.

Sekarang aku mau ngapain ya ? ngapain yaa ? mm.. makin gede bukan makin peinget (?) malah makin pelupa deh - -

Ya gitu deh shyfa, gampang inget cepet lupa -_- tapi masih lebih bagus dari pada gampang lupa cepet inget. Ha ? sama aja ya. Gak papa lah biar lucu. Ga ketawa ya ? mending liat gambar ini dulu.


-_- eh salah, itu mukanya ngejek banget yaa. Maap deh maap. Berhubung aku belum inget, mending ngoceh dulu bentar ya.

aku owner dari blog unik ini, kenapa unik ? kan yang buatnya juga unik. Masa ia tega bilang blog sendiri jelek hohoho. Sejauh ini aku udah lewatin 15 kali tanggl 28 Januari.

Aku suka Musik, musik apa aja. Apalagi kalau itu bersangkutan sama Piano. Aku juga suka piano. Mungkin karena itu satu-satunya alat musik yang bisa aku maenin, walaupun gak jago-jago amat. Suram ya ? -_- aku penah belajar gitar tapi sampe sekarang gak bisa metik gitar dengan bener, aku juga pernah belajaar drum tapi sampe sekarang ketukannya sering ga pas, aku juga pernah belajar suling, tapi cape niup nya ._. nanti asma lagi._. dan yaa mening terima nasib aja -_-

Aku juga suka Novel, terbukti dari blog ini, aku sering buat cerpen  yaa walau masih amatir wkwk. Pengen banget tuh suatu saat kaya ka Ilana Tan keliling dunia buat nulis buku, atau kaya JK Rowling yang tulisannya di baca sama orang-orang di seluruh duniaa. Waaa :D

Aku juga sukaa keju di banding coklat aku pasti milih keju ._. pantes aja kan badan aku gak nyusut-nyusut ._.

Dan sekarang aku lagi ngefans samaa @iqbaal @coboyjr ._. chilidris banget ya ? ah ga papa yang penting normal, aku juga suka Ify. Ify idola cilik itu looo tau gak ? kalau Ify blink tau ? nah yang itu. Kenapa aku suka ify ? mungkin karena dia jago piano. Haha :D banyak temen-temen aku yang bilang kalau aku itu aneh gara-gara ngefans sama anak kecil. HEY BUKAN ANEH TAPI UNIK ! catet tuh.  aku juga suka Korea apalagi Changmin TVXQ tau TVXQ gaaa ? gak tau ? baca nih sedikit tentang TVXQ

Oh iya aku juga suka motret sama ngegambar, walau gak jago-jago amat Makannya itu aku suka sama Anime. Komik. Kartun. Bahkan sampe segede sekarang aku masih suka nonton spongebob atau Shincan looo .__.

oh iya ini bagian paling penting aku Gak suka di cuekin. Gak suka orang egois dan sok bisa. Benci kucing. Sedang belajar tidur sendiri.

Sifat aku itu gampang

Gampang marah tapi lebih lama baik :D
Gampang kesel tapi keselnya cepet ngilang :D
Gampang lupa tapi alhamdulilah cepet inget
Gampang suka sama orang *eh *apaini? Tapi bukan berarti gampangan. Amit-amit deh -_-
Gampang minder. Nah nah yang ini yang buat aku jadi orang yang gampang galau -_- kalau ketemu sama orang yang lebih jago apapun itu, mental aku suka langsung nyusut. Asalnya segede biji kopi jadi segede biji jagung. Eh ? sama aja ya ? ya gitudeh.

TK Assyafeiyah (B1)   SDN 1 Cikeris (1A-6A) SMPN 1 Wanayasa (7f-8C-9f) SMAN 1 Purwakarta (10.9-11IPA2

Insyaallah Calon dokter yang punya sampingan penulis dan disainer HAHAHA. Pengen punya supermarket biar bisa makan keju seenaknya. Pengen punya managemen artis biar bisa ketemu artis semaunya.Pengen punya Butik sendiri apalagi di Parisi. Pengen bisa keliling dunia apalagi ke Jepang sama Korea. Pengen jadi seseorang yang bahagia dan bisa ngebanggain orang lain. Hehehe

HA ! sekarang aku udah inget ! aku mau nulis tentang all about diri aku sendiri. Eh tapi udah di tulis yaa hahah. Okelah.  Intinya aku shyfa, gak sempurna tapi Cuma satu-satunya di dunia. Bagaimanapun kata orang, aku tetep cantik dan unik. :3


PS : Posting kali ini gak penting banget ya hahahah.

Dream (cerpen)

Ini bukan cerpen buatan aku sii, yang punyanya Kak David (penulis Sometimes)
Kenapa aku pos ? soalnya bagus banget apalagi  untuk mereka yang tidak takut untuk bermimpi... 

Oke selamat baca !

*** 

Kang Ji-Woo masih berdiri di sana dengan lengan yang disilangkan di depan dada. Tidak bersuara. Tidak juga mengambil tindak. Hanya memperhatikan Jin Yi-Song yang sedang menatap ke arah panggung dengan sorot menerawang. 

Belum ada yang Kang Ji-Woo lewatkan. Ia mengamati semuanya, termasuk cara Jin Yi-Song mendesah, juga ketika gadis itu menempelkan tangan di depan dada. Selayaknya sampah, ia sebenarnya ingin membuangnya. Namun, ia mendapati dirinya tidak bisa. Maka, saat ini Kang Ji-Woo menunduk dan mendesah pasrah saat ia dipaksa untuk mengingat semuanya, detik-detik ketika Jin Yi-Song tidak ada bedanya dengan daun kering yang baru lepas dari rantingnya. 

Kang Ji-Woo memejamkan mata sekejap sebelum mengangkat wajah. Sekuat yang ia bisa, ia menahan dirinya untuk tidak menghampiri Jin Yi-Song. Ia hanya perlu sendiri—itu yang Jin Yi-Song katakan kepadanya. Saat itu Kang Ji-Woo berjanji tidak akan menganggunya asalkan Jin Yi-Song tidak melarangnya untuk berada di sini. Akan tetapi, ketika akhirnya Jin Yi-Song jatuh ke lantai dengan lunglai, Kang Ji-Woo pun tidak peduli lagi saat ia melanggar janji dan bergegas menghampiri. 

Tidak butuh waktu yang lama bagi Kang Ji-Woo untuk menghadirkan diri di depan mata Jin Yi-Song yang mulai dipenuhi kaca. Jin Yi-Song menengadah sejenak, lalu membuang muka. Di tempatnya, Kang Ji-Woo meringis tidak tahan, kemudian berjongkok di depannya. 

“Kau ini...” Kang Ji-Woo menggerutu dengan nada sebal. “Aku sudah memperingatkanmu kalau ini tidak akan mudah. Kenapa kau masih saja keras kepala?” 

Jin Yi-Song menoleh menatap Kang Ji-Woo, hanya sebentar sebelum ia menunduk tanpa sempat berkata apa-apa. Jari telunjuknya mengetuk lantai kayu dengan lemah dan lelah, kebiasaannya jika ia sedang putus asa. 

Kang Ji-Woo mendecak, lalu mencekal lengan Jin Yi-Song sehingga tidak ada lagi suara ketukan yang sendu. “Berhenti melakukan itu,” pria itu berseru. Jin Yi-Song berusaha meronta meski ia tahu ia tidak punya cukup tenaga. “Kau ingat apa yang kaukatakan kepadaku dulu?” tanya Kang Ji-Woo. 

Kang Ji-Woo berdeham singkat. Lalu dengan menirukan gaya bicara Jin Yi-Song yang ceria, ia berkata, “Hei, Kang Ji-Woo! Untuk apa kau bersedih? Ini seperti bukan dirimu. Yang sakit itu, kan aku.” Kang Ji-Woo berhenti sejenak untuk menirukan cengiran lebar Jin Yi-Song saat itu. “Kang Ji-Woo ssi, dengarkan aku. Aku tidak akan berhenti. Tidak akan karena aku punya mimpi. Di dalam sini,” Kang Ji-Woo menunjuk dadanya, “mimpi itu tidak mati. Penyakit itu bisa merenggut apa saja yang aku punya, kecuali satu. Mimpiku.” 

Kang Ji-Woo mengangkat wajah Jin Yi-Song dan menyejejakan matanya dengan mata gadis itu. “Kau ingat?” tanya Kang Ji-Woo dengan nada yang sudah seperti biasa. Ketika Jin Yi-Song masih betah membungkam, Kang Ji-Woo melirik pergelangan gadis itu sekilas. “Dan... dan kau ingat ini apa?” tanyanya setelah mengangkat tangan Jin Yi-Song tinggi-tinggi. Kang Ji-Woo menyentuh gelang manik warna-warni yang melingkar di pergelangan tangan Jin Yi-Song, lalu kembali bersuara, “aku yang memberikannya dan kaubilang ini akan menjadi gelang harapan. Kaubilang sebelum gelang ini putus, kau akan terus berjuang. Kau tahu? Aku bahkan sampai pernah mencuri gelang ini darimu dan menambahkan dua utas benang tebal di dalamnya. Kau tahu untuk apa? Agar gelang ini tidak akan pernah putus. Kau tahu kenapa? Karena aku...” napas Kang Ji-Woo tersengal-sengal, “aku tidak ingin kau berhenti berjuang. Demi Tuhan, sekali pun jangan pernah!” 

Jin Yi-Song terpana dan menatap Kang Ji-Woo tanpa jeda. Sekali gadis itu berkedip dan air mata pertamanya bergulir turun diiringi isak tangis yang mulai meluber keluar dari mulutnya. 

Jauh di dalam hatinya, Jin Yi-Song tahu ia pernah begitu bersemangat untuk bermimpi, ia pernah begitu berusaha untuk meraihnya. Ia ingin terus seperti itu, namun ia rasa tidak lagi bisa. Ketika ia baru akan melangkah, ia tidak melihat satu pun jalan. Ketika ia melangkah, pintu yang ingin ia tuju seolah-olah tertutup rapat. Dan ketika akhirnya ia memutuskan untuk berhenti, ia rasa semuanya sudah berakhir. 

“Jin Yi-Song...” Suara Kang Ji-Woo sedemikian lembut. 

Jin Yi-Song menggeleng pelan-pelan. Ia terus menggeleng sampai tiba-tiba ia meronta dengan hebat. Dan di detik itu, Kang Ji-Woo sadar kalau pernyataan keputusasaan akan melemahkan seseorang itu salah besar. Tenaga Jin Yi-Song meledak dan cekalan Kang Ji-Woo atas lengannya hancur serupa remah-remah. Jin Yi-Song menarik paksa gelang manik dari pergelangan tangannya, lalu membuangnya ke sembarang arah. Gelang itu putus dan maniknya berhamburan ke mana-mana, memercikkan nada-nada putus asa. 

Kang Ji-Woo yang menyaksikan itu terperangah. Emosi bergolak menghancurkan rongga dadanya. Ia mengangkat sebelah tangan yang sudah dikepal kuat-kuat. Namun saat Jin Yi-Song menangis hebat di depannya, kepalan itu terurai tanpa harus dipaksa. Isak tangis yang melumuri bibir Jin Yi-Song membuat Kang Ji-Woo menurunkan tangannya dan beralih melingkarnya di tubuh gadis itu. Pelan-pelan, Kang Ji-Woo menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan mengajak gadis itu untuk mendengarkan detakan jantungnya yang melemah. 

“Aku...” desah Jin Yi-Song di sela-sela tangis yang belum juga reda. “Apakah aku masih berani untuk bermimpi?” tanyanya dengan artikulasi yang tidak jelas. “Aku rasa aku sudah terlalu lama berjalan, sudah terlalu keras berusaha. Namun... namun kenapa aku belum mendapatkan apa-apa? Yang lain sudah menemukan jalan mereka. Park Yu-Jae bahkan sudah merilis album. Kau... kau dan Sin Hae-Soon akan memulai debut bulan depan. Sedangkan aku? Aku belum menjadi siapa-siapa. Meski aku sudah lama berjalan, sudah keras berusaha, aku masih tetap ada di titik yang sama. Aku bahkan tidak bisa lagi mengikuti audisi besok, juga audisi-audisi yang lain,” tutur Jin Yi-Song susah payah sampai napasnya terengah-engah. Ia menarik diri dari pelukan Kang Ji-Woo dan menatap pria itu dalam-dalam. “Kang Ji-Woo ssi, kenapa?” ia bertanya dengan lirih. “Kenapa rasanya sulit sekali untuk meraih mimpi? Apa aku tidak ditakdirkan untuk merasakan apa yang seorang bintang rasakan? Apa aku tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan kalian?” Suara Jin Yi-Song terdengar meninggi, namun semakin putus asa. Tangisannya kian menjadi-jadi. 

“Jin Yi-Song, kami tidak akan sampai di titik sekarang jika bukan karenamu. Kau ingat siapa yang berhasil meyakinkan orang tua Park Yu-Jae untuk memberi restu kepada putra mereka untuk berkarir di dunia seni? Kau ingat siapa yang mendorong Sin Hae-Soon yang pesimis untuk mengirimkan cd demo ke Oxy Entertainment? Dan apa kau ingat siapa yang setiap kali memukul kepalaku saat aku membuat ulah di atas panggung? Jin Yi-Song... Dia adalah Jin Yi-Song. Jin Yi-Song yang membuat kami tidak takut untuk bermimpi. Jin Yi-Song yang meyakinkan kami kalau kami bisa. Jin Yi-Song yang membuat kami percaya kalau mimpi itu milik siapa saja.” 

Kang Ji-Woo kemudian menyentuh dagu Jin Yi-Song dan berkata dengan nada mengiba, “jadi, aku mohon, bertahanlah. Jangan seperti ini, Yi-Song.” 

Kang Ji-Woo bergeak menjauhi Jin Yi-Song dan memunguti gelang serta manik-maniknya satu per satu. Dengan sabar, Kang Ji-Woo menguntai kembali manik-manik itu dengan benang. Jin Yi-Song melihat itu dan menangis dalam penyesalan yang tidak tanggung-tanggung. Ia sadar ia tidak perlu seperti itu. Ia berpikir Kang Ji-Woo pasti kecewa terhadap dirinya. Akan tetapi, ketika Kang Ji-Woo kembali ke hadapannya dan tersenyum, ia malah terpana. Di matanya, Kang Ji-Woo masihlah sama. Tidak sedikit pun berubah. Tidak ada coretan kecewa di wajahnya. 

Setelah memberikan simpul terakhir di gelang itu, Kang Ji-Woo mengembalikan gelang itu ke tempat yang paling tepat. Pergelangan tangan Jin-Yi Song. Kang Ji-Woo terlihat puas dan tersenyum lebar. “Nah, seperti kataku dulu, gelang ini akan terlihat cantik hanya jika kau yang memakainya,” seru Kang Ji-Woo. 

Jin Yi-Song tersenyum kecil, lalu terkejut sendiri saat menyadari ia tidak lagi menangis. Ia tidak tahu kapan ia berhenti menangis, namun ia jelas tahu alasannya. 

“Jangan pernah berani membuang gelang ini lagi. Jangan pernah berani membuang harapanmu lagi. Jika kau berani, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Mengerti?” Kang Ji-Woo menepuk pipi Jin Yi-Song dua kali, lalu membetulkan lilitan syal tebal di leher gadis itu. 

“Ji-Woo ssi, gomawoyo (1),” ucap Jin Yi-Song sungguh-sungguh. 

Kang Ji-Woo mengangguk. “Kalau kau memang berterima kasih kepadaku, kembalilah ke atas panggung,” katanya. Melihat Jin Yi-Song ingin menyela, Kang Ji-Woo bergegas melanjutkan, “tidak harus sekarang. Aku akan menunggu sampai kau siap. Kapan pun itu, aku akan ada di kursi penonton dan memberikan tepuk tangan yang paling meriah untukmu.” 

Jin Yi-Song mengurungkan niatnya untuk membantah. Alih-alih membantah, ia justru tersenyum dan mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji?” tanyanya bersemangat. 

Kang Ji-Woo terkekeh dan menyambut kelingking Jin Yi-Song. “Janji.” 

*** 

Kang Ji-Woo berdiri dengan gugup di belakang panggung. Tangannya yang menggenggam microphone terasa dingin dan berkeringat. Ia mencoba mengatur napas, namun tidak bisa. Ia mencoba berjalan mondar-mandir, namun tidak berhasil. Beberapa cara sudah ia coba, namun tidak ada satu pun yang berhasil membuat rasa gugupnya melebur 

Tiba-tiba Kang Ji-Woo berseru dengan keras saat ia mengingat sesuatu. Tampaknya Kang Ji-Woo akan terus menyerukan ‘aahhh’ dengan keras untuk menunjukkan kelegaannya jika saja beberapa pasang mata tidak mengarah kepadanya. Ia membungkuk dalam-dalam dan menggumamkan kata maaf berulang kali karena sudah mengejutkan beberapa kru di belakang panggung. Saat semuanya kembali normal, Kang Ji-Woo bergegas merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan sesuatu. Ia memandangi percik-percik kemilau di atas telapak tangannya dan tersenyum. Memang hanya cara inilah yang bisa membuatnya jauh lebih tenang. 

“Dari mana kaudapatkan benda seperti itu? Itu sepertinya bukan benda untuk laki-laki.” 

Kang Ji-Woo menoleh dengan cepat. Begitu menyadari siapa yang baru saja berbicara kepadanya, ia langsung menyembunyikan benda yang dimaksud ke dalam saku jaket, lalu membungkuk sekejap. 

“Itu... itu bukan apa-apa,” jawab Kang Ji-Woo terbata-bata. 

Joon Yo-Soo tertawa pelan, lalu mengangguk-angguk. Ia berdeham, lalu, “sebentar lagi giliranmu. Siap?” tanyanya. 

Kang Ji-Woo mengangguk dengan mantap. “Tidak pernah sesiap ini,” sahutnya. 

Joon Yo-Soo menepuk bahu Kang Ji-Woo berulang kali dengan bangga. “Lakukan yang terbaik. Tunjukkan bahwa sekolah ini punya lulusan terbaik yang luar biasa.” 
Kang Ji-Woo mengangguk lagi. 

“Baiklah, saya pergi dulu,” Joon Yo-Soo pamit. 

“Sonsaengnim (2),” panggil Kang Ji-Woo. 

Joon Yo-Soo menghentikan langkahnya dan berbalik. “Ya?” 

“Mengenai permintaan saya...” 

Joon Yo-Soo menyela dengan mengangguk. “Sudah dipersiapkan. Kau hanya perlu berdiri di atas panggung dan lakukan apa pun yang kau mau.” 

Kang Ji-Woo membungkuk. “Ghamsahamnida (3), Sonsaengnim.” 


*** 

Kang Ji-Woo berjalan ke panggung tanpa rasa gentar. Kaki dan tangannya tidak sedikitpun gemetar. Kalaupun rasa gentar dan gemetar itu datang, ia tahu ia hanya perlu membayangkan satu wajah sebentar dan sungguhlah semuanya terasa akan baik-baik saja. 

Di tengah panggung, Kang Ji-Woo berhenti. Di sana ia hanya berdiri. Lalu, setelah dirasa cukup lama, Kang Ji-Woo pun membuka mulut dan bersuara. 

“Mimpi,” ia memulai. Ia menyapukan pandangannya ke barisan penonton pelan-pelan, lalu, “apa itu mimpi?” ia bertanya. 

Kang Ji-Woo menengadah, terlihat menekuri langit-langit selama beberapa saat. Ia kemudian kembali memandang ke depan dan tersenyum. “Seseorang pernah mengatakan kepadaku kalau mimpi itu seperti akar. Dia tumbuh di balik tanah dan tidak terlihat, membuatnya tampak tidak berdaya dan membuat orang-orang ragu akan kekuatannya. Namun, pelan-pelan ia tumbuh. Menerobos tanah dan bebatuan, muncul ke permukaan dan menunjukkan kepada siapa saja kalau dia sebenarnya kuat. Dia akan terus tumbuh meski terkadang tanahnya kering, meski terkadang angin terlalu kencang. Dia akan terus tumbuh dan membawa apapun yang bertengger di dahannya ke puncak tertinggi yang ia bisa. Seseorang itu mengatakan mimpi juga seperti itu. Mimpi akan membawa siapa pun yang percaya kepadanya ke puncak tertinggi. Dan ketika saat itu tiba, saat itulah kita menjadi bintang yang bersinar di angkasa.” 

Kang Ji-Woo mengambil napas dengan susah payah. “Awalnya aku kira seseorang itu hanya bisa omong kosong sampai aku menyaksikan kalau dia tidak hanya sekadar berbicara, namun juga menunjukkannya.” 

Kang Ji-Woo beranjak ke tepi panggung, mencoba tidak menghalangi layar besar yang pelan-pelan diturunkan. “Video yang akan kita lihat ini diambil delapan bulan yang lalu, saat dia masih bersama kita di sini.” Dan beberapa detik setelah Kang Ji-Woo berbicara seperti itu, sebuah video dimainkan dan ditembakkan ke layar besar oleh proyektor. 

Video itu mempertontonkan Jin Yi-Song yang sedang berlatih seorang diri. Kang Ji-Woo mengambil video itu diam-diam. Di dalam video itu, Jin Yi-Song bernyanyi dengan lepas meski dengan artikulasi yang tidak jelas. Ia tidak berhenti meski ia tahu nyaris semua nada yang ia nyanyikan sumbang. Di sana, Jin Yi-Song juga menari dengan bersemangat meski dengan langkah yang tertatih-tatih. Ia pantang menyerah meski berulang kali ia terjatuh. 

“Jin Yi-Song. Seseorang itu adalah Jin Yi-Song,” ungkap Kang Ji-Woo dan saat itu video itu belum selesai diputar. “Jin Yi-Song yang akan terus bernyanyi sampai ia tidak bisa bernyanyi lagi. Jin Yi-Song yang akan terus menari sampai ia tidak bisa menari lagi. Jin Yi-Song yang akan terus bermimpi sampai dia mati.” 

Video itu diakhiri dengan dua baris kalimat. 

Jin Yi-Song, sang pemimpi tangguh yang menderita Spinocerebellar Degeneration (4). Untukmu, terima kasih karena sudah menunjukkan apa mimpi itu. 

Dan ketika video itu benar-benar berakhir, semua penonton berdiri dari tempat duduknya dan memberikan tepuk tangan yang paling meriah yang pernah Kang Ji-Woo dengar. Acara perpisahan Sekolah Seni Kirin pun ditetesi tangis haru dari beberapa siswa dan guru. 

Di tempatnya, Kang Ji-Woo tersenyum dan meneteskan air mata. Tampaknya, setelah malam ini berakhir, tidak akan ada lagi yang ragu untuk bermimpi. Semoga... 

*** 

Dia pernah mengatakan kepadaku kalau yang terpenting adalah bukan betapa sakitnya saat kita terjatuh, namun bagaimana kita berdiri lagi setelah itu. 
Jin Yi-Song, gomawoyo! 

—Park Yu-Jae 


Dia bilang aku tidak perlu terlalu berusaha untuk tampil baik di depan orang banyak karena menurutnya yang harus aku lakukan pertama-tama adalah tampil baik untuk diri sendiri. 
Jin Yi-Song, gomawo! 

—Sin Hae-Soon 


Dia ingin menjadi seperti aku, Park Yu-Jae dan Sin Hae-Soon yang sudah debut. Dia bilang dia ingin mengejar kami. Namun, dia tidak pernah sadar sebenanrnya kamilah yang sedang mengejarnya. Karena, kami ingin menjadi seperti dia yang benar-benar menikmati rasanya memiliki mimpi. 
Jin Yi-Song, mari terus bermimpi! 

Saranghae (5). 

—Kang Ji-Woo 

*** 

Footnote : 

1. Terima kasih 
2. Guru 
3. Terima kasih 
4. Penyakit yang menyerang sistem saraf, membuat penderitanya sulit berjalan, berbicara bahkan menelan sesuatu. 
5. Aku mencintaimu 

*** 

Aku membuat cerpen ini setelah selesai menonton Dream High 2. Jadi, bisa dibilang kalau cerpen ini terinspirasi dari Drem High 2. Mengambil tema yang sama: mimpi. Bahkan, aku sengaja memakai nama sekolah di serial Dream High 2: Sekolah Seni Kirin. 

Sadar, sih ini gak sebagus Dream High 2 itu sendiri, namun aku harap cerpen ini bisa membagi sesuatu kepada siapa pun yang membacanya. 

Thank you for reading. Komentarnya ditunggu. :) 

Mimpi itu bukan cuma milik mereka yang berbakat, namun milik siapa saja yang berani untuk bermimpi. 
(Dream High 2) 

Warmy, 
David 

Jumat, 24 Agustus 2012

somehow (cerpen)



Somehow,
Saat hal yang tak mungkin menjadi bisa nyata..

****

Aku menghentikan langkahku, sang indra penglihat ini menangkap sosok adiksi itu juga tengah memperpendek jarak yang tercipta. Dan tiba-tiba semuanya terhenti saat Casanova itu menohokku dengan kedua matanya yang tenang, namun entah mengapa membuat kaki-kakiku meleh seperti tembaga yang dicairkan. Dan tanpa sadar aku menahan nafas saat ia mendekati wajahku dan berujar “kau menghalagi jalanku..” ujarnya  dingin. Kaku.
Lalu dengan segenap kesadaran yang ku punya aku menggeser posisiku beberapa  sentimeter darinya, kulihat ia menyirit meruncingkan ujung matanya hingga menembus milikku telak, dan detik berikutnya ada yang menarik padangan ku ke ujung kaki, dan tetap menunduk sampai ia berlalu. Lamat aku medesah, selalu seperti ini.

“hey Sakura-Chan, kau sedang apa ?” tiba-tiba aku merasa seseorang menyeru namaku dan keyakinanku diikuti dengan tepukan di pundak. Aku, mau tak mau menoleh dan mendapati Misaki tengah tersenyum.

“aku tidak sedang melakukan apa-apa” jawabku di imbuhi senyuman di akhirnya. kulihat alisnya menyirit lalu ia mendekatkan wajahnya ke telingaku.

“kau tadi bertemu si Doraemon itu , ya ?” tanyanya penuh curiga. Mataku terbelak.

“hey bukan Doraemon, tapi ..”

“hahahahaa..kau ini mudah sekali di tebak ! hahaha ” ia tertawa lepas sambil memegangi perutnya. Tawannya yang keras mampu menarik seluruh pandangan di koridor ini.

“Hey !” tegurku  sembari menyenggolnya pelan, ia menghentikan tawa nya. Ia menatapku tanpa dosa sambil menahan tawa. aku mendengus.

“sepulang sekolah nanti mau menemamiku bermain basket ?” tanyanya. Aku menatapnya galak.

“kaukan tahu aku tidak suka olahraga !” tagasku menolak. Ia tertawa lagi namun kali ini lebih pelan.

“siapa bilang kau harus ikut bermain, cukup melihatku saja..” ujarnya sambil menyentuh puncak kepalaku.

“huh itu membosankan Misaki-kun !” aku lagi-lagi menolak ajakannya.

“bukankah menulis lagu tanpa melakukan apa-apa itu membosankan ?!” tanyanya, ia tidak menyerah.

 Aku membuang nafas. Misaki sangat menyukai olahraga terutama Basket, Ia menempati posisi point guard dan ia adalah salah satu pemain terbaik di sekolah. Berbeda denganku, aku tidak menyukai olahraga, aku lebih memilih duduk berjam-jam di depan piano di banding harus menggerakan badan di tengah terik matahari.  Tapi untuk kali ini Ia benar juga aku bisa menemaninya dan menulis lagu tanpa bosan.

“hhhh.. baiklah” ucapku akhirnya menyerah, kulihat Misaki tersenyum lebar, lalu sekali lagi ia menyentuh puncak kepalaku dan mengacak rambutku pelan.

“anak baik, ayo masuk kelas !” aku mengangguk. Lalu berjalan beriringan dengan Misaki.

**

“hey Sakura-Chan !” aku menoleh keseluruh lapangan, mencari-cari sosok pemilik suara tadi. Pandanganku terhenti pada seorang pemuda yang tengah melambai ia mengenakan seragam Basket lengkap dengan keringat.

Aku balas melambai, lalu mencari posisi duduk yang nyaman.

Aku duduk disalah satu pohon  Gingko yang terdapat di pinggir lapangan, Langit sore ini sangat cerah, sinar matahari sepertinya mampu membuat kulitku kecoklatan seperti Misaki.

Aku terkekeh saat melihat Misaki menari konyol setelah melakukan aksi sok jago nya, Ia melempar bola basket dari jarak yang cukup jauh tapi hebatnya benda  bulat orange  itu masuk mulus kedalam ring.  Aku bertepuk tangan sambil terus menahan tawa, Misaki Nampak seperti bocah berumur lima tahun yang baru saja mendapatkan permen, Misaki menatapku lalu tersenyum lebar.

Aku baru teringat, bukankah aku harus menyelesaikan lagu ku untuk Pentas sekolah Musim Gugur bulan depan ? dengan gerakan cepat aku merogoh tasku mengaduk isinya lalu mengeluarkan buku berisi partitur-partitur nada, aku mencari-cari halaman terkahir yang baru saja ku tulis lalu tanpa sadar aku mulai bergelut dengan nada dan not.

Aku meregangkan otot-ototku yang tegang mungkin karena terlalu lama menunduk pundakku jadi terasa sakit. Aku menatap jam yang terpasang di pergelangan tanganku. Ini sudah pukul 5 sore. Ah tidak terasa ternyata sudah 2 jam. Aku menyapu pandagan ku ke arah lapangan. Lapangan itu kosong, mungkin Misaki telah selesai dan tengah berkemas.

Secara tidak sengaja ekor mataku melihat pancaran zat adiksi dari Cassanova itu melintas bersebrangan denganku, tubuhku merejang saat menatap zat adiksi itu tersenyum, senyum yang mampu membuat siapa saja luluh, namun senyum itu tidak ditujukan untukku melainkan untuk… seorang gadis, disampingnya, yang kini berdampingan dengannya. Gadis itu, bukankah ia Akari ? teman sekelasku.

Tiba-tiba ada yang berdenyut, merintih sakit disini. Saat Casanova itu merangkul Akari, Ah begitukah ?! sebegitukah aku menyukainya ?! apa aku sudah benar-benar kecanduan oleh zat adiksinya ?!

Aku membuang pandanganku, lalu tanpa sadar aku mendapati seseorang tengah berdiri, aku mendongkak, ia tengah menatapku, tatapan yang sama dengan yang ku berikan padanya.

“kau baik-baik saja ?” Tanya Misaki. kini telah mengganti seragam Basketnya, rambut nya yang hitam agak ikal itu kini dibasahi buliran-buliran air.

Aku menggeleng. Lalu berujar lemah. “ aku ingin pulang..” ucapku sambil berusaha membendung pertahananku yang lama-kelamaan mulai runtuh.

Aku tidak tahu, tapi sepertinya Misaki tengah mencari sumber sikapku yang tiba-tiba berubah.
Lalu kulihat, tangannya terkepal kuat-kuat. Aku memberanikan diri menatap Misaki mencari-cari dimana kedua danaunya yang bening, namun yang kudapati kedua danaunya itu mengeras menatap lurus, pada satu titik, titik yang sama dengan yang ku tatap tadi.

Aku beranjak, merapihkan alat tulis dan buku yang tadi sempat kugunakan.  

“Misaki-kun apa kau sudah selesai ? bisa kita pulang sekarang ?” tanyaku hati-hati. Bukan jawaban yang kudapat dari Misaki, kini ia menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti.

“apa kau benar-benar menyukainya ?” tanyanya dengan nada yang tidak biasa. Aku menyirit.

“lalu apa yang akan kau lalukan saat melihat Tetsuya-kun bersama gadis lain ?” lanjutnya, kini aku mengerti kemana arah bicaranya.

“tidakkah kau sadar ia akan terus menyakitimu ?” ia terus mencercahku dengan berbagai pertanyaan dan itu semua membuat kepalaku terasa berat.

Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak mau tahu! Aku menjerit dalam hati.

Aku mendongkak, lalu mencoba menarik kedua ujung bibirku hingga membentuk lengkungan.
“aku.. tidak apa-apa biar harus seperti ini. Sekalipun aku harus menyerah. Aku tidak akan menyesalinya” ucapku dan ternyata cukup membuat Misaki diam. Ia menatapku, dan detik berikutnya ia memalingkan wajah.

“itu bukan cinta, ketika semua titik yang kau tuju hanya berujung lelah” ia bergumam, namun dengan jarak yang begini dekat aku cukup mendengar ucapannya tadi.  

“itu bukan cinta, ketika kau jadi buta dan berjalan seolah tak pernah mengenal arah. Itu bukan cinta ketika kau menjatuhkan diirmu dan pasrah !” kini nada suranya semakin tinggi, membuatku semakin ketakutan.

Aku menggeleng, frustasi. Mengapa Misaki tiba-tiba menjadi seperti ini. Aku telah mengenalnya hampir separuh masa umurku, mana sikapnya yang hangat ? mana pandangan yang mampu membuatku tenang ? ini bukan Misaki ku “aku ingin pulang !” ujarku emosi sambil melangkah meninggalkannya.

Memang apa salahnya mencintai seorang Casanova sekolah, aku tahu dan aku yang paling tahu resiko menyukainya. Aku juga tahu kalau ia tidak akan melihatku bahkan dari sisi manapun. Aku tahu itu. namun mengapa Misaki, sahabatku sendiri mengatakan hal yang tidak patut ia katakan. Ia menyakitiku.

Dan pertahanan yang mati-matian aku bendung akhirnya runtuh juga, dalam tangis aku mempercepat langkahku. Namun setelah itu
Kaki-kaki ku terasa di paku, aku berdiri mematung, saat hembusan angin membawa daun-daun Gingko menyentuh rambutku, mataku terbelak maksimal, tiba-tiba semuanya terasa sangat sunyi, hanya suara Misaki yang terdengar jelas. Sangat jelas. Jelas menyedihkan.

 “mengapa kau tidak mencoba membuka matamu ! mengapa kau tidak pernah melihatku !!” ujarnya suaranya benar-benar memenuhi otakku.

“kau terlalu sibuk menyukai orang lain, hingga tidak pernah melihatku !” ujarnya lagi, kini suaranya jelas terdengar bergetar.

Dengan segenap kekuatan aku berbalik, dan betapa menyakitkannya saat melihat Misaki telah terduduk dengan kedua lutunya yang bersentuhan dengan tanah. Sinar senja memantul pada rambut-rambutnya yang basah, Aku tidak dapat melihat dua danaunya yang bening. Ia menunduk dalam.

Entah oleh dorongan apa kaki-kakiku mulai bergerak, menghampirinya.

Betapa bodohnya aku, betapa tidak berperasaannya aku. Mengapa aku bisa melewatkan sesuatu yang sangat penting. Misaki. Mengapa aku tidak pernah menyadari keberadaan hati Misaki ? aku bahkan tidak bisa membayangkan, senyum apa yang ia perlihatkan saat aku menceritakan dengan bangga sosok Casanova itu, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimaa perasaanya saat dengan jelas aku lebih membela Casanova itu dibandingkan dia. Aku..  sejak kapan aku menjadi orang jahat ?

Aku menyentuh bahu Misaki, lalu seperdetik kemudian ia mendongkak, dan betapa terkejutnya aku saat melihat kedua bening itu kini keruh, itu bukan mata yang selalu ia tunjukan untuk menenangkanku, itu bukan mata yang selalu membuatku hidup. Itu itu bukan miliknya.
Atau.. atau aku yang tidak pernah mengerti sepenuhnya, atau atau aku yang terlalu sibuk memahami  oranglain ? sehingga aku lupa untuk memahami sahabatku sendiri.

Kulihat misaki bersusah payah beridiri, Entah oleh tarikan macam apa, kedua tanganku terulur, lalu seperdetik kemudian aku rubuh di pelukan Misaki. Misaki nampaknya menegang namun lamat tapi pasti ia membalas mendekapku. Kini giliran aku yang menegang, perasaan macam apa ini ? ini bukan sensasi kaget dan tegang seperti yang kurasakan pada Tatsuya, si Casanova itu. ini..

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1mOlclu0H_QLPgy9Ifq_lGmddhpcahQ-Uxj_ZOYwi5m4_bDzZRbXA32fYkATU4Xb_5j5zsNDxD30MjFsnV9EUeq2b70f6w8mD-x7rpS2fUF2nvfn6xmC4YuzhCZorRcilBgbyjprYZFyp/s320/Anime-Friends-Cards.jpg
“Maafkan aku..” ucap Misaki pelan. aku merasakan ia menempelkan pipinya di kepalaku.
Dan setelah kata-kata itu seakan menonton film, rol-rol ingatan di fikiranku terputar begitu saja, saat Misaki mengajariku menaiki sepeda, saat Misaki menepuk-nepuk puncak kepalaku saat aku menangis, Saat Misaki mendengarkanku bermain piano. Saat Misaki..

Aku menggeleng. “tidak apa-apa..” jawabku setengah sadar, karena masih terhanyut oleh kehangatan yang Misaki ciptakan.

“Misaki-kun Aku ingin kau mengucapkan apa yang kau percayai..” ucapku. Dan setelah aku merasakan ia melepas pelukanku.

“apa ?” tanyaya dengan muka polos. Aku terkekeh, lagi-lagi ia menciptakan perasaan yang tidak ku mengerti, aku menatap matanya, dua danaunya itu kini kembali jernih. menenangkan.

“aku ingin kau mengatakan apa yang kau rasakan terhadapku” ucapku sejelas-jelasnya.
Ia menatapku dalam. Menghela nafas  lalu mengucapkannya penuh ketulusan.

“aku mencintaimu, Sakura-Chan” ucapnya. Menciptakan getaran-getaran yang sangat ku nikmati
Sekarang giliran aku menatapnya, “terimakasih telah mencintaiku, oleh karena itu, ajari aku mencintaimu” ucapku sungguh-sungguh. Aku masih menatapnya, dan aku baru menyadari bahwa Misaki mempunyai lensung pipi saat ia tersenyum. Lesung yang membuatnya jauh lebih tampan.

“serahkan saja padaku !” ujarnya setengah kegirangan, lalu kembali menyesapkan kehangatan yang menjalar keseluruh jiwaku. Mengalahkan hangatnya sinar senja hari ini, esok, dan selamanya.

**

Itu bukan cinta
Ketika semua titik yang kau tuju hanya berujung lelah

Itu bukan cinta
Ketika kau jadi buta dan berjalan seolah tak pernah mengenal arah

Itu bukan cinta
Ketika kau menjatuhkan dirimu dan pasrah

Itu bukan cinta
Ketika kau lupa dirimu hingga memilh untuk menyerah

Itu bukan cinta
Ketika kau menangkan ego dan kau biarkan hatimu menderita kalah

Itu bukan cinta
ketika semua tentang yang kau inginkan dengan serakah

itu bukan cinta
ketika kau mencari-cari putih tapi yang kau dapat tetap salah.

Itu bukan cinta
Sama sekali bukan

**Somehow (cerpen) selesai**

Cuapcuap cipaaw.

Akhirnyaaaa selesai jugaaaa, fyuuuh..
Mau say thanks dulu nih buat Zaki, makasih arahannya, kamu bantu banget apalagi pas berbagi ilmu tentang embel-embel nama dan kedudukan orang-orang Jepang, maklum aku kan gak tau apa-apa tentang Jepang._. curhat dikit ya, sebenernya aku pengen masuk eksul bahasa Jepang Cuma gara-gara waktu itu keluar gak permisi-permisi jadi malu nih mau masuk lagi .-.

Tau gak judul cerpen ini sebenernya di tujuin buat Misaki walaupun diambil dari sudut pandang Sakura, soalnya kalau judul sama sudut pandang diambil dari Misaki gak mungkinkan cowo lebay-lebayan -_- makannya aku ngambil dari sudut pandang Sakura, kan cewe biasa tuh lebay lebayan .__.

Tapi ilham yang datang untuk ide ini lucu juga, gara-gara keingetan Mint dan keingetan temen sekelas  yang suka basket *eh #BOHONG #JANGANDIPERCAYA.__. Curhat dikit lagi ya, jujur nih aku masih bingung mau ngasih nama samara apa yang cocok buat anak satu itu, kan gak mungkin neybutin merk *eh

Tapi bener nih, biasanya cerpen yang aku buat ini bener-bener dari hati *ciee-_-
Dan well terciptalah cerpen dari penulis amatir ini, butuh saran dan kritik nih buat kemajuan penulis. Makasih buat yang udah baca. Makasiiih banget.
Jangan lupa follow blog aku atau engga twitter aku di @shyfanurfa ._. sekali lagi makasih ! arigato gozaimastu ! dadah *tring *ngilang.

Warmy  
cipaaw