Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Sabtu, 22 Maret 2014

(cerpen) Speak out !

SPEAK OUT ! (CERPEN)


Aku memberanikan diri untuk menatap ke bawah. Bemacam-macam pertanyaan berseliweran dalam kepalaku.
            Bagaimana rasanya jika jatuh ke bawah?
            Sebesar apa rasa sakitnya?
            Atau, mungkinkah aku akan langsung mati tanpa sempat merasakan sakit apa pun?
            Aku bernapas dengan berat. Tanganku terkepal erat, terasa basah dan dingin. Pelan-pelan, semua hal yang aku alami sebulan belakangan mulai menyesaki kepalaku, berputar seperti gulungan film usang. Masa-masa berat itu. Saat aku dijuluki si culun ataupun si kutu buku. Saat mereka mendorong tubuhku sampai menghantam loker. Saat mereka dengan santainya merampas uang sakuku. Dan, saat mereka mempermalukanku di depan siswa-siswi sekolah ini.
            Cukup!
            Tanganku bergetar.
            Aku tidak sanggup lagi. Aku lelah dihantui oleh rasa takut setiap kali hendak berangkat ke sekolah. Aku tidak mau menghadapi rutinitas mengerikan itu lagi. Aku harus menghentikannya. Hari ini juga.
            Aku melangkah maju satu langkah. Halaman sekolah di bawahku masih saja sepi. Jam belajar sedang berlangsung. Tidak akan ada yang melihatku. Bahkan tidak akan ada yang peduli. Aku tersenyum getir. Betapa tidak berartinya aku selama ini. Tapi, tak apa. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Aku hanya perlu mengambil satu langkah lagi dan usailah sudah.
            Aku baru akan bergerak maju ketika terdengar suara langkah kaki di belakangku, disusul oleh suara seorang pria.
            “Langitnya cerah banget.”
            Aku terkejut dan mundur beberapa langkah. Lalu aku memutar tubuhku ke belakang dan menyipit ke arah pria yang sedang bersandar ke bingkai pintu yang tadi aku pakai untuk sampai ke atap gedung sekolah.
            Pria itu mengenakan seragam sekolah yang sama denganku. Penampilannya seperti siswa yang sering bermasalah. Ujung kemejanya mencuat keluar dari dalam celana abu-abunya. Sebelah earphone menyumbati telinga kirinya sementara sebelahnya lagi tergantung di depan dadanya. Rambutnya agak gondrong dan berantakan.
            “Lo juga sering ke sini?” tanya pria asing itu sambil menarik lepas earphone dan memasukkannya ke dalam saku. “Gue suka duduk di sini sendirian sambil dengerin musik. Menenangkan, seperti obat buat masalah-masalah gue,” lanjutnya ketika aku cuma diam.
            Pria itu berhenti bersandar dan berjalan mendekat. Aku berbalik dan maju satu langkah, kembali pada rencanaku yang semula.
            “Lo anak XI-IPA, kan?” tanyanya
            Aku menoleh dan mendapati dia sudah berdiri di dekatku. “Dari mana kamu tahu?”
            “Siapa di sekolah ini yang gak kenal lo?”
            Dalam hati aku tertawa hambar. Benar juga. Siapa yang tidak mengenalku? Si culun yang sering di-bully dan dipermalukan di depan banyak orang.
            Namun, di luar dugaan, dia melanjutkan, “Si jenius yang menguasai hampir semua mata pelajaran.”
            Pernyataan itu membuatku terhenyak. Si jenius?
            “Eh, kalau lo emang sejenius yang guru-guru omongin, pasti lo bisa bantu gue,” kata pria asing itu lagi. Sebelah alisku terangkat. “Gue punya komputer di rumah, tapi kayaknya PCU-nya...”
            “CPU,” mulutku otomatis mengoreksi.
            “Ah, ya, CPU. Kayaknya CPU gue bermasalah. Berisik banget soalnya. Lo bisa bantu perbaiki?”
            “Maaf, aku tidak tertarik,” balasku. “Dan, sebaiknya kamu kembali ke kelasmu. Aku lagi tidak ingin diganggu.”
            Kening pria itu tampak bergumal. “Emangnya lo mau ngapain?”
            Aku menoleh ke depan, lalu menatap ke bawah. Jawabku datar, “Bunuh diri.”
            Dan, sekali lagi, reaksi yang diberikan pria itu membuatku terkejut.
            “Oh, lo mau bunuh diri?” tanyanya dengan santai, seolah-olah bunuh diri itu hal yang ringan seperti main kelereng. “Ya udah, lakuin aja. Gue gak bakal nahan lo, kok. Kebetulan banget gue belum pernah lihat orang bunuh diri secara langsung.”
            Sementara aku terbengong-bengong karena reaksinya, pria itu menjulurkan kepalanya untuk menatap ke bawah.
            “Tapi, lo yakin?” tanyanya. “Kalau lo lompat dari sini, waktu nyampe di bawah mungkin semua tulang lo bakal hancur. Kepala lo pecah. Otak lo yang brilian itu bakal tercecer ke luar. Mata, hidung dan mulut lo ngeluarin darah. Dan, besok mungkin lo bakal muncul di halaman depan koran-koran. Issss...” Pria itu bergidik dibuat-buat. “Gue, sih gak mau muncul di halaman depan koran dengan kondisi mengerikan kayak gitu. Yah, tapi kalau lo emang yakin mau bunuh diri, yah silakan.”
            Pria itu mengangkat bahunya tidak acuh, lalu mundur beberapa langkah, menjauhi tepi atap. Dia sudah mempersilakan. Dia juga tidak akan menahanku. Tapi, semua yang kulakukan hanya mematung di tempat. Kurasakan jantungku mulai mengentak dengan liar.
            “Omong-omong, lo ada pesan-pesan terakhir gak buat nyokap-bokap lo? Sebagai tanda terima kasih karena lo udah ngasih gue kesempatan buat nonton lo bunuh diri, gue janji bakal nyampein pesan-pesan terakhir lo itu tanpa kurang sepatah kata pun.”
            Kali ini aku tertohok oleh perkataannya. Ayah, Ibu?
            “Hei, dengerin gue,” kata pria itu. Suaranya terdengar serius sekarang. “Kalau lo beneran lompat ke bawah, rasa sakit yang lo rasain paling cuma beberapa detik. Setelah itu lo bakal meninggal dan gak ngerasain apa-apa lagi. Tapi, gimana sama orangtua lo? Lo sempat gak mikirin sebesar apa rasa sakit yang bakal mereka rasain? Lo tahu, rasa sakit karena kehilangan itu gak bakal sembuh hanya dalam beberapa jam. Rasa sakit itu bisa bertahan selama beberapa bulan, bahkan beberapa tahun.”
            Jeda sebentar.
            Kemudian dia melanjutkan, “Gue emang gak kenal lo dengan baik. Gue bahkan gak dekat sama lo. Tapi, gue yakin lo itu gak sebegitu egoisnya sampai-sampai cuma mikirin diri lo sendiri dan gak mikirin orang-orang yang lu tinggalin, yang sayang sama lo.”
            Aku membayangkannya; orang-orang terdekatku, terutama Ibu, menangisi kepergianku. Dan, bayangan itu terasa seperti godam yang menghantam belakang kepalaku, membuatku tersentak dan tanpa sadar mundur dua langkah.
Perlahan-lahan kabut yang menyelubungi pikiranku mulai mengabur. Aku mulai bisa berpikir dengan jernih.
            “Aku cuma capek,” kataku pelan. “Aku capek diejek. Aku capek dipermalukan. Aku capek jadi objek bulan-bulanan Erwin dan teman-temannya.” Berikutnya, suaraku terdengar bergetar ketika aku menambahkan, “Aku gak pernah lakuin sesuatu yang buruk ke mereka. Mereka gak punya hak. Mereka gak punya hak untuk mem-bully aku.”
            “Itu dia!” sambar pria itu. “Mereka gak punya hak. Jadi, jangan biarin mereka nge-bully lo.”
            Aku mendengus. “Aku bisa apa?” tanyaku sarkatis, lalu memandangi tubuhku yang kurus dan lemah. “Mereka bisa saja menghajarku dan dengan tubuh seperti ini aku tidak akan sanggup melawan. Aku tidak bisa apa-apa. Bahkan kamu yang punya tubuh lebih besar dari mereka saja tidak melakukan apa-apa di koridor tadi pagi.” Aku ingat sekarang. Pria asing itu berada di sana ketika aku di-bully oleh Erwin tadi pagi. Sama seperti belasan siswa yang ada di sana pagi tadi, pria itu juga tidak membantuku. Dia cuma berdiri dan menonton, bahkan melenggang pergi.
            “Aku takut…” ucapku dengan suara gemetar.
Aku mulai menangis. Aku tidak biasa menangis di hadapan seseorang, tapi aku tidak tahan lagi. Aku lelah. Sakit. Lemah. Dan, menyedihkan.
            Pria asing itu terdiam, mungkin terkejut karena aku tiba-tiba menangis.
            Beberapa saat kemudian dia bertanya, “Siapa bilang aku tidak melakukan apa-apa tadi pagi?”
            Aku berhenti menangis dan menatapnya.
            “Lo kira kepsek bisa tiba-tiba muncul di koridor tanpa sebab?” tanyanya lagi.
            Keningku berkerut bingung. Tapi, sesaat kemudian mataku melebar.
            “Ya,” dia tersenyum, “Gue yang laporin mereka ke kepsek.”
            “Kamu...”
            “Gue bukannya gak berani ngelawan mereka—percaya sama gue, gue bisa aja buat mereka tumbang hanya dengan satu pukulan. Tapi, gue gak mau. Kalau gue lawan mereka, itu bakal ngasih kepuasan tersendiri ke mereka, gak bakal buat mereka jera. Jadi, mending gue lapor ke kepsek. Biar beliau yang buat mereka jera.”
            Aku terdiam sejenak. Kemudian, “Kenapa kamu nolongin aku?” aku bertanya.
            Tubuh pria itu memperlihatkan geliat gelisah. Pandangannya jatuh jauh ke depan dan untuk beberapa saat dia tidak menjawab. Kemudian dimulai dengan satu desahan berat, dia pun berbagi.
            “Dulu, waktu gue masih SMP, gue itu gak ada bedanya sama Erwin dan jongos-jongosnya. Gue sering nge-bully teman-teman gue yang lebih lemah daripada gue—gue bahkan gak tahu apakah gue pantas nyebut mereka sebagai teman. Awalnya gue ngelakuin itu cuma untuk pamer ke orang lain kalau gue itu kuat dan punya kuasa. Dulu gue ngerasain semacam kesenangan sewaktu gue nge-bully mereka, sewaktu gue mengejek mereka, mempermalukan mereka, sewaktu mereka gak berdaya untuk ngelawan gue, sewaktu gue lihat wajah-wajah mereka yang ketakutan.
Tapi, kesenangan itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan waktu salah satu dari mereka yang gue bully itu putusin untuk bunuh diri. Gue terpukul. Lo tahu, kayak ada yang mukul kepala gue pakai palu besar. Nyadarin gue dan ninggalin bekas yang gak akan pernah hilang. Gue ngerasa gak ada bedanya sama pembunuh. Gue ngerasa bersalah dan rasa bersalah itu bahkan masih menghantui gue sampai sekarang. Gue... Waktu itu gue gak tahu kalau sesuatu yang gue anggap menyenangkan justru adalah sesuatu yang mengerikan. Gue gak tahu kalau ejekan-ejekan gue itu bisa ngebunuh orang lain.”
            Pria itu menoleh. Tatapan matanya dalam. “Gue tahu ini sulit buat lo, bahkan mengerikan. Tapi, lo jangan mau nyerah gitu aja. Kalau lo bunuh diri, lo malah membenarkan Erwin dan kurcaci-kurcacinya yang nganggap lo itu lemah. Lo tahu gak kalau Demi Lovato itu pernah jadi korban bullying. Justin Bieber, Lady Gaga, Hunter Hayes, bahkan seorang Tom Cruise pun juga pernah jadi korban bullying. Tapi, lihat mereka sekarang. Mereka sukses dan mendunia. Itu karena mereka gak nyerah gitu aja. Jadi, daripada lo bunuh diri sekarang, kenapa lo gak tunjukkin ke mereka kalau lo itu gak lemah. Pakai otak lu yang brilian itu dan jadilah orang sukses. Siapa tahu suatu hari nanti Erwin dan antek-anteknya itu malah berakhir dengan kerja sama lo.” Pria asing itu tersenyum licik dan mengangkat bahunya.
            Aku tergugu. Namun, semua sel dalam tubuhku berteriak, membenarkan semua yang dikatakan pria itu.
            Terdengar bunyi lonceng dari kejauhan.
            “Udah jam istirahat. Gue mau ke kantin. Laper,” ujarnya, masih dengan nada enteng itu. Dia berbalik dan menjauh. Aku terus menatap punggungnya hingga di suatu detik dia berbalik dan bertanya, “Lo masih mau nerusin rencana bunuh diri lo? Atau, lo ikut gue ke bawah sekarang dan nyuruh Erwin cs buat berhenti gangguin lo?”
            Aku menatapnya sebentar, kemudian menunduk dan berpikir. Ketika aku mengangkat wajah, ada keberanian yang menggelegak dalam diriku. Tidak besar, namun keberanian ini belum pernah ada sebelumnya.
            Dan, keberanian itu semakin menggelegak seiring dengan banyaknya langkah yang aku ambil untuk menghampiri pria asing itu.

***

Erwin dan teman-temannya berdiri di tengah koridor di depanku. Senyum mereka mengembang ketika mereka melihatku, seperti sudah lama menanti-nanti kemunculanku.
            Aku tidak tahu bagaimana dia bisa tahu, namun pria asing yang kutemui di atap gedung tadi mengucapkan sesuatu saat keberanianku mulai mendingin.
            “Gak usah takut. Gue ada di belakang lo. Dan, kalau diperlukan, tijuan maut gue selalu siap sedia,” begitu ucapnya.
            Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Aku menatapnya. Dia mengangguk, memberiku keyakinan. Aku balas mengangguk, samar.
            Kemudian aku mulai berjalan.
            Dan, bukan Erwin namanya kalau dia tidak menghadang jalanku, seolah-olah kalau dia tidak melakukannya, dia bisa mati karena menderita gatal di sekujur tubuh.
            Aku menatapnya, sebisa mungkin berusaha agar tidak terlihat gentar.
            “Mau ke mana lo, Culun?” tanya Erwin.
            “Kantin,” sahutku singkat.
            “Muter sana. Gue mau nongkrong di koridor ini. Dan, gue gak mau ada makhluk culun kayak lo berseliweran di sini. Ganggu pemandangan, tahu gak lo?”
            “Aku mau lewat koridor ini,” kataku pelan. Aku mengumpat dalam hati ketika suaraku terdengar gemetaran.
            “Apa?” tanya Erwin. Dia mendekatkan telinganya ke mulutku. Lalu tanyanya sekali lagi, “Lo bilang apa?”
            “Aku mau lewat koridor ini!” Suaraku kali ini terdengar mantap, membuat Erwin dan bahkan diriku sendiri terkejut.
            Erwin berpaling dan menatap teman-temannya satu per satu. Dengan nada meremehkan dia berkata kepada mereka, “Wah, si Culun udah mulai bernai ngelawan.”
            Teman-teman Erwin terkekeh mencemooh.
            Kemudian Erwin menatapku dengan tajam. “Gue bilang muter, ya muter!” bentaknya. Dengan satu gerakan dia mendorong tubuhku hingga membentur loker yang berjajar di sisi kiri koridor.
            Aku memandang ke depan. Siswa-siswi mulai menyemut di ujung kordidor. Namun, tidak ada yang tampak akan bergerak dan menolongku. Seperti biasanya.
            Kutarik tubuhku yang menempel ke loker karena dorongan Erwin tadi. Kurasakan bahuku berdenyut kesakitan. Namun, rasa sakit itu tidak membuatku takut, justru membuatku semakin berani. Aku sudah cukup dengan segala tingkah Erwin yang berengsek! Sudah cukup au tampak menyedihkan selama ini.
            Jantungku berdebar cepat. Adrenalinku berpacu saat aku setengah berlari menerjang Erwin. Kubalas mendorong Erwin dan kuteriakkan kepadanya, “Tinggalkan aku sendiri! Jangan ganggu aku lagi!”
            Erwin mundur beberapa langkah, namun tidak sampai membentur dinding di belakangnya. Ekspresi wajahnya terkejut, tapi sesaat kemudian berubah menjadi keras karena emosi. Dia menghampiriku seperti banteng yang mengamuk. Aku mematung di tempat. Aku sudah siap dengan kemungkinan pipiku akan menjadi sasaran tinjuan Erwin ketika si pria asing menyelinap di antara aku dan Erwin.
            “Lo gak dengar apa kata dia tadi? Dia nyuruh lo tinggalin dia sendiri,” kata pria asing itu dengan santai.
            “Minggir lo! Gue gak ada urusan sama lo,” salak Erwin.
            “Tapi, gue ada. Lo ganggu teman gue dan itu urusan buat gue,” balas pria asing itu.
            “Lo…” Erwin mengangkat kepalan tangannya.
            “Lo mau pukul gue?” Pria asing itu menyodorkan pipi kanannya kepada Erwin. “Nih, pukul. Tapi, siap-siap aja tanggung konsekuensinya. Gue yakin lo lagi dalam masa percobaan setelah kejadian tadi pagi. Sekali lagi aja lo buat masalah lagi, lo bakal kena detensi. Dan, percaya sama gue, detensi dari kepsek itu gak pernah menyenangkan.”
            Erwin terdiam. Perlahan-lahan dia menurunkan kepalan tangannya.  “Urusan kita belum selesai,” gertak Erwin.
Kemudian Erwin beserta teman-temannya berbalik dan pergi. Siswa-siswi yang menyemut di ujung koridor menghambur memberi jalan.
            “Wah... Gue gak jadi dipukul, nih? Ah, sayang banget. Padahal gue lagi pengen dipukul,” kicau pria asing itu dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan.
            Aku mengulum senyum geli. Ketika dia berputar menghadapku, aku berucap, “Terima kasih.”
            “Gak masalah. Gue udah bilang, kan gue ada di belakang lo?” Pria asing itu tersenyum bersahabat.
“Tapi, kalau lo bersikeras mau berterima kasih, perut gue bakal dengan senang hati nerima semangkuk mi ayam dan segelas jus jeruk,” celetuknya ketika kami mulai berjalan.
            Aku terkekeh, lalu tercenung sendiri. Sudah berapa lama aku tidak pernah merasa seringan ini di sekolah?
            “Ah, iya. Aku belum tahu nama kamu.”
            “Gabriel,” katanya.
Gabriel, aku menggumamkan nama itu dalam hati. Lalu aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku.
            Dia baru saja membuat sekolah ini terasa jauh lebih baik.

Selesai

---

Author’s note,

for the bullies :
Stop doing that! You just have no rights. If you can’t be nice to them, at least don’t hurt them. You are human being and they whom you bully are too.

for the victims :
Speak out, pals! Seriously, you have to. No matter who you are or what you are, you just don’t deserve to be bullied. Ask them to stay away from you, to leave you alone. If that doesn’t work out, please speak out to your parents, your siblings, your friends, your teachers, or anyone. Don’t keep it all inside. It will make you feel all alone and desperate, and that will make you see everything in a negative way. Let them help you. Because, trust me, you are never ever alone.

for those who see someone getting bullied :
Please, help them. Don’t stay quiet and pretend that you don’t see anything. Stand before the victims and ask the bullies to stop. If they don’t hear you and you don’t have enough strength to fight back, tell someone that can help. By doing that, you have pulled someone out from the darkness and misery.

---